Bagaimana Adab Guru Kepada Murid Menurut Para Ulama dan Paulo Freire?

Sejak kemarin sore, saya mulai memikirkan kembali catatan saya tentang Adab Murid kepada Guru. Rupanya, tulisan itu dinilai kurang adil oleh dua orang kawan saya. Menurut mereka, dalam membahas hubungan guru dan murid, semestinya juga dimunculkan Adab Guru kepada Murid. Mereka menilai, topik ini justru lebih jarang dibicarakan dalam diskursus pendidikan Islam maupun dalam pengajian-pengajian.

Bagi saya, menyusun ulasan tentang adab murid saja sudah cukup menguras pikiran dan tenaga. Tidak hanya karena harus cekatan mencari referensi yang relevan, tapi juga harus tahan terhadap kantuk yang menyerang di sela-sela menyematkan referensi dan menulis. Namun, jika dipikir-pikir ulang, kritik dari dua kawan saya itu ada benarnya. Hubungan guru dan murid adalah hubungan timbal balik; adab bukan hanya tuntutan bagi murid, tetapi juga tanggung jawab bagi guru.

Dengan kesadaran itu, saya memberanikan diri untuk menulis ulasan ini—tentang Adab Guru kepada Murid. Saya tidak berharap ulasan ini akan menginspirasi, cukuplah jika ia bisa dibaca dan dipertimbangkan sebagai bagian dari percakapan yang lebih adil dan seimbang tentang etika pendidikan dalam Islam.

Jika dalam tradisi Islam seorang murid diwajibkan menghormati guru, maka seorang guru pun terikat dengan tanggung jawab adab yang tidak ringan. Bahkan, sebagaimana ditulis Imam al-Ghazālī dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, posisi seorang guru tidak sekadar sebagai pengajar, tetapi sebagai "wakil para nabi" dalam menyampaikan ilmu dan membentuk akhlak. Dengan tugas semulia itu, maka adab guru kepada murid bukan sekadar etika interpersonal, melainkan bagian dari amanah kenabian.

Seorang guru bukan sekadar penyampai ilmu, tetapi juga pembimbing ruhani yang memikul amanah besar. Ikhlas dan niat yang benar menjadi landasan utama dalam aktivitas mengajar. Ikhlas berarti mengajar semata-mata karena Allah, bukan untuk pujian, kehormatan, atau keuntungan duniawi. Sedangkan niat yang benar mengarahkan seluruh tujuan pengajaran pada kemaslahatan murid dan ridha Allah.

Tanpa niat yang tulus, ilmu yang diajarkan bisa kehilangan keberkahan, dan guru berisiko terjebak dalam riya’ atau kesombongan. Kitab-kitab klasik seperti Ihya’ Ulumuddin karya Imam al-Ghazali dan Ta'lim al-Muta’allim karya Imam al-Zarnuji menegaskan bahwa niat adalah ruh amal, dan ikhlas adalah syarat diterimanya pengajaran sebagai ibadah. Maka, seorang guru sejati senantiasa menjaga hatinya dari niat-niat menyimpang, dan menjadikan proses mengajar sebagai ladang pahala serta jalan mendekatkan diri kepada Allah.

Imam al-Ghazālī menekankan bahwa tugas utama guru adalah mendekatkan murid kepada Allah, bukan menjadikannya pengikut atau alat untuk popularitas.

Dan Ia menulis:

“Seorang guru harus berniat mendidik dan memperbaiki jiwa murid, mendekatkannya kepada Allah, dan tidak menjadikan ilmu sebagai sarana mencapai tujuan duniawi.”— Iḥyā’, Jilid 1, hlm. 52

Guru yang mengajar karena Allah akan berhati-hati dalam menyampaikan ilmu, tidak tergesa-gesa, dan tidak menyembunyikan ilmu yang bermanfaat.

Bersikap Lembut dan Rahmah kepada Murid

Sikap lembut dan penuh kasih sayang (rahmah) kepada murid adalah akhlak luhur yang seharusnya dimiliki oleh setiap guru dalam proses mengajar. Dalam tradisi Islam, guru dipandang sebagai sosok pembimbing ruhani, bukan sekadar pengajar akademis. Oleh karena itu, pendekatan yang mengedepankan kelembutan, kesabaran, dan perhatian kepada murid mencerminkan keteladanan. 

