Pendang Kalengkongan: Sang Pengibar Merah Putih yang Terlupakan

Rumah kediaman Alm. P Kalengkongan di Kompleks Mapolres Gorontalo Kota (Foto: Rosyid Azhar)

Sejarah, sebagaimana ia ditulis dan diwariskan, tak selalu adil pada semua tokoh yang turut membentuknya. Di Gorontalo, ada satu kisah perjuangan kemerdekaan yang begitu menggetarkan hati. Satu tanggal yang diperingati setiap tahun, 23 Januari 1942—jauh sebelum proklamasi nasional oleh Soekarno-Hatta—di mana rakyat Gorontalo dengan lantang menyatakan diri merdeka dari penjajahan Belanda. Hari itu, nama Nani Wartabone menggema sebagai tokoh utama. Namun, sejarah ternyata tidak hanya ditopang oleh satu tokoh. Di balik sorotan kepada Nani, ada nama-nama lain yang bekerja dalam diam, dengan keberanian yang sama, dengan risiko yang setara. Salah satunya adalah Pendang Kalengkongan.

Nama yang asing bagi generasi muda. Bahkan banyak yang mengulas tentang Hari Patriotik 23 Januari 1942, namanya nyaris tak disebut. Padahal, ia adalah salah satu bagian dari kekuatan utama yang memungkinkan deklarasi kemerdekaan Gorontalo bisa terlaksana. Kalengkongan, seorang Kristen taat, menjabat sebagai Kepala Kantor Pos dan Telegraf di masa kolonial, lalu sempat menjadi Kepala Pos Polisi Gorontalo. Dari jabatan strategis inilah, perannya begitu vital. Ia bukan hanya saksi sejarah, melainkan pelaku sejarah.

Gorontalo Menyalakan Api Revolusi Lebih Dini

Indonesia secara resmi menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Namun, di tanah Gorontalo, semangat untuk lepas dari penjajahan sudah meletup jauh sebelum itu. Dalam situasi Perang Dunia II yang semakin panas, Jepang mulai merangsek ke wilayah Asia Tenggara, termasuk Nusantara. Belanda yang mulai melemah karena tekanan global semakin tak mampu menjaga hegemoni. Momentum ini ditangkap cerdas oleh para pemuda dan tokoh pergerakan di Gorontalo.

Dipimpin oleh Abdul Kadir Wartabone (kemudian diberi gelar Pahlawan Nasional dengan nama Nani Wartabone), para pejuang Gorontalo merancang sebuah gerakan revolusioner. Gerakan ini melibatkan berbagai kalangan—tokoh adat, pemuda, tokoh agama, pegawai kolonial yang berpihak pada kemerdekaan, termasuk kalangan Kristen Minahasa yang bertugas di Gorontalo.

Rangkaian koordinasi disusun secara rahasia. Informasi disebar secara hati-hati, dan komunikasi menjadi kunci dari setiap keberhasilan gerakan. Di sinilah nama Pendang Kalengkongan menjadi sangat penting.

 Pendang Kalengkongan: Di Tengah Pusaran Strategi Revolusi

Sebagai Kepala Kantor Pos dan Telegraf, Kalengkongan bukan orang sembarangan. Ia menguasai jalur komunikasi resmi kolonial. Dalam situasi di mana informasi bisa jadi senjata utama, Kalengkongan memiliki kuasa untuk memutus, membelokkan, atau mengaburkan arus informasi dari dan ke pusat pemerintahan kolonial di Batavia (Jakarta).

Menurut berbagai catatan lisan, Kalengkongan-lah yang memutus jalur komunikasi antara Pemerintah Hindia Belanda di Gorontalo dengan pusat kekuasaan kolonial di luar Sulawesi. Ini adalah tindakan revolusioner yang luar biasa berani. Sebab, keputusan itu jelas mengandung risiko besar: penangkapan, penyiksaan, hingga kematian. Tapi Kalengkongan memilih berdiri bersama rakyat.

Ia bahkan menjadi tokoh yang mengibarkan bendera Merah Putih pertama kali di halaman Kantor Pos Telegraf pada hari deklarasi, 23 Januari 1942. Tindakan simbolis ini bukan hanya bagian dari upacara, melainkan deklarasi nyata bahwa pemerintahan kolonial telah tumbang. Setelah pengibaran bendera, pasukan gabungan rakyat Gorontalo kemudian menangkap pimpinan kolonial Belanda di Kantor Pusat Pemerintahan Gorontalo (kini rumah dinas gubernur).

