Di tengah derasnya arus informasi digital, sebuah simbol fiksi dari dunia anime—bendera bajak laut One Piece dengan tengkorak tersenyum dan dua tulang menyilang. Ia mendadak viral dan menuai kontroversi. Bendera ini, yang semula hanya dikenal oleh kalangan penggemar, berubah menjadi ikon publik setelah dikibarkan yang tak luput dari sorot kamera. Bukan sekadar viral, simbol itu memantik reaksi serius dari aparat dan pejabat. Negara pun terlihat kikuk menghadapi pertanyaan: ini bendera kartun atau simbol makar?
Seandainya KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur masih hidup, ia mungkin akan menertawakan kepanikan ini dengan komentar sarkastik, “Negara kok takut sama tengkorak kartun?” Sebagai sosok yang paham betul bahasa rakyat dan kedalaman ekspresi budaya, Gus Dur tidak mudah terjebak dalam tafsir harfiah simbol. Ia memahami bahwa dalam masyarakat yang penuh tekanan, simbol bisa menjadi ruang pelarian sekaligus perlawanan—dan sering kali lewat jalur yang tidak formal, bahkan jenaka. Gus Dur tidak alergi pada kreativitas, apalagi yang tumbuh dari semangat kemerdekaan berekspresi.
Dalam satu pernyataan yang legendaris dan kerap menuai kontroversi, Gus Dur pernah berkata, “Bintang Kejora itu cukup dipasang tidak setinggi bendera Merah Putih, bukan berarti kita harus memberangusnya.” Kalimat itu, meski sederhana, sarat makna politik, kemanusiaan, dan pandangan kebudayaan yang luar biasa dalam. Ia lahir dari seorang negarawan yang paham betul bahwa bangsa bukan dibangun dari ketakutan terhadap simbol, tapi dari keberanian mengakui perbedaan dan memeluk dialog.
Bagi Gus Dur, simbol seperti Bendera Bintang Kejora dan One Piece bukan semata-mata tanda makar atau separatisme. Ia bisa juga menjadi simbol identitas, ekspresi kultural, dan suara yang ingin diakui, tanpa harus selalu diartikan sebagai upaya memisahkan diri dari NKRI. Sebab dalam perspektifnya, yang harus dilawan adalah ketidakadilan, bukan ekspresi kultural yang menjadi penanda eksistensi sebuah kelompok.
Di sisi lain, negara—yang terbiasa dengan struktur komunikasi top-down dan simbol resmi—gagap dalam membaca makna baru ini. Maka muncullah respons berlebihan; simbol fiksi ditafsirkan sebagai ancaman ideologis.
Untuk memahami dinamika ini lebih jauh, kita bisa meminjam teori dari Steven Littlejohn, seorang pakar komunikasi yang menekankan pentingnya konteks sosial dan makna dalam proses komunikasi. Menurut Littlejohn, simbol dan pesan tidak pernah berdiri sendiri; mereka selalu diproduksi, disebarkan, dan diterima dalam jaringan makna yang kompleks. Maka, dalam konteks bendera bintang kejora dan One Piece, simbol tersebut tidak bisa dimaknai tunggal. Bagi penguasa, ia mungkin tampak subversif. Tapi bagi masyarakat, ia bisa berarti harapan, solidaritas, atau bahkan sekadar identifikasi budaya.
Littlejohn juga menyoroti paradigma interaksionisme simbolik, yang menunjukkan bahwa makna diciptakan dalam interaksi sosial. Dalam hal ini, makna bendera itu tidak berasal dari penciptanya saja, tapi dari bagaimana ia digunakan, dibicarakan, dan diterima oleh publik. Artinya, viralnya bendera One Piece adalah hasil dari interaksi masyarakat digital yang aktif menafsir, menirukan, dan memodifikasi makna sesuai pengalaman kolektif mereka.
Viralnya bendera One Piece adalah cermin zaman. Ia bukan sekadar fenomena kartun, tapi ekspresi politik kultural dalam format yang lebih cair, kreatif, dan subversif. Negara yang gagal membaca simbol ini dengan arif justru berisiko memperbesar maknanya sebagai bentuk perlawanan. Dan seperti yang diyakini Gus Dur, kebudayaan dan ekspresi rakyat tidak bisa dibungkam dengan tafsir sempit kekuasaan. Sebab terkadang, bendera tengkorak lebih jujur mewakili perasaan publik ketimbang jargon politik yang kehilangan makna.
Oleh : Djemi Radji
0 Komentar