Rasulullah bersabda: 

Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan mencintai kelembutan dalam segala urusan” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sikap lembut bukan tanda kelemahan, melainkan strategi mendidik yang mengedepankan kearifan, sehingga ilmu dapat terserap dengan hati yang lapang. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa seorang guru harus memperlakukan murid seperti anak sendiri, dengan kasih, kesabaran, dan keinginan tulus agar mereka tumbuh dalam ilmu dan akhlak. Kelembutan membuka ruang dialog, membangkitkan motivasi belajar, serta menumbuhkan rasa hormat yang lahir dari cinta, bukan paksaan. Dalam konteks ini, rahmah bukan hanya emosi, tetapi metode dan prinsip etis dalam pendidikan.

Dalam Bab 2 kitab Ta‘līm al-Muta‘allim, Imam al-Zarnūjī tidak hanya membahas niat dalam menuntut ilmu, tetapi juga menyinggung pentingnya sikap guru yang penuh kasih sayang dan kelembutan terhadap murid. Seorang guru ideal digambarkan sebagai sosok yang tidak keras atau kasar dalam mendidik, melainkan menunjukkan rahmah (kasih sayang), kesabaran, dan perhatian layaknya orang tua kepada anaknya. Sikap ini diyakini akan membuka hati murid, memudahkan pemahaman, serta menumbuhkan cinta terhadap ilmu dan kepada gurunya.

Al-Zarnūjī mengingatkan bahwa pendidikan bukan semata-mata transfer ilmu, melainkan juga pembinaan akhlak dan jiwa. Maka, guru harus memperlakukan murid dengan lembut, tidak mempermalukan mereka ketika keliru, serta memotivasi mereka dengan kebijaksanaan dan cinta. Kasih sayang guru menjadi kunci keberhasilan pendidikan dalam tradisi keilmuan Islam.

Guru harus sabar atas kelambanan atau kesalahan murid, dan menghindari kekerasan emosional maupun fisik.

“Tidak sepatutnya guru membentak atau mencela murid karena itu akan menghalangi keberkahan ilmu.”— Ta‘līm al-Muta‘allim, hlm. 15

Guru Adil dan Tidak Memihak 

Kitab Adab al-Mu‘allimīn karya Abū ‘Abdillāh Muḥammad ibn Sa‘īd ibn Sahnūn (w. 256 H) merupakan salah satu karya paling awal dalam tradisi Islam yang secara khusus membahas etika dan tanggung jawab seorang guru. Disusun pada abad ke-3 Hijriah di lingkungan intelektual Qayrawān (Afrika Utara), kitab ini mencerminkan perhatian besar ulama klasik terhadap peran moral dan sosial seorang pengajar dalam membentuk karakter murid dan masyarakat.

Dalam kitab ini, Ibn Sahnūn menekankan bahwa guru bukan hanya penyampai ilmu, tetapi juga panutan akhlak, yang perilaku dan lisannya harus dijaga sedemikian rupa agar menjadi teladan. Guru dituntut untuk bersikap adil, sabar, penuh kasih sayang, tidak mudah marah, serta mampu menahan diri dari penghinaan terhadap murid, meskipun dalam keadaan murid berbuat salah. Ia harus mengajar dengan hati, bukan sekadar dengan lisan, dan memperlakukan murid seperti anak-anaknya sendiri.

Salah satu poin penting dalam kitab ini adalah larangan keras bagi guru untuk memukul murid secara berlebihan, dan anjuran untuk selalu mengingat bahwa tujuan pendidikan adalah memperbaiki, bukan menyakiti. Ibn Sahnūn juga menjabarkan kewajiban-kewajiban moral guru: menjaga waktu, berpenampilan terhormat, tidak serakah terhadap imbalan, serta mengajarkan ilmu yang benar dan bermanfaat bagi agama.

