Sejak kemarin sore, saya mulai memikirkan kembali catatan saya tentang Adab Murid kepada Guru. Rupanya, tulisan itu dinilai kurang adil oleh dua orang kawan saya. Menurut mereka, dalam membahas hubungan guru dan murid, semestinya juga dimunculkan Adab Guru kepada Murid. Mereka menilai, topik ini justru lebih jarang dibicarakan dalam diskursus pendidikan Islam maupun dalam pengajian-pengajian.
Bagi saya, menyusun ulasan tentang
adab murid saja sudah cukup menguras pikiran dan tenaga. Tidak hanya karena
harus cekatan mencari referensi yang relevan, tapi juga harus tahan terhadap
kantuk yang menyerang di sela-sela menyematkan referensi dan menulis. Namun,
jika dipikir-pikir ulang, kritik dari dua kawan saya itu ada benarnya. Hubungan
guru dan murid adalah hubungan timbal balik; adab bukan hanya tuntutan bagi
murid, tetapi juga tanggung jawab bagi guru.
Dengan kesadaran itu, saya
memberanikan diri untuk menulis ulasan ini—tentang Adab Guru kepada Murid.
Saya tidak berharap ulasan ini akan menginspirasi, cukuplah jika ia bisa dibaca
dan dipertimbangkan sebagai bagian dari percakapan yang lebih adil dan seimbang
tentang etika pendidikan dalam Islam.
Jika
dalam tradisi Islam seorang murid diwajibkan menghormati guru, maka seorang
guru pun terikat dengan tanggung jawab adab yang tidak ringan. Bahkan,
sebagaimana ditulis Imam al-Ghazālī dalam Iḥyā’
‘Ulūm al-Dīn, posisi seorang guru tidak sekadar sebagai pengajar, tetapi
sebagai "wakil para nabi" dalam menyampaikan ilmu dan membentuk
akhlak. Dengan tugas semulia itu, maka adab guru kepada murid bukan sekadar
etika interpersonal, melainkan bagian dari amanah kenabian.
Seorang guru bukan sekadar penyampai
ilmu, tetapi juga pembimbing ruhani yang memikul amanah besar. Ikhlas dan niat yang benar menjadi
landasan utama dalam aktivitas mengajar. Ikhlas berarti mengajar semata-mata
karena Allah, bukan untuk pujian, kehormatan, atau keuntungan duniawi.
Sedangkan niat yang benar mengarahkan seluruh tujuan pengajaran pada
kemaslahatan murid dan ridha Allah.
Tanpa niat yang tulus, ilmu yang
diajarkan bisa kehilangan keberkahan, dan guru berisiko terjebak dalam riya’
atau kesombongan. Kitab-kitab klasik seperti Ihya’ Ulumuddin karya Imam
al-Ghazali dan Ta'lim al-Muta’allim karya Imam al-Zarnuji menegaskan
bahwa niat adalah ruh amal, dan ikhlas adalah syarat diterimanya pengajaran
sebagai ibadah. Maka, seorang guru sejati senantiasa menjaga hatinya dari
niat-niat menyimpang, dan menjadikan proses mengajar sebagai ladang pahala
serta jalan mendekatkan diri kepada Allah.
Imam al-Ghazālī menekankan bahwa
tugas utama guru adalah mendekatkan
murid kepada Allah, bukan menjadikannya pengikut atau alat untuk
popularitas.
Dan Ia menulis:
“Seorang guru harus berniat mendidik
dan memperbaiki jiwa murid, mendekatkannya kepada Allah, dan tidak menjadikan
ilmu sebagai sarana mencapai tujuan duniawi.”— Iḥyā’, Jilid 1, hlm. 52
Guru yang mengajar karena Allah akan
berhati-hati dalam menyampaikan ilmu, tidak tergesa-gesa, dan tidak
menyembunyikan ilmu yang bermanfaat.
Sikap lembut dan penuh kasih sayang (rahmah) kepada murid adalah akhlak luhur yang seharusnya dimiliki oleh setiap guru dalam proses mengajar. Dalam tradisi Islam, guru dipandang sebagai sosok pembimbing ruhani, bukan sekadar pengajar akademis. Oleh karena itu, pendekatan yang mengedepankan kelembutan, kesabaran, dan perhatian kepada murid mencerminkan keteladanan.
Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan mencintai kelembutan dalam segala urusan” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sikap lembut bukan tanda kelemahan,
melainkan strategi mendidik yang mengedepankan kearifan, sehingga ilmu dapat
terserap dengan hati yang lapang. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin
menjelaskan bahwa seorang guru harus memperlakukan murid seperti anak sendiri,
dengan kasih, kesabaran, dan keinginan tulus agar mereka tumbuh dalam ilmu dan
akhlak. Kelembutan membuka ruang dialog, membangkitkan motivasi belajar, serta
menumbuhkan rasa hormat yang lahir dari cinta, bukan paksaan. Dalam konteks
ini, rahmah bukan hanya emosi, tetapi metode dan prinsip etis dalam pendidikan.
Dalam Bab 2 kitab Ta‘līm
al-Muta‘allim, Imam al-Zarnūjī tidak hanya membahas niat dalam menuntut
ilmu, tetapi juga menyinggung pentingnya sikap guru yang penuh kasih sayang dan kelembutan terhadap murid.
Seorang guru ideal digambarkan sebagai sosok yang tidak keras atau kasar dalam
mendidik, melainkan menunjukkan rahmah (kasih sayang), kesabaran, dan perhatian
layaknya orang tua kepada anaknya. Sikap ini diyakini akan membuka hati murid,
memudahkan pemahaman, serta menumbuhkan cinta terhadap ilmu dan kepada gurunya.
Al-Zarnūjī mengingatkan bahwa
pendidikan bukan semata-mata transfer ilmu, melainkan juga pembinaan akhlak dan
jiwa. Maka, guru harus memperlakukan murid dengan lembut, tidak mempermalukan
mereka ketika keliru, serta memotivasi mereka dengan kebijaksanaan dan cinta.
Kasih sayang guru menjadi kunci keberhasilan pendidikan dalam tradisi keilmuan
Islam.
Guru harus sabar atas kelambanan
atau kesalahan murid, dan menghindari kekerasan emosional maupun fisik.
“Tidak sepatutnya guru membentak atau mencela murid karena itu akan menghalangi keberkahan ilmu.”— Ta‘līm al-Muta‘allim, hlm. 15
Guru Adil dan Tidak Memihak
Kitab Adab al-Mu‘allimīn karya Abū ‘Abdillāh Muḥammad ibn Sa‘īd ibn
Sahnūn (w. 256 H) merupakan salah satu karya paling awal dalam tradisi Islam
yang secara khusus membahas etika dan tanggung jawab seorang guru.
Disusun pada abad ke-3 Hijriah di lingkungan intelektual Qayrawān (Afrika
Utara), kitab ini mencerminkan perhatian besar ulama klasik terhadap peran
moral dan sosial seorang pengajar dalam membentuk karakter murid dan
masyarakat.
Dalam kitab ini, Ibn Sahnūn menekankan bahwa guru bukan hanya
penyampai ilmu, tetapi juga
panutan akhlak, yang
perilaku dan lisannya harus dijaga sedemikian rupa agar menjadi teladan. Guru
dituntut untuk bersikap adil, sabar, penuh kasih sayang, tidak mudah
marah, serta mampu menahan
diri dari penghinaan terhadap murid, meskipun dalam keadaan murid berbuat salah. Ia harus mengajar
dengan hati, bukan sekadar dengan lisan, dan memperlakukan murid seperti anak-anaknya
sendiri.
Salah satu poin penting dalam kitab ini adalah larangan keras bagi guru
untuk memukul murid secara berlebihan, dan anjuran untuk
selalu mengingat bahwa tujuan pendidikan adalah memperbaiki, bukan
menyakiti. Ibn Sahnūn juga
menjabarkan kewajiban-kewajiban moral guru: menjaga waktu, berpenampilan
terhormat, tidak serakah terhadap imbalan, serta mengajarkan ilmu yang benar
dan bermanfaat bagi agama.
Kitab ini tidak hanya relevan sebagai rujukan klasik dalam pedagogi Islam,
tetapi juga menggambarkan bagaimana konsep pendidikan Islam sejak awal
telah menekankan dimensi etika, spiritualitas, dan cinta dalam hubungan guru
dan murid. Dalam pandangan Ibn Sahnūn, adab guru adalah cerminan dari
niatnya yang tulus dan peran sucinya sebagai penjaga ilmu dan pembentuk
generasi.
