Demokrasi dalam praktik KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur
sangat menjujung tinggi sportifitas. Demokrasi didorang agar semua memilih dan
menggunakan haknya. Setiap orang harus berani mengajukan pendapatnya, agar
punya kesamaan dan diperlakukan sama, termasuk didepan hukum. Sejatinya,
demokrasi harus saling menghargai satu sama lain agar kualitas demokrasi
benar-benar memanusiakan. Gusdur mendorong adanya kultur demokrasi yang
menghargai prinsip perbedaan, menghargai pendapat orang lain, tidak merasa
benar, sportif dan fair, dan mengohormati minoritas.
Menurut Gusdur perbedaan pendapat dalam demokrasi adalah
wajar karena ia adalah bagian dari demokrasi itu sendiri. Setiap kelompok
diberikan kebebasan untuk memilih alternatif dan memperjuangkan aspirasi mereka.
Namun dewasa ini, masih ada kecenderungan menganggap kelompok minor adalah
hambatan dalam menjalankan pembangunan.
Gusdur sangat jelas menawarkan pentingnya isu demokrasi demi
mempersatukan yang beragam. Jika proses ini dapat diperjuangkan, akan menyumbang
sesuatu yang berharga bagi masa depan Indonesia. Gusdur sadar betul tentang
peran pers adalah bagian dari pilar demokrasi. Tak heran ia dengan getolnya
membela kebebasan pers. Itu ditandai dengan pembelaan Gusdur terhadap tabloid
monitor tahun 1990 yang diberedel, termasuk Deppan dibubarkan dianggap
menghambat kebebasan pers.
Kualitas demokrasi kita dewasa ini sedang menurun tajam.
Dari pemilu ke pemilu praktik money politik, mahar politik, intervensi politik
dan pelibatan aparatus sipil Negara masih kita jumpai disaat pesta demokrasi.
Secara langsung, praktik-praktik seperti ini mencerminkan buruknya kualitas
demokrasi kita. Belum lagi UU politik tentang parliaementary
threshold (PT) Pilpres 20%, mahalnya kursi representasi, yang
menjauhkan rakyat dari demokrasi.
Gejala-gejala lain yang kita lihat pula diantarnya
menguatkan otoritarianisme, militerisme dan populisme dewasa ini. Praktik
beredel media, membungkam aspirasi dengan UU ITE, dan lemahnya pilar-pilar
demokrasi, termasuk ketidakberdayaan warga negera dan organisasi masyarakat
sipil. Kultur demokrasi Indonesia yang diperjuangkan Gus dur belum tegak, tidak
membuahkan hasil dan bahkan jauh dari panggang api.
Menghidupkan dan melanjutkan perjuangan Gusdur terhadap
demokrasi terus diupayakan tidak hanya Jaringan GUSDURian, akan tetapi lembaga
demokrasi yakni, penyelenggara pemilu, parpol, eksekutif, legislatif,
yudikatif, pers, akademisi kampus, mahasiswa, organisasi masyarakat sipil, dan
lembaga-lembaga prodemokrasi lainnya. Membangun kesadaran bersama
dalam memperjuangkan demokrasi sama halnya menjaga kedaulatan
Negara. Bertahan dalam dunia demokrasi dan menghidupkannya sama halnya
menghidupkan pikiran para pendiri bangsa, termasuk Gus Dur.
Olehnya, demokrasi harus menitiberatkan pada subtansi, sebagaimana
Gus Dur mewujudkan itu kedalam konteks budaya setempat. Menurutnya, konsep
demokrasi menyimpan gagasan-gagasan universal tanpa mengabaikan konteks
kebudayaan lokal. Demokrasi harus didorong agar bertransformasi menjadi
perilaku dan bangunan yang sistemik untuk mengekspresikan keberpihakan yang
nyata kepada rakyat agar rasa keadilaan dan menjujung tinggi etika dapat
terwujud. Akan tetapi, pelembagaan-pelembagaan demokrasi sejatinya belum
sensitive terhadap kebudayaan setempat.
Keraguan akan demokrasi yang tidak kontekstual bisa jadi
akan menurunkan daya juang para aktivis pro demokrasi dalam memperjuangkan
nilai demokrasi itu sendiri. Ini akan menimbulkan masalah baru. Maka
transformasi nilai-nilai demokrasi melalui pemahaman dan pemaknaan yang diperjuangkan
gusdur semasa hidupnya senantiasa disebarluasakan, karena konsep demokrasi ala
gusdur masih sangat relevan hingga kini.