Kitab ini tidak hanya relevan sebagai rujukan klasik dalam pedagogi Islam, tetapi juga menggambarkan bagaimana konsep pendidikan Islam sejak awal telah menekankan dimensi etika, spiritualitas, dan cinta dalam hubungan guru dan murid. Dalam pandangan Ibn Sahnūn, adab guru adalah cerminan dari niatnya yang tulus dan peran sucinya sebagai penjaga ilmu dan pembentuk generasi.

“Guru harus bersikap adil dan menjaga kehormatan murid, karena kehormatan ilmu tidak akan tegak tanpa menghormati pemiliknya.”- Adab al-Mu‘allimīn

Dalam kitab klasik Ta‘līm al-Muta‘allim, Imam al-Zarnūjī menegaskan bahwa keadilan adalah adab pokok yang harus dijaga oleh seorang guru dalam membimbing murid-muridnya. Guru bukan hanya penyampai ilmu, tetapi juga pemegang amanah moral dan spiritual. Maka dalam posisinya yang mulia itu, ia dituntut untuk tidak memihak, tidak membeda-bedakan murid karena status sosial, kekayaan, kecerdasan, atau kedekatan pribadi.

Sikap memihak dalam pendidikan berpotensi merusak keutuhan suasana belajar, menumbuhkan rasa iri, serta menghalangi murid dari pencapaian terbaiknya. Al-Zarnūjī mendorong guru agar memperlakukan semua murid dengan sikap yang seimbang dan kasih sayang yang merata, karena setiap murid memiliki potensi dan jalan pembelajaran yang berbeda-beda. Keadilan dalam hal ini bukan berarti menyamakan segalanya, tetapi memberikan perhatian dan bimbingan sesuai kebutuhan dan kapasitas masing-masing murid, tanpa sikap pilih kasih.

Lebih lanjut, al-Zarnūjī mengingatkan bahwa guru adalah teladan, dan ketidakadilan sekecil apa pun akan mencederai kepercayaan serta mengganggu pertumbuhan akhlak murid. Dalam semangat itu, guru seharusnya menjadi orang yang mampu menjaga objektivitas, menilai dengan jujur, memberi apresiasi atas usaha, bukan hanya hasil, serta tidak menyudutkan murid karena kekurangan.

Dengan prinsip ini, Ta‘līm al-Muta‘allim mengajarkan bahwa keadilan bukan hanya urusan hukum, tetapi juga nilai spiritual dalam dunia pendidikan, yang menjadi cermin kebersihan niat guru dan integritas ilmunya.

Akhlak Guru dalam Tradisi Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn

Dalam Kitāb al-‘Ilm dari Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Imam al-Ghazālī menekankan bahwa seorang guru tidak hanya bertugas menyampaikan ilmu, tetapi juga berperan sebagai pembimbing ruhani yang mencurahkan kasih sayang dan perhatian mendalam kepada murid-muridnya. Salah satu bentuk paling mulia dari kasih sayang itu adalah mendoakan murid – sebuah adab luhur yang mencerminkan kemurnian niat guru dan kepeduliannya terhadap pertumbuhan lahir dan batin anak didiknya.

Al-Ghazālī menjelaskan bahwa guru yang ikhlas akan menginginkan kebaikan dan keberkahan bagi murid-muridnya, tidak hanya dalam keberhasilan akademik, tetapi juga dalam keselamatan agama, kemuliaan akhlak, dan keberuntungan di akhirat. Oleh karena itu, ia mendoakan mereka dengan tulus, baik ketika di hadapan mereka maupun dalam kesendiriannya. Doa guru menjadi bentuk pendidikan batiniah yang tak terlihat, namun berdampak besar dalam membentuk karakter murid dan membuka jalan bagi turunnya taufik dan hidayah dari Allah.

Imam al-Ghazālī mengibaratkan guru sebagai ayah ruhani, dan sebagaimana orang tua mendoakan anaknya, demikian pula seorang guru hendaknya mendoakan keberhasilan murid, pengampunan atas kekhilafan mereka, serta kemudahan dalam menempuh jalan ilmu. Doa ini juga menjadi tanda bahwa hubungan antara guru dan murid tidak berhenti pada ruang kelas, melainkan berlanjut dalam ikatan ruhani yang dalam.