“Guru harus bersikap adil dan menjaga kehormatan murid, karena kehormatan ilmu tidak akan tegak tanpa menghormati pemiliknya.”- Adab al-Mu‘allimīn
Dalam kitab klasik Ta‘līm
al-Muta‘allim, Imam al-Zarnūjī menegaskan bahwa keadilan adalah adab pokok yang harus dijaga oleh seorang guru
dalam membimbing murid-muridnya. Guru bukan hanya penyampai ilmu, tetapi juga
pemegang amanah moral dan spiritual. Maka dalam posisinya yang mulia itu, ia
dituntut untuk tidak memihak,
tidak membeda-bedakan murid karena status sosial, kekayaan, kecerdasan, atau
kedekatan pribadi.
Sikap memihak dalam pendidikan
berpotensi merusak keutuhan suasana belajar, menumbuhkan rasa iri, serta
menghalangi murid dari pencapaian terbaiknya. Al-Zarnūjī mendorong guru agar
memperlakukan semua murid dengan sikap
yang seimbang dan kasih sayang yang merata, karena setiap murid memiliki
potensi dan jalan pembelajaran yang berbeda-beda. Keadilan dalam hal ini bukan
berarti menyamakan segalanya, tetapi memberikan perhatian dan bimbingan sesuai kebutuhan dan kapasitas masing-masing
murid, tanpa sikap pilih kasih.
Lebih lanjut, al-Zarnūjī
mengingatkan bahwa guru adalah teladan, dan ketidakadilan sekecil apa pun akan
mencederai kepercayaan serta mengganggu pertumbuhan akhlak murid. Dalam
semangat itu, guru seharusnya menjadi orang yang mampu menjaga objektivitas, menilai dengan jujur, memberi apresiasi atas
usaha, bukan hanya hasil, serta tidak menyudutkan murid karena kekurangan.
Dengan prinsip ini, Ta‘līm
al-Muta‘allim mengajarkan bahwa keadilan bukan hanya urusan hukum, tetapi
juga nilai spiritual dalam dunia
pendidikan, yang menjadi cermin kebersihan niat guru dan integritas
ilmunya.
Akhlak Guru dalam Tradisi Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn
Dalam Kitāb al-‘Ilm dari Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Imam
al-Ghazālī menekankan bahwa seorang guru tidak hanya bertugas menyampaikan
ilmu, tetapi juga berperan sebagai pembimbing ruhani yang mencurahkan kasih
sayang dan perhatian mendalam kepada murid-muridnya. Salah satu bentuk paling
mulia dari kasih sayang itu adalah mendoakan murid – sebuah
adab luhur yang mencerminkan kemurnian niat guru dan kepeduliannya terhadap
pertumbuhan lahir dan batin anak didiknya.
Al-Ghazālī menjelaskan bahwa guru yang ikhlas akan menginginkan
kebaikan dan keberkahan bagi murid-muridnya, tidak hanya dalam
keberhasilan akademik, tetapi juga dalam keselamatan agama, kemuliaan akhlak,
dan keberuntungan di akhirat. Oleh karena itu, ia mendoakan mereka dengan
tulus, baik ketika di hadapan mereka maupun dalam kesendiriannya. Doa guru
menjadi bentuk pendidikan batiniah yang tak terlihat, namun berdampak besar
dalam membentuk karakter murid dan membuka jalan bagi turunnya taufik dan
hidayah dari Allah.
Imam al-Ghazālī mengibaratkan guru sebagai ayah ruhani, dan sebagaimana
orang tua mendoakan anaknya, demikian pula seorang guru hendaknya mendoakan
keberhasilan murid, pengampunan atas kekhilafan mereka, serta kemudahan dalam
menempuh jalan ilmu. Doa ini juga menjadi tanda bahwa hubungan antara
guru dan murid tidak berhenti pada ruang kelas, melainkan berlanjut dalam
ikatan ruhani yang dalam.
Dengan demikian, Iḥyā’ menempatkan doa sebagai bagian dari etika spiritual guru — bahwa ilmu bukan semata informasi, tapi cahaya yang mesti disampaikan dengan cinta, adab, dan permohonan penuh harap kepada Allah agar ilmu itu menjadi manfaat dunia dan akhirat bagi murid-muridnya
Dalam Kitāb al-‘Ilm, bagian pertama dari karya agung Iḥyā’
‘Ulūm al-Dīn, Imam al-Ghazālī menegaskan bahwa ilmu adalah cahaya
Ilahi yang tidak akan menyatu dengan hati yang dipenuhi kesombongan.
