![]() |
Becak 'n Motor (Bentor) Foto ilustrasi |
Minggu Paskah tiba. Udara pagi itu terasa hangat
dan mentari memancarkan sinarnya dengan terang, meski jam belum menunjuk angka
sepuluh. Dari sebuah kamar kos sederhana di Kecamatan Kota Tengah, Gorontalo,
seorang pemuda Batak berkulit sawo matang melangkah keluar dengan rapi. Namanya
Ricardo Situmorang. Ia seorang perantau, mahasiswa sekaligus jemaat Gereja
Protestan Indonesia Gorontalo (GPIG) Imanuel. Hari itu, 4 April 2021, adalah
hari besar dalam imannya—hari Paskah.
Bagi Ricardo, Paskah bukan sekadar momen
tahunan, tetapi pengingat akan peristiwa paling sakral dalam keyakinannya:
kebangkitan Yesus Kristus. Sebuah hari yang penuh harapan, kemenangan, dan suka
cita. Maka tak ada alasan untuk tidak hadir ke gereja meski jaraknya lumayan jauh,
sekitar 20 menit jika ditempuh dengan bentor—becak motor yang jadi alat
transportasi utama di Gorontalo.
Ricardo berjalan menuju pinggir jalan. Seperti
biasa, ia menanti bentor yang lewat dan bisa ia tumpangi. Tak berselang lama,
sebuah bentor berhenti di depannya. Pengemudinya mengenakan peci putih dan
celana cingkrang.
"Kemana, pak?" tanya sopan si
pengemudi, nada suaranya terdengar ramah.
"Ke arah Taruna Remaja, pak," jawab
Ricardo.
Abang bentor tampak ingin tahu lebih detail.
"Gereja Imanuel," lanjut Ricardo
menjelaskan.
Sesaat setelah kata “gereja” terucap, ekspresi
abang bentor berubah. Seketika ia menatap tajam dan meludah ke tanah. Tanpa
berkata sepatah pun, ia tancap gas dan meninggalkan Ricardo dalam debu dan
kebingungan.
Ricardo terpaku. Hari yang mestinya dipenuhi
sukacita, berubah menjadi muram hanya dalam hitungan detik. Ia bukan hanya
ditolak sebagai penumpang. Ia ditolak sebagai manusia. Bukan karena ia tidak
sopan, bukan karena tidak membayar. Tapi karena ia berbeda iman.
Madinah yang Hilang di Tengah Kota
Sebagai warga minoritas, Ricardo tak berharap
diperlakukan istimewa. Ia hanya ingin diperlakukan biasa. Tapi bahkan itu pun
tampaknya terlalu mewah di hari kudusnya. Peristiwa yang ia alami bukan hanya
soal jasa tumpangan yang ditolak, tapi tentang nilai-nilai kebhinekaan yang
ambruk dalam satu tindak penolakan.
"Daerah ini tak mencerminkan kota
Nabi," katanya lirih kemudian.
Sebagai seorang Kristiani yang hidup di
wilayah mayoritas Muslim, Ricardo tahu betul apa itu Madinah. Ia pernah membaca
sejarah Islam dan mengenal bagaimana Nabi Muhammad SAW mempersaudarakan
Muhajirin dan Anshar, serta membuat Piagam Madinah sebagai kontrak sosial untuk
melindungi hak semua golongan, termasuk Yahudi dan non-Muslim lainnya. Kota
yang menjadi rumah bagi semua.
Tapi hari itu, di sebuah sudut Kota
Gorontalo—yang masyarakatnya mengaku berbudaya religius dan menjunjung adat
bersendikan syara', syara’ bersendikan Kitabullah—Ricardo tak menemukan semangat
Madinah itu. Yang ia temukan adalah tembok pemisah, yang dibangun bukan dari
batu, tapi dari prasangka dan kebencian.
Menjadi Minoritas di Negeri Beragama
Ricardo bukan satu-satunya. Banyak di antara
kita yang pernah—atau masih—merasa asing di tanah sendiri hanya karena berbeda.
Seorang perempuan non-Muslim diminta turun dari angkutan umum karena memakai
kalung salib. Seorang guru dilarang mengajar karena ia bukan dari agama
mayoritas. Seorang pekerja di kantor swasta dibatasi ruang ibadahnya karena
dianggap “tidak seiman.”
Ironisnya, semua itu terjadi di negeri yang konon berketuhanan dan berkeadaban. Di tanah yang penuh masjid megah dan gereja sunyi, musholla di tiap sudut tapi rumah ibadah lain seringkali harus berjuang bahkan hanya untuk dibangun. Kita tumbuh di tengah doa, tapi lupa makna welas asih.
Tulisan ini bukan seruan untuk marah. Ia
adalah panggilan untuk merenung. Bahwa toleransi bukanlah karunia mayoritas
kepada minoritas. Ia adalah kewajiban moral yang bersumber dari iman—iman
apapun itu.
Umat Islam, yang menjadi mayoritas di negeri
ini, punya tanggung jawab lebih besar untuk menjadi teladan dalam keramahan
iman. Seperti sabda Nabi Muhammad SAW, "Barangsiapa
yang menyakiti dzimmi (non-Muslim yang dilindungi), maka ia telah
menyakitiku." Dan bukankah Islam hadir sebagai rahmatan lil ‘alamin—rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya
untuk kaum Muslimin?
Sebaliknya, umat Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, dan kepercayaan lainnya juga perlu terus merawat kerendahan hati. Menghadapi diskriminasi dengan martabat, bukan kebencian yang sama. Karena perlawanan terhadap intoleransi bukan dengan kekerasan, tapi dengan keteguhan moral.
Indonesia adalah rumah bersama. Ia tak
dibangun dari satu warna, satu nama, atau satu kitab. Ia dibentuk dari berjuta
perbedaan yang dirangkai dalam janji luhur bernama Pancasila. Maka siapapun
yang mencoba merusak tenun kebangsaan ini, sesungguhnya sedang menyalahi amanat
sejarah.
Ricardo mungkin hanya seorang pemuda yang
hendak ke gereja. Tapi kisahnya mencerminkan luka besar di tubuh bangsa. Luka
yang tak akan sembuh jika kita terus memilih-milih siapa yang pantas kita
hormati berdasarkan agama yang dianutnya.
Mungkin sudah waktunya kita berhenti menyebut diri sebagai kota religius, kota seribu wali, kota nabi—jika sikap kita sehari-hari justru mencederai nilai-nilai ilahiah yang dibawa para nabi itu sendiri.
Mari, kita jadikan lingkungan kita sebagai
Madinah kecil: kota persaudaraan, tempat yang tak memilih siapa yang boleh naik
bentor, siapa yang boleh duduk di kelas, siapa yang berhak merasa aman dan
dihargai. Karena hanya dengan begitu, iman kita—apa pun agamanya—tak sekadar
jadi label, tapi jadi cahaya yang menerangi sekitar.
Dan kepada abang bentor itu, mungkin Ricardo
tak sempat berkata apa-apa. Tapi diamnya telah menyampaikan pesan:
“Hari ini, kau menolak aku ke gereja. Tapi aku
tetap akan mendoakanmu agar suatu hari nanti, kau bisa melihatku tak sebagai
kafir, tapi sesama.”
0 Komentar