Perdamaian Tanpa Keadilan adalah Ilusi. Tafsir Gus Dur di Tengah Konflik Palestina, Israel dan Iran

“Perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi.” Ungkapan sangat identik dengan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan sering dijadikan landasan banyak kalangan, termasuk para pengagumnya. Namun bagi Gus Dur, kalimat itu bukan sekadar slogan. Ia adalah prinsip moral dan politik. Ia bukan sekadar impian damai, tapi kritik tajam terhadap dunia yang mencoba menyembuhkan luka tanpa membersihkan nanah. Dalam konflik Palestina, Israel, dan Iran, ungkapan ini kembali menemukan relevansinya yang sangat kuat.

Gus Dur, yang dikenal sebagai pemikir Islam progresif, selalu mengingatkan bahwa perdamaian sejati tidak bisa dibangun di atas luka yang dibiarkan menganga. Perdamaian tidak bisa dipaksakan jika rasa keadilan tidak dipenuhi. Damai bukanlah ketiadaan suara senapan, tetapi kehadiran rasa aman, hak hidup, dan pengakuan atas martabat manusia.

Bagi Gus Dur, Islam adalah agama keadilan sebelum menjadi agama ketertiban. Ia sangat menekankan ayat Al-Qur’an:

"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan..." (QS. An-Nahl: 90)

Keadilan, bagi Gus Dur, bukan hanya dalam hukum, tapi juga dalam narasi, dalam pembagian kekuasaan, dan dalam penentuan siapa yang berhak bicara atas penderitaan.

Dalam konteks konflik Palestina-Israel, Gus Dur sejak awal menegaskan bahwa persoalan utamanya adalah penindasan, bukan hanya perselisihan. Ia mengkritik cara dunia internasional melihat Palestina seolah sebagai “daerah konflik” yang harus dijinakkan, padahal yang terjadi adalah penjajahan yang berlangsung terus-menerus.

Ia menyatakan bahwa:

"Kalau bicara damai, tapi rakyat Palestina masih kehilangan rumah, masih dibom, masih tidak bisa menentukan masa depannya, itu bukan damai—itu ilusi."

Dalam berbagai esainya, seperti dalam buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Gus Dur menegaskan bahwa perdamaian Palestina harus dimulai dari pengakuan atas hak rakyat Palestina atas tanah, kemerdekaan, dan kehidupan yang bermartabat. Ia bukan menolak perdamaian, tetapi menolak tipu daya yang mengatasnamakan perdamaian tanpa menghapus ketidakadilan.

Pasca serangan brutal Israel ke Gaza sejak Oktober 2023 hingga pertengahan 2025 ini, lebih dari 38.000 warga Palestina dilaporkan tewas, mayoritas adalah anak-anak dan perempuan. Dunia menyerukan “gencatan senjata kemanusiaan,” tetapi tidak pernah memaksa Israel untuk mengakhiri blokade, mengakui kemerdekaan Palestina, atau mengadili kejahatan perang mereka.

Gus Dur, andaikan hidup di masa ini, kemungkinan akan mengecam keras pendekatan internasional yang menyeimbangkan “narasi konflik” seolah-olah kedua belah pihak memiliki kekuatan dan beban moral yang setara. Padahal, realitasnya adalah ketimpangan kekuasaan dan penjajahan sepihak.

Iran: Dari Solidaritas terhadap Palestina ke Oposisi Global

Iran sering disebut sebagai aktor kunci dalam konstelasi konflik Timur Tengah, terutama dalam kaitannya dengan Palestina dan Israel. Di satu sisi, Iran kerap dianggap sebagai kekuatan yang menentang hegemoni Israel dan mendukung kelompok perlawanan seperti Hizbullah dan Hamas. Namun di sisi lain, negara itu juga kerap dikritik karena menggunakan isu Palestina untuk kepentingan geopolitik, sembari menindas rakyatnya sendiri dan membungkam suara-suara oposisi.

Gus Dur memiliki pandangan kritis terhadap model kekuasaan seperti Iran. Ia tidak melihat Iran sebagai pembela keadilan sejati jika tidak mempraktikkan keadilan di dalam negerinya. Ia menolak standar ganda—mengkritik Israel sambil menindas kebebasan warganya sendiri.

Gus Dur menulis dalam salah satu wawancaranya:

“Keadilan tidak bisa dibatasi oleh batas negara. Anda tidak bisa membela Palestina tapi membungkam rakyat sendiri.”