Karena itu, salah satu adab utama bagi seorang guru adalah tidak
bersikap sombong terhadap murid, dan tidak menyombongkan ilmu yang dimilikinya.
Ilmu bukanlah milik pribadi yang pantas dibanggakan, tetapi amanah dari Allah
yang harus disampaikan dengan rendah hati, kasih sayang, dan keikhlasan.
Al-Ghazālī mengecam keras para ulama yang menjadikan ilmu sebagai sarana
untuk merasa lebih tinggi dari orang lain. Ia menyebut bahwa kesombongan
ilmiah adalah bentuk kerusakan batin yang paling berbahaya, karena ia
tersembunyi di balik amal saleh dan kedudukan yang mulia. Seorang guru yang
sombong akan sulit menerima kebenaran dari muridnya, enggan mengakui kesalahan,
serta lebih mementingkan citra daripada manfaat ilmu itu sendiri. Dalam Iḥyā’,
dijelaskan bahwa kesombongan menutup pintu hidayah dan menghalangi
masuknya ilmu yang bermanfaat ke dalam hati.
Sebaliknya, guru yang benar-benar alim akan merasa takut terhadap ilmunya —
takut jika ilmunya tidak diamalkan, takut jika ia hanya pintar berkata-kata
tapi kosong dalam perbuatan. Ia tidak merasa lebih suci atau lebih tinggi dari
muridnya, bahkan justru menganggap proses belajar-mengajar sebagai ladang untuk
saling mengingatkan dalam kebaikan. Al-Ghazālī mencontohkan para ulama salaf
yang menyampaikan ilmu dengan kerendahan hati, bahkan belajar
dari murid mereka sendiri tanpa merasa malu.
Dengan demikian, Iḥyā’ mengajarkan bahwa kerendahan hati
adalah pakaian sejati seorang guru, dan ilmu yang disampaikan dengan
tawadhu‘ akan lebih mudah masuk ke dalam hati murid, serta membawa keberkahan
bagi keduanya. Ilmu tidak boleh menjadi alat untuk meninggikan diri, tetapi
menjadi jembatan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menyucikan jiwa.
Ilmu adalah cahaya yang tidak akan
tinggal di hati orang sombong. Guru yang merasa dirinya tinggi dan menindas
murid karena merasa lebih pandai akan terhalang dari keberkahan.
“Kesombongan adalah penghalang terbesar antara guru dan
keberhasilan murid.”— Iḥyā’, Jilid 1
Bagaimana dengan Kitab Karya KH. Hasyim Asy’ari?
Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari—seorang ulama besar Nusantara sekaligus
pendiri Nahdlatul Ulama—menyusun sebuah karya yang melampaui zaman: Adab
al-‘Ālim wa al-Muta‘allim. Kitab ini adalah buah pikiran dan
pengalaman ruhani seorang ulama besar yang tidak hanya menghidupkan tradisi
intelektual Islam, tetapi juga menanamkan akhlak sebagai fondasi utamanya.
Kitab ini hadir bukan dalam ruang kosong. KH. Hasyim Asy’ari meramu
nilai-nilai adab dari sejumlah kitab klasik yang telah lama menjadi rujukan
ulama Sunni, lalu menyesuaikannya dengan konteks sosial, kultural, dan
pendidikan pesantren di Nusantara. Setidaknya, ada empat kitab klasik yang
menjadi spirit utama dari penyusunan kitab ini:
Pertama, dari Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, KH. Hasyim Asy’ari banyak
menyerap gagasan bahwa ilmu tidak dapat dipisahkan dari amal dan akhlak. Dalam Iḥyā’, al-Ghazālī
menegaskan bahwa ilmu yang tidak diamalkan ibarat racun yang membinasakan.
Pandangan ini terpantul jelas dalam Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim—di
mana guru tidak hanya harus menguasai ilmu, tetapi menghidupkan ilmu
itu dalam dirinya melalui amal, akhlak mulia, dan keikhlasan.