Dengan demikian, Iḥyā’ menempatkan doa sebagai bagian dari etika spiritual guru — bahwa ilmu bukan semata informasi, tapi cahaya yang mesti disampaikan dengan cinta, adab, dan permohonan penuh harap kepada Allah agar ilmu itu menjadi manfaat dunia dan akhirat bagi murid-muridnya

Dalam Kitāb al-‘Ilm, bagian pertama dari karya agung Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Imam al-Ghazālī menegaskan bahwa ilmu adalah cahaya Ilahi yang tidak akan menyatu dengan hati yang dipenuhi kesombongan. Karena itu, salah satu adab utama bagi seorang guru adalah tidak bersikap sombong terhadap murid, dan tidak menyombongkan ilmu yang dimilikinya. Ilmu bukanlah milik pribadi yang pantas dibanggakan, tetapi amanah dari Allah yang harus disampaikan dengan rendah hati, kasih sayang, dan keikhlasan.

Al-Ghazālī mengecam keras para ulama yang menjadikan ilmu sebagai sarana untuk merasa lebih tinggi dari orang lain. Ia menyebut bahwa kesombongan ilmiah adalah bentuk kerusakan batin yang paling berbahaya, karena ia tersembunyi di balik amal saleh dan kedudukan yang mulia. Seorang guru yang sombong akan sulit menerima kebenaran dari muridnya, enggan mengakui kesalahan, serta lebih mementingkan citra daripada manfaat ilmu itu sendiri. Dalam Iḥyā’, dijelaskan bahwa kesombongan menutup pintu hidayah dan menghalangi masuknya ilmu yang bermanfaat ke dalam hati.

Sebaliknya, guru yang benar-benar alim akan merasa takut terhadap ilmunya — takut jika ilmunya tidak diamalkan, takut jika ia hanya pintar berkata-kata tapi kosong dalam perbuatan. Ia tidak merasa lebih suci atau lebih tinggi dari muridnya, bahkan justru menganggap proses belajar-mengajar sebagai ladang untuk saling mengingatkan dalam kebaikan. Al-Ghazālī mencontohkan para ulama salaf yang menyampaikan ilmu dengan kerendahan hati, bahkan belajar dari murid mereka sendiri tanpa merasa malu.

Dengan demikian, Iḥyā’ mengajarkan bahwa kerendahan hati adalah pakaian sejati seorang guru, dan ilmu yang disampaikan dengan tawadhu‘ akan lebih mudah masuk ke dalam hati murid, serta membawa keberkahan bagi keduanya. Ilmu tidak boleh menjadi alat untuk meninggikan diri, tetapi menjadi jembatan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menyucikan jiwa.

Ilmu adalah cahaya yang tidak akan tinggal di hati orang sombong. Guru yang merasa dirinya tinggi dan menindas murid karena merasa lebih pandai akan terhalang dari keberkahan.

“Kesombongan adalah penghalang terbesar antara guru dan keberhasilan murid.”— Iḥyā’, Jilid 1

Bagaimana dengan Kitab Karya KH. Hasyim Asy’ari?

Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari—seorang ulama besar Nusantara sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama—menyusun sebuah karya yang melampaui zaman: Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim. Kitab ini adalah buah pikiran dan pengalaman ruhani seorang ulama besar yang tidak hanya menghidupkan tradisi intelektual Islam, tetapi juga menanamkan akhlak sebagai fondasi utamanya.

Kitab ini hadir bukan dalam ruang kosong. KH. Hasyim Asy’ari meramu nilai-nilai adab dari sejumlah kitab klasik yang telah lama menjadi rujukan ulama Sunni, lalu menyesuaikannya dengan konteks sosial, kultural, dan pendidikan pesantren di Nusantara. Setidaknya, ada empat kitab klasik yang menjadi spirit utama dari penyusunan kitab ini:

Pertama, dari Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, KH. Hasyim Asy’ari banyak menyerap gagasan bahwa ilmu tidak dapat dipisahkan dari amal dan akhlak. Dalam Iḥyā’, al-Ghazālī menegaskan bahwa ilmu yang tidak diamalkan ibarat racun yang membinasakan. Pandangan ini terpantul jelas dalam Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim—di mana guru tidak hanya harus menguasai ilmu, tetapi menghidupkan ilmu itu dalam dirinya melalui amal, akhlak mulia, dan keikhlasan.

