Setelah Main Gajah-Gajah, Semut-Semut, Ular-Ular, dan Cacing... Saatnya Mendengarkan

 


Setelah Main Gajah-Gajah, Semut-Semut, Ular-Ular, dan Cacing... Saatnya Mendengarkan

Setelah lelah bermain peran—entah sebagai gajah-gajah, semut-semut, ular-ular, atau cacing dalam forum—maka sudah waktunya kita mendengarkan. Kita perlu memandang masa lalu, mengamati masa kini, dan mulai merasakan masa depan.

Kenyataannya, kita sering hanya sibuk melihat masalah yang tampak di permukaan. Kita abai menyelami realitas yang lebih dalam, yang tak selalu bisa dijangkau mata. Untuk melihat yang tak tampak itu, kita perlu mengubah pola pikir.

Sederhananya begini:
Sudahkah Anda menguji sejauh mana asumsi yang terbangun di benak Anda tentang anak-anak muda NU yang memprotes konfercab sembunyi-sembunyi itu? Benarkah mereka sedang melakukan "pengambilalihan" struktur NU dan su’ul adab?

Penilaian "Kyai" Scharmer justru menyebut, asumsi semacam itu adalah akar dari tertutupnya organisasi. Menjadikan "adab" sebagai tameng justru membuat status quo kebal kritik. Inilah mental model yang perlu dibongkar.

Alhasil, ketika kekacauan muncul, responsnya bukan membenahi, tapi justru menghindar. Menutup hati, menutup pikiran, dan pada akhirnya menutup pintu-pintu kebaikan. Lalu apa yang terjadi? Pengabaian. Lagi dan lagi. Dan pengabaian ini bukan hal sepele—ia menyasar khidmat kita kepada jam’iyyah dan jama’ah.

Titik tekan Kyai Scharmer jelas:
Buka pikiran (open mind), buka hati (open heart), dan buka kehendak (open will).
Tanpa itu, mereka yang mengatur konfercab secara diam-diam itu tak sadar bahwa mereka sedang melakukan praktik buruk. Diam-diam, mereka telah menyakiti rumah besar yang mereka cintai sendiri.

Padahal, sekelas Bib Taufik Bilfaqih dan Mukhibullah Ahmad saja masih mau mendengar dan merombak pola pikirnya. 😂

Sayang, di foto ini tak ada Kak Syamsurijal Ad’han, Kak Irfan Syuhudi, dan tentu Kak Doktor Sabara Nuruddin. 😀

Posting Komentar

0 Komentar