Alissa, Magnet Kedua GUSDURian


Rakornas GUSDURian 2016, Yogyakarta

Tanpa KH. Abdurrahman Wahid, mungkin GUSDURian tak akan pernah ada. Lebih dari sekadar jaringan penggerak sosial keagamaan, GUSDURian adalah komunitas nilai—tempat para murid, pengagum, dan penerus cita-cita Gus Dur berkumpul dan bergerak. Di dalam simpul itu, Gus Dur adalah poros pertama, magnet yang menyatukan. Tapi ada satu magnet lain, yang tak kalah kuat dan menyejukkan: Alissa Wahid.

Saya mengenalnya bukan melalui seminar-seminar besar atau acara formal. Saya mengenalnya dari laku hidupnya yang tenang, sederhana, dan menyentuh. Tiga tahun silam, saya mengikuti Regional Meeting Penggerak GUSDURian se-Sulawesi di Makassar. Forum itu bukan sekadar agenda organisasi; ia adalah ruang pertemuan jiwa. Kami datang dengan catatan kerja, harapan besar, dan tentu saja: cinta. Cinta pada nilai, cinta pada komunitas ini.

Saat itu, kabar bahwa Alissa Wahid akan hadir di tengah kami membuat suasana forum makin hidup. Ia bukan sekadar koordinator nasional. Ia adalah anak Gus Dur, pewaris gagasan dan laku hidup yang dicintai banyak orang. Lebih dari itu, ia adalah simbol keberlanjutan perjuangan. Ia magnet kedua—berbeda dari Gus Dur, tapi mengalirkan arus yang sama.

Siang itu, saya dan Suaib Prawono, Presidium GUSDURian Sulawesi, mendapat tugas menjemput Alissa di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Kami datang lebih awal, dan seperti anak kecil menanti bintang idolanya, kami memandangi satu per satu penumpang yang keluar dari pintu kedatangan.

Lima belas menit. Tiga puluh menit. Satu jam. Tak kunjung terlihat.

"Delay sepertinya," gumam Suaib.

Dan betul. Pesawat yang ditumpangi Alissa ‘berputar-putar’ di langit Maros akibat cuaca buruk. Ia datang sendiri, tanpa protokoler, tanpa rombongan, tanpa pengawalan. Ia menumpang Lion Air—maskapai yang sering menjadi keluhan banyak orang karena jadwal tak menentu dan pelayanan minim. Dalam hati saya bertanya, “Kenapa bukan Garuda atau maskapai premium? Ia kan anak presiden.”

Tapi sesaat setelah melihatnya keluar dari pintu kedatangan, semua tanya itu larut oleh senyumnya yang hangat. Ia melambai, dan kami segera menyambutnya. Dengan sigap, saya menyodorkan tangan dan menawarkan diri membawakan barang bawaannya. Ya, layaknya seorang penggemar yang akhirnya bisa menyapa idola secara langsung.

Mungkin sebagian orang akan menyebut ini berlebihan. Tapi saya tahu, rasa cinta memang seringkali tak bisa dijelaskan. Rasa itu muncul bukan dari kekuasaan, bukan dari popularitas, tapi dari keteladanan.

Alissa menunjukkan kepada kami, bahwa menjadi anak seorang Gus Dur tak lantas membuat seseorang harus hidup dalam simbol-simbol kemewahan. Ia justru mewarisi kesederhanaan yang otentik. Ia hadir sebagai bagian dari kita, bukan di atas kita.

Dalam banyak pertemuan, Alissa kerap menegaskan bahwa GUSDURian bukan kultus individu. Bahwa Gus Dur bukan nabi. Bahwa GUSDURian bukan tempat menyembah tokoh. Tapi justru karena itulah Gus Dur dicintai. Dan karena itu pula Alissa dihormati.

Ia mengajak kami untuk terus bergerak berdasarkan sembilan nilai utama yang diwariskan Gus Dur: Ketauhidan, Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Pembebasan, Persaudaraan, Kesederhanaan, Kesatriaan, dan Kearifan Lokal. Ia bukan sekadar menyebut nilai-nilai itu di podium. Ia menjalaninya. Kesederhanaannya adalah bukti paling kasat mata.

Saya tak pernah melihat ia menonjolkan nama besar keluarganya. Dalam forum-forum kecil, ia hadir sebagai fasilitator, bukan bos. Ia mendengarkan, bukan mendikte. Dalam komunitas yang kerap dihuni oleh banyak ego dan narasi personal, Alissa menjadi titik keseimbangan: tenang, kokoh, dan terbuka.

Perjalanan GUSDURian tentu bukan tanpa tantangan. Dinamika sosial-politik di negeri ini terus berubah. Tekanan dari kanan dan kiri, baik yang ideologis maupun yang praktis, selalu datang silih berganti. Tapi yang membuat jaringan ini tetap bertahan, bahkan berkembang, adalah karena ia tak bertumpu pada karisma semata. Ia berdiri di atas nilai.

Dan di tengah tantangan itu, peran Alissa menjadi sangat penting. Ia bukan hanya penggerak struktural. Ia adalah penyejuk emosional dan penjaga spiritual. Sosok yang bisa memeluk penggerak yang lelah, dan menyemangati yang mulai goyah.

Gus Dur pernah berkata, “Kita ini belum kalah, karena kita belum menyerah.” Kalimat itu seolah menjadi napas dalam setiap gerakan GUSDURian. Dan Alissa adalah penjaga napas itu—menjaga kita tetap berjalan, tanpa kehilangan arah dan nyawa.

Hari itu di bandara Makassar, saya belajar banyak hanya dari satu kejadian sederhana. Bahwa kesetiaan pada nilai seringkali ditunjukkan lewat hal-hal kecil. Bahwa menjadi besar tak harus tampil mewah. Bahwa warisan sejati bukan kekuasaan, tapi keteladanan.

Alissa mungkin tidak sepopuler ayahnya. Tapi bagi kami, para penggerak di daerah, ia adalah magnet yang kuat. Yang menyatukan, menginspirasi, dan menggerakkan.

Ia tidak menggantikan Gus Dur. Tidak ada yang bisa. Tapi ia mewarisi semangatnya. Dan itu lebih dari cukup.

 


Posting Komentar

0 Komentar