Bagaimana Sikap Murid kepada Guru? Respon terhadap Kasus “Murid Menggugat Guru 1 Miliar”

 

Kasus yang mencuat baru-baru ini di Gorontalo, ketika seorang murid melaporkan gurunya—yang juga pimpinan pondok pesantren ternama—ke aparat penegak hukum dengan gugatan hingga satu miliar rupiah, menimbulkan reaksi beragam dari publik. Sebagian melihatnya sebagai dinamika hukum biasa, namun sebagian lain memandang tindakan tersebut sebagai bentuk su'ul adab—buruknya etika seorang murid terhadap gurunya.

Dalam komunitas keilmuan Islam, terlebih di lingkungan pesantren atau majelis taklim, hubungan antara murid dan guru bukan sekadar hubungan fungsional-transaksional antara pengajar dan yang diajar. Ia adalah hubungan ruhani, yang terikat oleh adab, keberkahan, dan warisan keilmuan. Maka, ketika muncul kasus “murid menggugat guru”, respons yang muncul tak bisa dilepaskan dari pandangan tradisional tentang adab murid terhadap guru.

Hal ini bisa kita lacak dalam kitab Ta’alim al-Muta’allim’, Bab 1: Fi Bayani Fadli al-ilm) "Hendaklah penuntut ilmu memuliakan ilmu dan ahlinya, serta mengagungkan gurunya.", Al -Zarnuji

Dalam Islam, guru tidak hanya dianggap sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai perantara hidayah. Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Tirmidzi)

Dengan memuliakan guru, murid sesungguhnya sedang memuliakan ilmu dan sumbernya. Karenanya, dalam tradisi para ulama, menjaga adab lebih utama daripada sekadar menguasai pelajaran.

Imam Malik bin Anas bahkan pernah berkata kepada anak muridnya:

“Pelajarilah adab sebelum engkau mempelajari ilmu.”

Lalu bagaimana Adab Murid Terhadap Guru?

Dalam tradisi keilmuan Islam, seorang murid dituntut untuk diam dan mendengarkan saat guru berbicara, tidak memotong atau menyela, bahkan tidak membantah dengan cara yang kasar. Murid dihadapan Guru duduk dengan sopan, bahkan dalam banyak pesantren dianjurkan lebih rendah dari posisi duduk sang guru.

Seorang murid dituntut pula mengamalkan ilmu dan nasihat guru, bukan hanya mencatat dan mengingat, tetapi juga menjaga nama baik guru, di dalam maupun di luar. Seorang murid juga tak boleh menyebarkan aib guru, sekalipun suatu hal tampak salah di mata murid, karena bisa jadi murid belum memahami seluruh konteksnya.

Bahkan murid diwajibkan melayani guru sebagai latihan keikhlasan, bukan karena diperintahkan. Mendoakan guru dalam setiap kesempatan, bahkan setelah wafat. Tidak menyebut nama asli guru secara sembarangan, tapi dengan panggilan mulia: Yai, Abah, Guru, Syaikh, Ustadz

Muridpun, dalam berbagai kesempatan mampu menjaga akhlak di media sosial, karena murid membawa citra gurunya di ruang digital. Murid secara moril senantiasa menyambung silaturahmi, meskipun sudah tamat dari pesantren atau madrasah.

Seorang murid Su’ul adab (buruknya etika) terjadi ketika murid menjelekkan nama guru secara terbuka, bahkan ia membongkar aib guru tanpa adab dan proses internal. Apalagi ketika sang murid memperlakukan guru secara sejajar seperti rival atau musuh. 

Dalam banyak tradisi tarekat dan pesantren, seorang murid yang memutus adab terhadap gurunya seringkali disebut “terputus sanad ruhani”-nya. Artinya, meskipun ia mungkin pintar, keberkahan dan ruh ilmu bisa tidak lagi mengalir padanya.

Adakah Batasan? Apakah Guru Tidak Bisa Dikritik?

Tentu ada batas. Guru bukan Nabi. Ia bisa salah. Tapi Islam mengajarkan cara menyampaikan kritik dengan adab, tidak dengan cara menelanjangi atau mempermalukan. Jika ada dugaan pelanggaran serius, ada cara musyawarah, tabayyun, atau bahkan struktur lembaga tempat guru itu berada, sebelum menempuh jalur hukum yang terbuka dan gaduh.

