Gus Dur dan Radikalisme Agama

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)


Dalam lanskap politik dan keagamaan Indonesia, Gus Dur atau KH. Abdurrahman Wahid menempati posisi yang unik sekaligus kritis. Sebagai kiai, cendekiawan, budayawan, dan Presiden RI ke-4, Gus Dur dikenal bukan hanya sebagai tokoh pluralisme, tetapi juga sebagai pengkritik paling tajam terhadap radikalisme agama. 

Di tengah menguatnya kecenderungan keagamaan yang eksklusif dan puritan, Gus Dur tampil dengan wajah Islam yang ramah, terbuka, dan humanis. Sikapnya bukan sekadar pembelaan terhadap kaum minoritas, tapi merupakan bentuk perlawanan terhadap tafsir agama yang sempit dan cenderung memicu kekerasan.

Radikalisme agama, bagi Gus Dur, bukan hanya soal doktrin ekstrem atau tindakan kekerasan. Ia melihatnya sebagai ekspresi dari kegagalan memahami agama sebagai rahmat bagi semesta. Dalam berbagai forum, Gus Dur menegaskan bahwa Islam hadir untuk memanusiakan manusia, bukan untuk menundukkan mereka dengan cara-cara intoleran. Oleh karena itu, segala bentuk pemaksaan, pelabelan sesat, dan pengucilan kelompok lain atas nama agama, ditentangnya secara tegas.

Dalam tulisannya di berbagai media, Gus Dur kerap mengkritik cara sebagian kelompok mempolitisasi agama demi kekuasaan. Ia melihat ada kecenderungan sebagian umat—yang merasa menjadi "pemilik tunggal kebenaran agama"—mengambil jalan pintas dengan menuduh sesat atau kafir terhadap kelompok lain yang berbeda. Bagi Gus Dur, pendekatan semacam ini bukan hanya membahayakan harmoni sosial, tapi juga merusak esensi agama itu sendiri.

Salah satu contoh nyata dari sikap antiradikalisme Gus Dur adalah ketika ia membela hak minoritas Ahmadiyah dan Syiah, serta hak beribadah umat Kristiani yang gerejanya ditolak atau dirusak. Ia tidak hanya bicara dalam tataran wacana, tapi bertindak secara konkret dalam kebijakan dan advokasi. Bagi Gus Dur, negara tidak boleh tunduk pada tekanan kelompok mayoritas yang ingin memaksakan tafsir agama mereka atas semua warga negara. Ia mengingatkan bahwa konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Sikap ini sering membuat Gus Dur dijuluki "bapak kaum minoritas", sebuah gelar yang diterima dengan lapang dada, meskipun memunculkan resistensi dari kalangan Islam konservatif. Gus Dur sadar bahwa keberpihakannya akan menuai kritik, tetapi baginya keadilan dan kemanusiaan adalah nilai yang lebih tinggi ketimbang popularitas.

Dalam konteks pendidikan Islam, Gus Dur juga menolak metode pendidikan yang mengedepankan indoktrinasi. Ia mendorong lahirnya pemikiran kritis dalam pesantren dan madrasah. Ia percaya bahwa sikap radikal tumbuh dari ketakutan terhadap perbedaan dan ketidaktahuan terhadap realitas dunia yang kompleks. Maka, pendidikan yang terbuka, dialogis, dan humanis menjadi kunci membendung radikalisme.

Pandangan Gus Dur bisa diringkas dalam prinsip sederhana: “Agama tidak boleh menjadi sumber konflik, tetapi harus menjadi sumber perdamaian.” Dalam sebuah wawancara, ia pernah mengatakan, “Agama yang tidak membela hak asasi manusia adalah agama yang kehilangan jiwanya.”

Setelah wafatnya, pemikiran Gus Dur tetap hidup dan menjadi rujukan penting dalam membangun wajah Islam yang moderat di Indonesia. Banyak tokoh muda, khususnya di kalangan Nahdlatul Ulama dan jaringan pesantren, yang meneruskan perjuangan Gus Dur dalam melawan intoleransi dan radikalisme. Forum-forum lintas iman, advokasi korban kekerasan atas nama agama, dan penguatan pendidikan multikultural adalah sebagian warisan nyata dari perjuangan intelektual dan moral Gus Dur.

Radikalisme agama bukan hanya soal ekstremisme kekerasan, tetapi juga meliputi eksklusivisme pemikiran, supremasi kelompok, dan tafsir yang menutup pintu dialog. Di tengah gelombang itu, Gus Dur hadir sebagai penyeimbang: ia membela pluralisme bukan karena ingin menyenangkan kelompok tertentu, tapi karena itulah wajah asli Islam yang ia yakini—Islam yang ramah, bukan marah; Islam yang merangkul, bukan memukul.

 

 

Posting Komentar

0 Komentar