Guru Membebaskan: Mengenang Abdurrahman Wahid, Sang Pejuang Kemanusiaan

Prof. Dr. H. Hasan Abas Nusi (Foro Djemi Radji)


Tak lama lagi, bangsa ini akan kembali memperingati kepergian seorang tokoh yang kehadirannya telah mengubah cara kita melihat negara, agama, dan terutama—kemanusiaan. Seorang tokoh besar yang tak hanya dikenang karena jabatannya sebagai Presiden keempat Republik Indonesia, tetapi terutama karena keberanian dan konsistensinya memperjuangkan martabat manusia.

Ia bukan hanya politisi, bukan sekadar ulama, bukan pula sekadar intelektual. Ia adalah Guru Kemanusiaan—seorang Guru Membebaskan. Namanya adalah Abdurrahman Wahid, atau yang dengan penuh kasih kita panggil Gus Dur.

Kemanusiaan di Atas Segalanya

Gus Dur bukan tipe pemimpin yang membentengi dirinya dengan dogma. Ia tidak memaksakan tafsir tunggal tentang agama, negara, atau kebenaran. Ia memilih jalan tengah—bukan jalan netral, tetapi jalan berpihak pada manusia sebagai pusat nilai-nilai.

Bagi Gus Dur, kemanusiaan adalah pangkal dari segala pengabdian. Ia tidak pernah membela ideologi secara membabi buta, tetapi membela hak-hak dasar manusia, terutama yang dipinggirkan, dilemahkan, atau disingkirkan oleh sistem sosial maupun negara.

Kerangka perjuangannya amat jelas jika dibaca dari maqashid al-syari'ah—tujuan-tujuan syariat Islam—yang dirumuskan oleh pemikir seperti al-Ghazali dan al-Syathibi:

Hifzh al-Din – hak untuk beragama dan berkeyakinan

Hifzh al-Nafs – hak atas kehidupan

Hifzh al-‘Aql – hak untuk berpikir dan menyampaikan pendapat

Hifzh al-‘Irdh wa al-Nasl – hak atas martabat tubuh dan kesehatan reproduksi

Hifzh al-Mal – hak untuk memiliki dan menjaga harta

Konsep-konsep ini tidak ia simpan di ruang akademik. Ia praktikkan di ruang publik. Ia hidupkan dalam kebijakan, keputusan, dan pembelaan yang nyata.

Membela yang Ditinggalkan

Gus Dur dikenal sebagai pembela mereka yang tak dibela siapa pun. Keberpihakannya bukan untuk mayoritas yang nyaman, melainkan untuk minoritas yang terancam.

Ia membela hak beragama warga Konghucu, dan karena itu pula ia mengakui Imlek sebagai hari libur nasional. Ia membela kelompok Ahmadiyah, yang kerap dilabeli sesat. Ia juga mengusulkan pencabutan TAP MPR XXV/1966 tentang pelarangan paham Komunisme, bukan karena ia seorang komunis, melainkan karena ia percaya setiap warga negara berhak berpikir.

Ia berdiri membela Inul Daratista, pedangdut yang dihujat karena gaya panggungnya, karena baginya, tubuh dan martabat perempuan bukan milik kolektif yang bisa diatur sesuka hati oleh tafsir moral sepihak.

Ia bahkan menyentuh luka lama bangsa ini dengan keberaniannya berbicara tentang korban-korban 1965. Dalam sebuah wawancara, ia berkata dengan tenang, “Saya tidak mau bangsa ini terus-terusan sakit karena dosa masa lalu yang tidak pernah diselesaikan.”

Tuhan Tidak Perlu Dibela

Barangkali salah satu kutipan Gus Dur yang paling mengguncang sekaligus paling mendalam adalah pernyataannya:

“Tuhan tidak perlu dibela. Yang perlu dibela adalah manusia yang diperlakukan tidak adil atas nama Tuhan.”

Ini adalah puncak spiritualitas Gus Dur. Ia tidak terjebak dalam pembelaan simbolik terhadap Tuhan dan agama, melainkan bergerak dalam pembelaan nyata terhadap umat manusia. Karena baginya, agama yang sejati adalah yang memuliakan manusia, bukan yang menghinakannya.

Bagi Gus Dur, iman bukanlah kesalehan privat yang eksklusif. Iman adalah tindakan kolektif yang membebaskan. Membela orang lemah adalah bentuk tertinggi dari kesalehan. Ia melihat relasi antara manusia dan Tuhan tidak bisa dipisahkan dari cara manusia memperlakukan sesamanya.

Dihujat, Tapi Tak Gentar

Sikap dan langkah Gus Dur tak selalu disambut hangat. Banyak dari keberpihakannya membuatnya dibenci oleh sebagian kelompok. Ia dicibir, dicaci, bahkan dituduh sesat oleh mereka yang tak paham jalan pikirannya. Tapi Gus Dur tetap tersenyum. Ia tetap tenang. Ia tidak pernah membalas makian dengan makian, melainkan dengan kasih, humor, dan akal sehat.

Ia pernah ditanya, bagaimana ia kuat menghadapi semua caci maki itu. Gus Dur hanya tertawa dan menjawab: “Orang boleh punya banyak rencana, tapi Tuhan juga punya rencana, dan rencana Tuhan-lah yang akan terjadi.”

Guru Membebaskan

Gus Dur bukan hanya seorang pemimpin. Ia adalah guru—yang tidak sekadar mengajar dari podium atau mimbar, tetapi mengajarkan dengan teladan. Ia adalah guru yang membebaskan murid-muridnya dari kebencian, dari sempitnya berpikir, dari kungkungan fanatisme.

Ia adalah sosok yang membuat orang berani berpikir berbeda, berani berdiri untuk yang lemah, dan berani menjadi manusia seutuhnya.

Warisan Gus Dur bukan hanya pada lembaga, kebijakan, atau yayasan yang ia dirikan. Warisannya adalah nilai-nilai, adalah keberanian untuk tetap menjadi manusia ketika yang lain memilih menjadi robot ideologi. Adalah keyakinan bahwa yang membedakan manusia dan makhluk lainnya adalah kemampuan untuk memperjuangkan nasib sesama.

Selamat Hari Guru

Hari ini, banyak orang menulis: “Selamat Hari Guru” di media sosial. Sebuah kalimat pendek yang mungkin terlihat biasa. Tapi di baliknya, tersimpan rindu yang tak pernah padam kepada sosok guru sejati: Gus Dur.

Ia telah tiada, namun setiap kali kita berdiri membela yang lemah, setiap kali kita menolak kebencian atas nama apapun, setiap kali kita percaya bahwa kemanusiaan lebih tinggi dari segala bentuk kekuasaan—di situlah Gus Dur hidup kembali.

Gus Dur bukan hanya tokoh sejarah. Ia adalah cermin moral masa depan. Dan kita semua adalah murid-muridnya.

“Tidak penting apapun agama atau sukumu… Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak tanya apa agamamu.”
— Abdurrahman Wahid

 

Djemi Radji
Gorontalo, 25 November 2020

Posting Komentar

0 Komentar