Namun, jika jalur tersebut telah dilalui dan terdapat unsur hukum yang sangat serius (misalnya kekerasan atau pelecehan), maka Islam tidak membungkam keadilan. Tapi tetap, adab murid tetap dijaga, bukan berarti menutupi kebenaran, tapi memastikan bahwa cara menuntutnya tidak merusak akhlak dan warisan keilmuan.

Apa yang kita pelajari dari kasus “Murid Menggugat Guru 1 Miliar” bukan hanya soal hukum. Tapi tentang krisis adab dalam dunia pendidikan keislaman. Kita hidup di zaman ketika semua orang merasa berhak untuk bicara, menggugat, dan memviralkan. Namun kita perlu bertanya kembali:

“Apakah kita sedang memperjuangkan kebenaran, atau sedang memamerkan keberanian tanpa akhlak?”

Apakah guru tidak bisa dituntut? Kapan adab boleh ditinggalkan? Dan bagaimana Islam membedakan antara adab dan keadilan?

Dalam Islam, tidak ada manusia yang bebas dari kesalahan, termasuk guru, kiai, atau ulama. Mereka adalah orang-orang mulia karena ilmunya, tapi bukan ma’shum (terjaga dari dosa) seperti nabi.

“Setiap anak Adam pasti pernah melakukan kesalahan.” (HR. Tirmidzi)

Jika seorang guru: Melakukan kezaliman, melanggar hukum pidana (seperti kekerasan fisik, pelecehan seksual, penipuan dsb), mencemarkan hak-hak orang lain secara terang-terangan…maka ia bisa dan boleh dituntut, baik secara syar’i maupun secara hukum negara. Islam tidak membela kezaliman hanya karena pelakunya orang terpandang atau alim. Namun, cara menuntutnya yang penting untuk diperhatikan. Di sinilah adab diuji.

Kapan Adab Boleh Ditinggalkan?

Jawabannya: Tidak pernah. Adab dalam Islam bukan perkara situasional, tapi merupakan bagian dari akhlak dan integritas spiritual. Bahkan saat menuntut keadilan, seorang muslim diajarkan untuk: Menjaga lisan dan sikap, tidak mencaci maki. Dan bahkan hal itu dapat dimulai dengan musyawarah dan tabayyun, bukan langsung ke publik. Siapa pun ia, dapat menghindari niat membalas atau mempermalukan, fokus pada pemulihan hak.

Misalnya, Jika seorang guru menyakiti murid, murid boleh bicara. Jika guru menzalimi, murid boleh melapor. Tapi dalam proses itu, murid tidak boleh membongkar aib-aib lain yang tak relevan, atau menyebarkannya di media sosial sebagai bentuk pembalasan. Dalam konteks ‘Murid Menggugat Guru 1 Miliar’ perlu digarisbawahi.

Sisi lain, Adab tetap dijaga bukan untuk menutup-nutupi kebenaran, tapi agar keadilan ditegakkan dengan ruh kasih sayang, bukan dendam. Dalam Islam, adab dan keadilan bukan dua hal yang saling bertentangan, melainkan dua sisi dari kebijaksanaan (hikmah). Keadilan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya (al-‘adl), sementara Adab,  menjalankan kebenaran itu dengan cara yang mulia.

Contoh:

Ketika Khalifah Umar bin Khattab ditegur oleh seorang perempuan di hadapan umum soal mahar, beliau tidak marah, tidak mengatakan “kamu su’ul adab”, tetapi menerima teguran dengan rendah hati. Ini adalah contoh kasus, bahwa keadilan ditegakkan, adab tetap terjaga.

Namun bila seseorang menuntut keadilan dengan cara yang zalim, seperti membuka aib yang tidak relevan, menghasut orang lain untuk membenci, menyebarkan narasi setengah kebenaran, Maka meskipun tujuannya benar, cara yang salah bisa menggugurkan keberkahan perjuangannya.

Kasus “Murid Menggugat Guru 1 Miliar” hendaknya menjadi refleksi bukan hanya tentang siapa yang salah, tapi tentang apa yang salah dalam cara kita memperjuangkan kebenaran. Apakah kita masih menjunjung akhlak? Atau kita sedang mencari pembenaran?