“Janganlah seperti lilin, yang menyinari orang lain namun membakar dirinya sendiri.”- (KH. Hasyim Asy’ari, Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim)

Kedua, melalui Ta‘līm al-Muta‘allim Ṭarīq at-Ta‘allum, al-Zarnūjī menguraikan prinsip adab dalam proses belajar—mulai dari memilih guru, menata niat, hingga cara mengatur waktu. KH. Hasyim Asy’ari mengambil semangat ini, lalu memfokuskan perhatiannya pada peran guru sebagai pemimpin ruhani dan murabbi. Bagi beliau, seorang guru bukan hanya penyampai pengetahuan, tetapi pemandu jalan menuju kedekatan dengan Allah.

“Guru adalah pewaris nabi. Maka, hendaklah ia mendidik dengan cinta, bukan dengan amarah; dengan keteladanan, bukan hanya lisan.”

Ketiga, Ibn Sahnūn dalam kitab karyanya Adab al-Mu‘allimīn memberikan perhatian besar terhadap relasi sosial antara guru, murid, dan masyarakat. KH. Hasyim Asy’ari tampak mengadopsi struktur adab ini, terutama dalam penggambaran sikap-sikap guru: tawadhu’, menjauhi kesombongan, menjaga lisannya, dan menjunjung wibawa keilmuan.

Ia mengingatkan bahwa guru tidak boleh memanfaatkan murid untuk kepentingan dunia, dan harus berhati-hati terhadap penerimaan hadiah yang berpotensi merusak niat.

“Seorang guru harus wara’ dan tidak memanfaatkan murid demi dunia. Jika demikian, maka hilanglah keberkahan ilmu.”

Keempat, melalui Iqtiḍā’ al-‘Ilm al-‘Amal, al-Khaṭīb al-Baghdādī mengingatkan bahwa ilmu adalah amanah dan orang yang menguasainya akan dimintai pertanggungjawaban. KH. Hasyim Asy’ari menyerap semangat ini dalam ajarannya bahwa guru tidak cukup hanya pandai berbicara, melainkan juga harus menjadi sosok yang pantas ditauladani.

Guru yang gagal mengamalkan ilmunya, dalam pandangan kedua tokoh ini, lebih berbahaya dari orang bodoh.

“Orang yang paling berat siksanya di akhirat adalah orang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya.”- (HR. Thabrani, dikutip dalam Iqtiḍā’ al-‘Ilm al-‘Amal)

Secara keseluruhan, kitab ini lebih dari sekadar manual perilaku seorang guru. Ia adalah cermin spiritualitas Islam tradisional, yang menjadikan ilmu sebagai jalan menuju Allah dan guru sebagai lentera yang membimbing murid melalui cahaya akhlak, doa, dan cinta.

Kitab ini juga menjadi wujud keberanian KH. Hasyim Asy’ari untuk menyambungkan pesan akhlak para ulama klasik dengan konteks lokal pesantren Nusantara. Ia tidak hanya melestarikan, tetapi mengontekstualisasikan—menjadikan ajaran klasik tetap hidup dalam kultur pendidikan Islam Indonesia.Top of FormBottom of Form

Lantas Seperti Apa Adab Guru Menurut Paulo Freire?

Dalam lanskap pemikiran pendidikan yang selama ini dipenuhi oleh relasi kuasa yang kaku antara guru dan murid, Paulo Freire hadir sebagai pemecah dominasi. Ia tidak hanya menawarkan teori pendidikan, tetapi sebuah etika—sebuah adab—yang menempatkan guru bukan sebagai menara gading ilmu, melainkan sebagai manusia yang tumbuh bersama muridnya. Dalam kerangka itu, adab guru menurut Freire bukanlah sekadar soal wibawa atau ketundukan, melainkan soal kemanusiaan, kerendahan hati, dan kesediaan berdialog.

