Nahdlatul Ulama dan Seruan Jihad Ekonomi

Foto Ilustrasi (Media Indonesia)



Kang Said atau Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj Ketum PBNU menjelaskan bahwa konsep Jihad Ekonomi telah lama termaktub dalam khazanah keilmuan Islam klasik. Dalam kitab Fathul Mu’in, disebutkan empat kategori jihad, salah satunya adalah daf’u dharari ma’shumin, yakni upaya melindungi masyarakat dari bahaya yang mengancam, termasuk dalam hal sandang, pangan, papan, hingga akses terhadap kesehatan.

Artinya, memenuhi kebutuhan dasar masyarakat bukan hanya tugas negara, tetapi juga termasuk tanggung jawab umat Islam sebagai bentuk jihad sosial yang berpahala.

Kewajiban Kolektif di Tengah Ketimpangan

Jihad Ekonomi harus dimaknai sebagai fardhu kifayah bagi warga NU, terlebih di tengah situasi ekonomi yang timpang. Data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menunjukkan bahwa 1% orang terkaya menguasai lebih dari 50% kekayaan nasional, sementara sebagian besar rakyat harus bertahan dengan kondisi serba terbatas.

Indonesia bahkan termasuk negara dengan tingkat ketimpangan tertinggi keempat di dunia setelah Rusia, India, dan Thailand. Ketimpangan ini bukan karena kemiskinan yang memburuk, melainkan karena akumulasi kekayaan yang melonjak di kalangan elite.

Pertumbuhan yang Tak Dinikmati Bersama

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia meningkat dari Rp 8.160 triliun pada 2013 menjadi Rp 10.550 triliun pada 2019. Namun, pertumbuhan ekonomi ini tidak dibarengi dengan pemerataan hasil.

Sebuah survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengungkap bahwa 91,6% responden menilai distribusi pendapatan di Indonesia sangat tidak merata. Ketimpangan ini dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, di kota maupun desa.

Akar Kesenjangan: Dari Lahir hingga Pasar Kerja

Laporan Bank Dunia menyebutkan tiga faktor utama penyebab ketimpangan ekonomi Indonesia:

  1. Ketimpangan peluang sejak lahir: Anak dari keluarga miskin tumbuh dalam lingkungan yang tidak adil dan sulit mengejar ketertinggalan.

  2. Ketimpangan pasar kerja: Mereka yang terjebak di sektor informal cenderung berpenghasilan rendah, terhambat mobilitas ekonomi, dan kalah saing dari pekerja formal yang lebih terampil.

  3. Pemusatan kekayaan: Satu persen rumah tangga terkaya menguasai lebih dari 50% aset nasional.

Situasi ini mengancam keadilan sosial, termasuk bagi warga NU yang mayoritas hidup dalam keterbatasan ekonomi.

NU: Bukan Anti-Konglomerat, Tapi Pro-Rakyat

NU tidak perlu menjadi anti-konglomerat. Namun warga Nahdliyin perlu mendukung para pelaku usaha besar selama mereka berpihak pada rakyat kecil. Esensi dari kebijakan ekonomi bukan sekadar pada angka dan grafik, tapi berpihak pada siapa dan memberi manfaat pada siapa.

Dengan jaringan struktural yang kuat hingga ke tingkat ranting dan didukung oleh para akademisi di perguruan tinggi, NU memiliki modal sosial dan intelektual yang sangat cukup untuk menggerakkan Jihad Ekonomi secara sistematis dan massif.

Mengintegrasikan Jihad Ekonomi dalam Dakwah

Para kiai dan dai NU perlu mulai menyisipkan pesan-pesan Jihad Ekonomi dalam ceramah keagamaan. Dakwah tidak cukup hanya mengajarkan ritus-ritus ibadah, tapi juga harus mampu mengangkat wacana ketimpangan dan solusi berbasis nilai Islam.

Mengutip Kang Said, warga NU kerap dipandang sebagai “kaum sudra” yang dianggap tak paham ekonomi, impor, ekspor, dan pasar modal. Namun hari ini, sudah saatnya membuktikan sebaliknya. Warga NU bukan sekadar penonton, tapi juga pelaku yang mampu mengambil peran strategis dalam ekonomi nasional.

“Saatnya berjihad. Bismillah.”


Posting Komentar

0 Komentar