Gus Dur dan Tafsir Jernih atas Marxisme-Leninisme

Gus Dur dan Fidel Castro (Foto: iqra.id)

Gus Dur dan Tafsir Jernih atas Marxisme-Leninisme

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bisa dikatakan sebagai sosok multitalenta dalam menafsirkan berbagai ideologi dan aliran pemikiran. Terutama ketika membicarakan soal Marxisme dan Leninisme, Gus Dur menunjukkan ketajaman intelektual yang jarang dimiliki oleh tokoh-tokoh lain. Ia bukan hanya memahami permukaan, melainkan menembus ke dalam inti gagasan yang ditawarkan. Dalam hal ini, ia jauh berbeda dari tokoh-tokoh seperti Amien Rais, Gatot Nurmantyo, dan Rizieq Shihab yang cenderung mengusung pendekatan “anti” tanpa memahami substansi di balik gagasan yang mereka kritik.

Saya telah melacak berbagai pernyataan dan kampanye mereka yang mengusung narasi “anti-komunis”. Sayangnya, argumentasi yang mereka sampaikan tampak lemah dan retoris belaka. Mereka tidak seperti Gus Dur, yang secara fundamental dan teoritis dalam membaca suatu pemikiran. Keluasan bacaan Gus Dur, serta kemampuannya menimbang nilai-nilai lintas ideologi, menjadi bekal utama dalam melihat berbagai aliran dengan mata jernih dan hati terbuka.

Sebagai seorang intelektual Muslim dan santri, Gus Dur bahkan dikenal pernah melahap buku-buku seperti Das Kapital karya Karl Marx, What Is To Be Done karya Lenin, hingga Buku Merah Mao Zedong. Namun, dalam banyak kesempatan, ia juga menunjukkan ketidaksepakatannya terhadap beberapa aspek penting dalam Marxisme, seperti kritik Marx bahwa "agama adalah candu".

Gus Dur memahami bahwa Marxisme-Leninisme sebagai doktrin politik bersandar pada filsafat materialisme, yang menolak dimensi spiritual. Ini jelas bertentangan dengan dasar-dasar keyakinan Islam. Namun di sisi lain, Gus Dur tetap mampu menghargai nilai-nilai kolektivisme, perjuangan melawan penindasan, dan semangat keadilan sosial yang ditawarkan Marxisme.

Salah satu warisan besar Gus Dur dalam sejarah kebebasan berpikir di Indonesia adalah pencabutan Tap MPRS No. 25/MPRS/1966, yang melarang penyebaran Marxisme dan Leninisme. Kebijakan ini mencerminkan keberanian luar biasa dari seorang pemimpin jebolan pesantren yang menempatkan kebebasan akademik dan berpikir sebagai fondasi penting dalam negara demokratis. Menurut Gus Dur, pelarangan paham Marxisme-Leninisme adalah bentuk pelanggaran terhadap UUD 1945 dan prinsip kebebasan berpendapat.

Dalam berbagai kesempatan, Gus Dur berulang kali menyampaikan bahwa paham tidak bisa dibasmi hanya dengan larangan formal. Dalam satu forum bedah buku Aku Bangga Menjadi Anak PKI karya dr. Ribka Tjiptaning, Gus Dur pernah mengatakan, “Keberadaan paham Marxisme dan Leninisme tak bisa dilarang, karena paham bekerja di otak.”

Sikap terbuka Gus Dur terhadap Marxisme-Leninisme tidak berarti menerima seluruh ajarannya secara utuh. Ia menempatkan ideologi tersebut sebagai salah satu alat baca sosial-politik, bukan sebagai doktrin dogmatis. Dalam artikelnya yang berjudul Marxisme-Leninisme dalam Perspektif Islam, Gus Dur menganalisis penerapan unsur-unsur Marxisme dalam sistem politik negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, seperti Libya di bawah Khadafi.

Khadafi, meski secara formal menolak komunisme, banyak menerapkan elemen-elemen Marxisme ke dalam sistem Jamahiriyah-nya. Istilah seperti “kelompok pelopor revolusi”, “pengawal revolusi”, dan “dewan rakyat” adalah contoh nyata bagaimana konsep Leninisme meresap dalam praktik politik Libya. Menurut Gus Dur, hal ini menunjukkan bahwa ide-ide Marxis bisa diterapkan dengan penyesuaian lokal, bahkan dalam konteks masyarakat Islam.

Tak hanya Khadafi, para pemikir Muslim seperti Ali Syari'ati di Iran dan Malik Bennabi di Aljazair juga mencoba mengintegrasikan semangat Marxis—seperti keadilan sosial, anti-penindasan, dan kolektivisme—ke dalam kerangka pemikiran Islam. Gus Dur mencatat bahwa masyarakat Muslim awal di Madinah pun dibentuk oleh semangat kolektivisme dan kesederhanaan struktural, yang memiliki kesamaan dengan visi masyarakat yang diperjuangkan oleh Marxisme.

Pada akhirnya, Gus Dur mengajak kita untuk lebih jernih dan inklusif dalam menyikapi paham-paham yang dianggap kontroversial. Ia menolak cara berpikir yang memusuhi ideologi secara membabi buta tanpa memahami konteks, isi, dan manfaat potensialnya. Ia tidak melihat Marxisme sebagai musuh, tetapi sebagai salah satu cara berpikir yang bisa dikritisi dan dipelajari.

Bagi Gus Dur, Marxisme-Leninisme adalah filsafat politik yang bisa diperlakukan seperti filsafat lainnya: dibaca, dipelajari, diambil yang baik, dan dikritisi yang bertentangan dengan nilai-nilai kita. Ia tidak pernah menjadi penganut Marxisme, tetapi juga tidak merasa perlu memusuhinya secara irasional. Gus Dur berdiri di posisi yang langka: posisi keberanian intelektual.

Kritik Marx terhadap agama sebagai candu masyarakat pun, dalam pandangan Gus Dur, bisa dimaklumi. Sebab pada zamannya, agama memang telah mengalami stagnasi dan tidak lagi menjadi kekuatan pembebas. Namun, jika agama difungsikan sebagai alat pembebasan dan penegakan keadilan sosial, mungkin Marx tidak akan melontarkan kritik sekeras itu.

Pertanyaannya: apakah kita perlu bersikap eksklusif terhadap suatu paham yang sebenarnya lahir dari semangat membela kaum tertindas? Atau justru perlu belajar dari Gus Dur untuk membuka mata, membaca dengan jernih, dan mengambil hikmah dari mana pun ia berasal?


Posting Komentar

0 Komentar