Dalam hal ini, ia mengingatkan bahwa keadilan tidak bisa dipilih-pilih. Jika Iran mendukung Palestina, itu baik. Tapi jika pada saat yang sama menindas perempuan, menghukum mati aktivis, dan memanipulasi demokrasi, maka itu bukan perjuangan keadilan, tapi ekspansi politik.

Israel, di mata Gus Dur, bukan hanya negara, tapi proyek kolonial modern yang belum pernah tuntas diadili. Ia menolak pendekatan yang memutlakan keamanan Israel tanpa membicarakan hak-hak rakyat Palestina. Bagi Gus Dur, perdamaian tidak akan lahir dari kekuatan militer, tembok pemisah, atau normalisasi diplomatik yang meminggirkan suara rakyat yang terusir dari tanahnya.

Ia menolak keras konsep perdamaian gaya Abraham Accords—normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab (seperti UEA dan Bahrain) tanpa syarat pengembalian hak Palestina. Gus Dur melihatnya sebagai bentuk perdamaian palsu yang hanya menguntungkan elite politik dan ekonomi, tetapi tidak membawa apa-apa bagi rakyat Palestina.

Tafsir Perdamaian dalam Islam Versi Gus Dur

Dalam pemikiran Gus Dur, Islam bukan hanya agama yang mengajarkan damai, tetapi juga yang mewajibkan melawan kezaliman. Ia mengingatkan bahwa jihad yang sejati adalah melawan ketidakadilan. Oleh karena itu, ia tidak melihat jalan menuju perdamaian yang layak tanpa menyelesaikan ketimpangan yang menganga.

Ia sering menyebut kata “maqāṣid al-syarī‘ah” (tujuan utama syariat) sebagai dasar pikirannya: menjaga kehidupan, akal, kehormatan, harta, dan agama. Jika kelima nilai itu dilanggar secara struktural terhadap rakyat Palestina, maka tidak ada syariat yang bisa ditegakkan di tanah itu—meski ada kesepakatan damai secara formal.

Gus Dur juga kerap menyindir dunia internasional yang hanya aktif ketika kepentingannya terganggu. Ia mencatat bahwa ketika serangan terjadi ke negara-negara Barat, dunia cepat bereaksi. Tapi ketika yang mati adalah anak-anak di Gaza atau perempuan di Teheran, dunia bungkam atau netral.

“Kalau perdamaian hanya berlaku untuk mereka yang kuat, dan keadilan hanya untuk yang punya mikrofon, itu bukan perdamaian—itu kezaliman yang dibungkus sopan santun.”

Ungkapan ini menyentil keras sikap dunia internasional, termasuk beberapa negara Muslim yang enggan mengkritik Israel secara terang-terangan demi stabilitas ekonomi atau hubungan dagang.

Kemanusiaan di Atas Politik: Itulah Gus Dur

Lebih dari sekadar aktivis, Gus Dur adalah penyeru kemanusiaan universal. Ia tidak memihak pada kelompok tertentu berdasarkan nama, etnis, atau agama. Ia memihak pada yang tertindas. Ketika rakyat Palestina diserang, ia berdiri bersama mereka. Tapi ketika kekuasaan Iran menindas warganya, ia juga bersuara.

Inilah yang membedakan Gus Dur. Ia tidak memakai selektifitas moral. Ia meletakkan nilai keadilan sebagai prinsip utama, dan perdamaian sebagai buahnya—bukan sebaliknya.

Gus Dur dan Jalan Menuju Damai Sejati

Konflik antara Palestina, Israel, dan Iran hari ini masih berlanjut, bahkan mungkin memburuk. Tapi warisan pemikiran Gus Dur tetap menjadi lentera. Ia mengingatkan bahwa dunia bisa saja menghasilkan ribuan konferensi perdamaian, tetapi semua akan gagal jika akar keadilan tidak disentuh.

Bagi Gus Dur, perdamaian tanpa pengakuan atas hak hidup, hak menentukan nasib, dan hak untuk tidak ditindas, adalah ilusi. Maka dalam melihat konflik Timur Tengah hari ini, kita ditantang bukan hanya untuk bersimpati, tapi untuk berdiri bersama kebenaran—di mana pun ia berada.

"Kalau kamu diam ketika orang lemah ditindas, maka damai yang kamu nikmati hanyalah ketakutan yang tertunda."
—Abdurrahman Wahid

 

Posting Komentar

0 Komentar