Bagi Freire, guru yang beradab adalah guru yang mampu menolak model pendidikan gaya “bank”, yaitu pendekatan yang memandang murid sebagai celengan kosong yang mesti diisi. Dalam sistem itu, guru tahu segalanya, murid tahu tidak apa-apa. Guru aktif, murid pasif. Guru berbicara, murid mendengar. Tapi Freire menolak relasi seperti itu. Ia percaya bahwa pendidikan sejati bukanlah transfer pengetahuan, melainkan penciptaan makna bersama, sebuah proses di mana guru dan murid saling berbagi pengalaman, saling mendengarkan, saling memperkaya.

Dalam ruang kelas yang ideal menurut Freire, guru tidak duduk di atas, tetapi berdiri sejajar. Ia tidak bicara untuk didengar, tetapi berdialog untuk dimengerti. Guru tidak menganggap murid sebagai “belum tahu” yang harus ditarik ke levelnya, tapi melihat murid sebagai manusia utuh dengan dunia, bahasa, pengalaman, dan kesadarannya sendiri. Guru yang baik adalah guru yang bersedia belajar dari muridnya. Inilah bentuk kerendahan hati yang khas dalam adab Freirean.

Namun, adab guru menurut Freire tidak hanya berhenti pada ranah etika personal. Ia menembus hingga wilayah politik: guru adalah agen perubahan sosial. Seorang guru, dalam pandangan Freire, wajib menumbuhkan kesadaran kritis pada muridnya—membantu mereka membaca realitas hidup, mengajukan pertanyaan, dan akhirnya memiliki keberanian untuk mengubah dunia di sekitarnya. Maka, guru yang beradab bukan hanya yang sabar dan bijak, tetapi yang tidak membiarkan ketidakadilan terus hidup di depan mata muridnya.

Dengan begitu, seorang guru menurut Freire bukan hanya pendidik, tapi kawan seperjalanan. Ia adalah sosok yang hadir dengan penuh empati, menciptakan ruang aman untuk bertanya dan meragukan, membimbing tanpa memaksa, menginspirasi tanpa menggurui. Ia tidak mencetak murid yang patuh, tetapi membebaskan manusia agar mampu berpikir, berbicara, dan bertindak secara otonom.

Adab guru, bagi Freire, adalah keberanian untuk melepaskan ego, merayakan kemanusiaan bersama, dan menolak menjadi bagian dari sistem yang membungkam. Dalam dunia pendidikan yang seringkali terlalu formal dan feodal, Freire mengajarkan bahwa mendidik adalah tindakan cinta—dan cinta yang sejati selalu lahir dari penghormatan yang mendalam terhadap sesama manusia.

Penulis : Djemi Radji - Direktur Association for Religious and Culture Studies


Daftar Rujukan:

  1. Al-Ghazālī. Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn,  Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
  2. Al-Zarnūjī. Ta‘līm al-Muta‘allim Ṭarīq at-Ta‘allum, Dār al-Fikr.
  3. Ibn Sahnūn. Adab al-Mu‘allimīn. Mesir: Dār al-Kutub.
  4. Al-Khaṭīb al-Baghdādī. Iqtiḍā’ al-‘Ilm al-‘Amal, Dār Ibn Ḥazm.
  5. Ibn Jama‘ah. Tadhkirah al-Sāmi‘ wa al-Mutakallim, al-Maktabah al-Azhariyyah.
  6. KH. Hasyim Asy’ari. Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim, cet. Tebuireng, 1980.
  7. Paulo Freire, Pendidikan untuk kaum tertindas, Pustaka LP3ES Indonesia, Mei 2013
  8. Paulo Freire, Pendidikan masyarakat kota, Penerbit: LKiS, Yogyakarta, Juni 2011
  9. Murtiningsih Siti, Pendidikan alat perlawanan: Teori pendidikan radikal Paulo, Penerbit: Resist Book, Yogyakarta, Oktober 2004
  10. Darmaningtyas. Pendidikan yang Memiskinkan. Yogyakarta: Resist Book, 2004.

Posting Komentar

0 Komentar