Mari bedakan antara melawan kezaliman dan mencederai adab, sebab keduanya akan menentukan keberkahan dari apa yang kita perjuangkan.

Lagi, Apa Relevansi dengan Kasus Murid-Guru?

Dalam konteks "Murid Menggugat Guru 1 Miliar", jika si murid benar-benar merasa terzalimi (misal haknya dilanggar, terjadi kekerasan, atau eksploitasi), maka ia berhak menempuh jalur hukum—namun tentu tetap dengan adab dan proses berjenjang yang arif.

Menolak untuk menuntut hanya karena status "guru" atau "ulama" juga bisa menjadi kezaliman struktural. Sebaliknya, menuntut tanpa adab dan tanpa tabayyun, bisa menjadi kezaliman emosional.

Ada hikmah dan keseimbangan yang menarik yang dikatakan Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Bunyinya;

“Syariat Islam seluruhnya adalah keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah. Maka setiap perkara yang keluar dari keadilan menuju kezaliman, dari rahmat menuju kekerasan, dari maslahat menuju kerusakan, dari hikmah menuju kesia-siaan — maka itu bukan bagian dari syariat, sekalipun itu dipaksakan dengan nama syariat.”

Maka, hukum bukan hanya soal teks, tapi soal hikmah penerapan dan kejujuran tujuan.
Dan adab bukan berarti menutup-nutupi kebatilan, melainkan memastikan bahwa perjuangan menegakkan kebenaran tidak menghilangkan kemuliaan akhlak.

Lantas Bagaimana pandangan Paulo Freire tentang Adab Murid kepada Guru?

Dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), Paulo Freire mengkritik model pendidikan tradisional yang ia sebut sebagai “banking concept of education”—di mana guru diposisikan sebagai pemilik kebenaran dan murid dianggap sebagai wadah kosong yang harus diisi. Dalam sistem ini, relasi antara guru dan murid bersifat hierarkis dan pasif. Murid tidak memiliki ruang untuk berpikir kritis, mempertanyakan, apalagi membantah.

Freire menyebut model ini sebagai bentuk penindasan kultural yang justru melanggengkan ketidakadilan dalam struktur pendidikan. Ia menekankan pentingnya pendidikan yang dialogis, di mana guru dan murid sama-sama belajar dalam proses saling menyadari, membebaskan, dan memanusiakan. Relasi kuasa dalam pendidikan harus didasarkan pada saling menghormati, bukan dominasi sepihak.

Dalam konteks polemik yang terjadi di komunitas keilmuan Islam tadi, kita bisa melihat adanya kemiripan. Ketika murid yang mempertanyakan keputusan pemecatan secara tidak langsung diposisikan sebagai “pembangkang” atau “durhaka,” sebenarnya terjadi represi terhadap ruang kritik dalam pendidikan. Apalagi jika keputusan tersebut sarat konflik pribadi dan tak melalui proses musyawarah yang adil.

Dengan memakai kerangka Freire, kita bisa bertanya: Apakah relasi guru-murid yang berlangsung masih dalam semangat memanusiakan murid? Ataukah telah berubah menjadi hubungan dominatif yang menolak koreksi?

Paulo Freire tidak menolak pentingnya penghormatan, tetapi ia mengkritik sistem yang menutup ruang berpikir kritis. Dalam konteks keislaman, adab tidak boleh dimaknai sebagai bentuk pembungkaman terhadap suara kebenaran. Bahkan dalam sejarah Islam, para murid bisa mengoreksi guru atau bertanya secara kritis selama tetap dalam adab dan ilmu.

Dalam kasus ini, ketika murid tidak serta-merta menyerang, melainkan menempuh mediasi, menjaga lisan, dan hanya bereaksi setelah mengalami pembullyan yang meluas, ia justru menunjukkan bahwa ia masih berada dalam jalur adab—tapi juga menuntut keadilan.

Maka, pengadopsian pendekatan Freire bukan untuk melecehkan tradisi guru dalam Islam, melainkan untuk membuka ruang tafsir ulang tentang adab agar tidak menjadi alat legitimasi kuasa yang menindas.

Posting Komentar

0 Komentar