“Janganlah seperti lilin, yang menyinari orang lain namun membakar
dirinya sendiri.”- (KH. Hasyim Asy’ari, Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim)
Kedua, melalui Ta‘līm al-Muta‘allim Ṭarīq at-Ta‘allum, al-Zarnūjī
menguraikan prinsip adab dalam proses belajar—mulai dari memilih guru, menata
niat, hingga cara mengatur waktu. KH. Hasyim Asy’ari mengambil semangat ini,
lalu memfokuskan perhatiannya pada peran guru sebagai pemimpin ruhani
dan murabbi. Bagi beliau, seorang guru bukan hanya penyampai
pengetahuan, tetapi pemandu jalan menuju kedekatan dengan Allah.
“Guru adalah pewaris nabi. Maka, hendaklah ia mendidik dengan cinta,
bukan dengan amarah; dengan keteladanan, bukan hanya lisan.”
Ketiga, Ibn Sahnūn dalam kitab karyanya Adab al-Mu‘allimīn
memberikan perhatian besar terhadap relasi sosial antara guru, murid,
dan masyarakat. KH. Hasyim
Asy’ari tampak mengadopsi struktur adab ini, terutama dalam penggambaran
sikap-sikap guru: tawadhu’, menjauhi kesombongan, menjaga lisannya, dan
menjunjung wibawa keilmuan.
Ia mengingatkan bahwa guru tidak boleh memanfaatkan murid untuk kepentingan
dunia, dan harus berhati-hati terhadap penerimaan hadiah yang berpotensi
merusak niat.
“Seorang guru harus wara’ dan tidak memanfaatkan murid demi dunia. Jika
demikian, maka hilanglah keberkahan ilmu.”
Keempat, melalui Iqtiḍā’ al-‘Ilm al-‘Amal, al-Khaṭīb al-Baghdādī
mengingatkan bahwa ilmu adalah amanah dan orang yang
menguasainya akan dimintai pertanggungjawaban. KH. Hasyim Asy’ari menyerap
semangat ini dalam ajarannya bahwa guru tidak cukup hanya pandai berbicara,
melainkan juga harus menjadi sosok yang pantas ditauladani.
Guru yang gagal mengamalkan ilmunya, dalam pandangan kedua tokoh ini, lebih
berbahaya dari orang bodoh.
“Orang yang paling berat siksanya di akhirat adalah orang berilmu yang
tidak mengamalkan ilmunya.”- (HR. Thabrani, dikutip dalam Iqtiḍā’
al-‘Ilm al-‘Amal)
Secara keseluruhan, kitab ini lebih dari sekadar manual perilaku seorang
guru. Ia adalah cermin spiritualitas Islam tradisional, yang menjadikan ilmu sebagai jalan
menuju Allah dan guru sebagai lentera yang membimbing murid melalui cahaya
akhlak, doa, dan cinta.
Kitab ini juga menjadi wujud keberanian KH. Hasyim Asy’ari untuk
menyambungkan pesan akhlak para ulama klasik dengan konteks lokal pesantren
Nusantara. Ia tidak hanya melestarikan, tetapi mengontekstualisasikan—menjadikan
ajaran klasik tetap hidup dalam kultur pendidikan Islam Indonesia.
Lantas Seperti Apa Adab Guru Menurut Paulo Freire?
Daftar
Rujukan:
- Al-Ghazālī. Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
- Al-Zarnūjī. Ta‘līm al-Muta‘allim Ṭarīq at-Ta‘allum, Dār al-Fikr.
- Ibn Sahnūn. Adab al-Mu‘allimīn. Mesir: Dār al-Kutub.
- Al-Khaṭīb al-Baghdādī. Iqtiḍā’ al-‘Ilm al-‘Amal, Dār Ibn Ḥazm.
- Ibn Jama‘ah. Tadhkirah al-Sāmi‘ wa al-Mutakallim, al-Maktabah al-Azhariyyah.
- KH. Hasyim Asy’ari. Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim, cet. Tebuireng, 1980.
- Paulo Freire, Pendidikan untuk kaum tertindas, Pustaka LP3ES Indonesia, Mei 2013
- Paulo Freire, Pendidikan masyarakat kota, Penerbit: LKiS, Yogyakarta, Juni 2011
- Murtiningsih Siti, Pendidikan alat perlawanan: Teori pendidikan radikal Paulo, Penerbit: Resist Book, Yogyakarta, Oktober 2004
- Darmaningtyas. Pendidikan yang Memiskinkan. Yogyakarta: Resist Book, 2004.
0 Komentar