![]() |
Foto : FISIP UMSU |
“Budayawan” dan Panggung Kuda Lumping
Di sebuah sekretariat mahasiswa yang tak terlalu luas, malam itu kopi hitam mengepul dan suara gorengan digigit pelan-pelan jadi irama diskusi. Seperti biasa, selepas rapat formal, para aktivis dari berbagai organisasi mahasiswa ekstra kampus membentuk lingkaran kecil. Diskusi semacam ini bukan sekadar rutinitas; ia sudah menjadi ritus sosial—tempat membedah pikiran dan menyambung gagasan, meski sesekali hanya jadi pengisi waktu kosong.
Namun malam itu ada yang berbeda. Seorang budayawan kawakan asal Sablair (sebelah air) datang meramaikan tongkrongan. Ia tiba dengan Toyota Kijang Inova silver keluaran 2021—mobil yang kontras dengan aura kerakyatan yang sering ia banggakan di berbagai forum kebudayaan.
Namanya Alfret. Atau begitulah ia dikenal di ratusan flayer diskusi yang menyebutnya dengan embel-embel: (Budayawan). Tidak ada yang benar-benar tahu kapan gelar itu mulai disematkan, atau apakah pernah diuji secara kolektif. Yang pasti, setiap forum kebudayaan di wilayah itu hampir tak pernah absen menyebut namanya. Seperti wayang yang wajib tampil dalam lakon, Alfret hadir bukan hanya sebagai narasumber, tetapi sebagai semacam “penjaga tafsir tunggal.”
Monopoli Tafsir dan Gila Hormat
Konon, di kalangan aktivis, Alfret dikenal gila hormat dan pilih-pilih lawan diskusi. Ia menghindari debat terbuka, dan enggan berlama-lama dengan mereka yang tak tunduk pada caranya membaca budaya. Bagi Alfret, kebudayaan bukan ruang tafsir bersama, melainkan teks suci yang hanya boleh ia baca.
Dalam The Interpretation of Cultures, Clifford Geertz menyebut budaya sebagai “jaring makna” yang ditenun manusia dan harus dibaca secara interpretatif. Tapi dalam praktiknya, budaya sering kali diseret ke ruang yang paling personal—dimonopoli oleh mereka yang merasa paling berhak menafsir.
“Budaya adalah sistem simbol,” tulis Geertz, “dan tugas peneliti adalah memahami makna di balik simbol itu, bukan memutlakkan satu makna sebagai satu-satunya.”
Tapi itulah Alfret. Ia menempatkan dirinya bukan sebagai pembaca simbol, melainkan sebagai simbol itu sendiri.
“Coba lihat mukanya, bibir dan alisnya tak karuan waktu dipuji,” bisik seorang teman. “Itu tandanya dia sedang menikmati sanjungan.”
Saya hanya mengangguk. Ada kebenaran dalam humor itu.
Saat Pertanyaan Tak Lagi Netral
Malam itu, salah satu aktivis akhirnya mengangkat tangan dan bertanya:
“Bang Alfret, izin bertanya. Sebenarnya, apa makna tarian kuda lumping?”
Pertanyaan itu sederhana, tetapi menyimpan ranjau. Kuda lumping, sebagai seni pertunjukan rakyat, adalah perpaduan antara spiritualitas, ketubuhan, dan resistensi. Ia hidup di pinggiran, di antara kesadaran dan trans, antara hiburan dan ritus.
Alfret menjawab dengan lantang:
“Kuda lumping adalah ekspresi spiritualitas Jawa yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan logika. Ia adalah ruang antara sadar dan tidak sadar. Tarian itu bukan tontonan. Ia adalah laku hidup.”
Jawaban itu seolah sakral, tapi klise. Tidak ada yang berani membantah. Mungkin bukan karena semua setuju, tapi karena kami paham: melawan otoritas simbolik berarti siap diasingkan dari lingkaran wacana.
Otto Scharmer, dalam teorinya Theory U, menyebut bahwa transformasi hanya bisa terjadi jika seseorang membuka pikiran (open mind), hati (open heart), dan kemauan (open will). Tanpa ketiganya, seseorang hanya akan mereproduksi masa lalu, bahkan ketika ia mengklaim sedang membicarakan masa depan.
Dan inilah tragedi kecil dalam diskusi malam itu: kehadiran budayawan justru menutup ruang berpikir. Ia hadir tidak untuk merangsang dialog, melainkan untuk memonopoli narasi.
Padahal, jika benar ingin merawat kebudayaan, kita harus menciptakan ruang bersama untuk tafsir. Kebudayaan adalah arena hidup, bukan museum gagasan. Ia bukan milik siapa pun, termasuk mereka yang paling sering diundang menjadi pembicara.
Malam itu saya pulang dengan pertanyaan yang tak terjawab. Bukan tentang kuda lumping, tetapi tentang siapa yang sedang menunggangi makna.
Apakah budayawan seperti Alfret sedang merawat tradisi, atau justru menjadikannya kendaraan untuk melanggengkan otoritas?
Karena sejatinya, seperti penari kuda lumping yang kerasukan, terkadang kita lupa: apakah kita yang mengendalikan budaya, atau budaya yang sudah lama dikendalikan oleh wajah-wajah tertentu?
Dan malam itu, mungkin kuda-kuda dalam pikiran saya menari... tapi bukan karena kesurupan.
0 Komentar