Dihapus dari Komite, Tapi Tak Dapat Dihapus dari Sejarah

Salah satu bagian paling menyakitkan dalam narasi ini adalah kenyataan bahwa Pendang Kalengkongan tidak tercatat sebagai bagian dari Komite 12, komite perjuangan yang digagas oleh Kusno Danupoyo (ketua) dan Nani Wartabone (wakil ketua). Tidak ada penjelasan pasti mengapa ia tidak dimasukkan. Namun banyak dugaan yang menyebutkan bahwa perbedaan latar agama dan politik internal menjadi faktor yang membuat Kalengkongan “dicoret” secara sistematis dari narasi resmi perjuangan.

Padahal, jika ditinjau dari peran dan posisi strategis, Kalengkongan jelas berada di lingkaran terdalam. Ia bukan sekadar pendukung, tapi juga arsitek operasional dari peristiwa yang kini dikenal sebagai “Deklarasi Kemerdekaan Gorontalo”.

Usai peristiwa itu, Kalengkongan tidak hidup tenang. Pemerintahan Jepang yang kemudian masuk menggantikan Belanda melihatnya sebagai ancaman. Ia ditangkap dan dibuang ke Pulau Morotai, tempat pengasingan di Kepulauan Maluku. Ini menunjukkan bahwa kontribusinya bukan fiktif—karena hanya mereka yang benar-benar berpengaruh yang dianggap berbahaya oleh penguasa penjajahan.

Tri Tunggal yang Terlupakan

Sebagian peneliti dan aktivis sejarah lokal mengusulkan istilah “Tri Tunggal Kemerdekaan Gorontalo” yang terdiri dari: Nani Wartabone, sang orator dan penggerak utama massa rakyat,Kusno Danupoyo, ketua komite strategi perjuangan,dan Pendang Kalengkongan, operator kunci pengendali komunikasi dan pengibar pertama Merah Putih.

Namun dalam kenyataannya, hanya dua nama yang dikenal publik. Kalengkongan tetap menjadi tokoh yang dipinggirkan, tidak ada monumen untuknya, hanya ada hanya nama jalan, bahkan tak banyak artikel yang memuat kisahnya secara layak. Padahal, kontribusinya sejajar. Bahkan dalam situasi tertentu, tanpa Kalengkongan, deklarasi 23 Januari bisa gagal total karena komunikasi dan logistik sangat tergantung padanya.

Kalengkongan bukan satu-satunya tokoh Kristen yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan di Gorontalo. Ada sejumlah nama lain dari latar etnis Minahasa yang menjabat posisi strategis dan berpihak pada rakyat, seperti: J. Poluan, Komandan Polisi Afdeling Gorontalo, J.J.F. Paat, J.A. Lasut, Th. Tumewu, A. Kondowangko, dan A. Tombeng—semuanya tokoh Kristen dari Minahasa.

Keberadaan mereka menjadi bukti bahwa perjuangan kemerdekaan bukan milik satu agama atau suku. Gorontalo telah lama menjadi ruang perjumpaan antara Islam dan Kristen, antara budaya lokal dan pendatang. Semua disatukan dalam tekad bersama: lepas dari kolonialisme.

Siapa yang Menulis Sejarah?

Sejarawan selalu mengatakan bahwa sejarah ditulis oleh para pemenang. Tetapi hari ini, ketika akses terhadap informasi terbuka luas, kita punya kewajiban moral untuk merevisi narasi-narasi sejarah yang timpang. Termasuk sejarah lokal kita.

Gorontalo, sebagai daerah yang berani memproklamasikan kemerdekaan lebih awal, memiliki kekayaan naratif yang luar biasa. Namun kekayaan ini tidak lengkap tanpa mengangkat kembali peran-peran yang terhapus. Pendang Kalengkongan harus kembali dimasukkan dalam cerita kemerdekaan kita. Ia bukan hanya nama. Ia simbol bahwa nasionalisme melampaui identitas agama, dan bahwa kemerdekaan Indonesia dibangun atas kerja sama lintas iman dan suku.

Sejarah yang tidak adil adalah sejarah yang pincang. Jika kita ingin membangun bangsa yang plural, toleran, dan berkeadilan, maka kita harus memulai dari meluruskan narasi-narasi masa lalu yang bias. Pengakuan terhadap nama-nama seperti Pendang Kalengkongan bukan sekadar penghargaan, tetapi penegasan bahwa setiap anak bangsa yang mencintai tanah airnya layak dikenang dan dihormati.

Kini, ketika setiap 23 Januari diperingati sebagai Hari Patriotik Gorontalo, marilah kita sematkan kembali satu nama dalam doa dan kenangan kita—Pendang Kalengkongan, sang pengibar Merah Putih, sang penggerak sunyi yang dilupakan.

Gorontalo, 23 Januari 2020

 

 

Posting Komentar

0 Komentar