Demokrasi ala Gus Dur
Proses demokratisasi memerlukan aktor kunci yang memiliki
kemampuan untuk memahami dinamika sosial dan proses bagaimana sistem budaya,
nilai dan agama dalam masyarakat menjadi pendorongnya. Aktor memiliki peran
penting, kesadaran berdemokrasi perlu ditumbuhkan dan berpijak pada kesadaran
akan kebudayaan. Kebudayaan-kebudayaan lokal yang ada, perlu dijadikan referensi
dan argumentasi politik dalam pengembangan budaya politik (political culture)
tertentu.
Tetapi masalah belum ditangani dengan baik oleh para
pengambil kebijakan sehingga melahirkan berbagai ketegangan dan konflik yang
berkelanjutan. Seharusnya perhatian para politisi dipusatkan pada aktualisasi
dan penerjemahan kesadaran berdemokrasi menjadi kesadaran kebudayaan.
Di Indonesia, pendekatan politik kultural, sudah lama
dilupakan oleh para pengkaji ilmu politik, setelah dirintis oleh R. Willeam
Liddle (1970) Donald K. Emmerson (1976) dan Benedict R. O’G.
Anderson (1970). Sejalan dengan hal itu, teoritisasi demokrasi yang populer dan
menjadi acuan kebijakan bersifat proseduralistik. Sedangkan hal-hal yang
berkaitan dengan nilai, budaya dan kepercayaan tidak banyak mendapat perhatian.
Asumsinya, implementasi sistem demokrasi dalam suatu negara harus mampu
mengakomudir sistem nilai, budaya dan kepercayaan sebagai pendorong dalam
pelembagaan demokrasi, agar supaya demokrasi mengakar dalam budaya masyarakat.
Giddens membantah konsep Huntington dalam karya “the
wave of democratization” yang dinilai justru tidak sesuai konteksnya.
Giddens meyakini bahwa gelombang ketiga demokratisasi sudah mengalami ‘arus
balik’ yang amat meresahkan. Ia menitikberatkan bahwa demokrasi harus mengalami
demokratisasi. Bagaimana mungkin, kata Giddens negera dapat dikatakan
demokratis jika didalamnya ada kelompok superkaya, penikmat privilese, kelompok
minoritas yang tersingkirkan dan kelompok miskin yang terpinggirkan. Di sisi
lain, kata Giddens proses demokrasi seperti ini justeru tidak demokratis.
Gus Dur telah memperjuangkan perwujudan demokrasi melalui
aktualisasi nilai-nilainya dalam kultur masyarakat. Pilihan terhadap Gus Dur
sebagai contoh kasus dalam pelembagaan demokrasi melalui politik kultural,
dikarenakan; pertama,ia mampu membangun gagasan demokratisasi (sebagai
heterodoxa, istilah Bourdieu) ditengah-tengah masyarakat yang hirarkis dan
paternalistik. Hal ini terlihat dalam tulisan-tulisan Gus Dur tentang
pengembangan dan keharusan demokrasi yang kurang lebih mencapai 140 buah
tulisan.
Kemampuan Gus Dur membangun jaringan untuk memperkenalkan
gagasan yang kontroversial dan tidak dimengerti oleh lingkungannya itu dengan
bersilaturrahmi (sowan) pada para kyai. Tindakan-tindakan kultural Gus Dur yang
kontroversial seperti ini dilakukan dalam rangka menjunjung nilai-nilai
kemanusian. Ia melihat berbagai persoalan sosial politik di Indonesia dari
dimensi kultural masyarakat dengan mensimbolisasikan persoalan politik dengan
simbol-simbol budaya.
Gus Dur melakukan demokratisasi dengan berpijak pada
nilai-nilai budaya yang sudah mengakar dan melebur dalam masyarakat, seraya
membangun wacana perlawanan dalam membongkar hegemoni pemaknaan masyarakat
dalam mengekspresikan gagasan demokrasi yang diyakini. Dengan kematangannya
dalam ilmu sosial, antropologi dan pemahaman keagamaan yang kuat, ia mampu
melebur nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat itu menjadi sebuah nilai-nilai
modern dalam rangka membangun demokratisasi dalam masyarakat Indonesia yang
majemuk, pluralis, egaliter dan humanis.
Gus dur mampu membangun nilai dan wacana untuk menarik
perhatian publik dan melibatkan diri dalam kontroversi pewacanaan itulah
tindakan politik Gur Dur memiliki makna. Gur Dur dan kiprahnya dalam hal ini
didasarkan pada kemampuan pewacanaan dan kesaksian dan riak yang ditimbulkan
oleh pewacanaan yang diungkit Gus Dur. Sosok Gus Dur sebagai tokoh demokrasi
(aktor) yang berpegang dan berpijak pada nilai-nilai tertentu yang dijunjung
tinggi, seperti pluralisme, humanism dan egalitarianisme diyakini menjadi
obsesi dalam orientasi politik. Maka nilai-nilai itu niscaya yang mendasari
perjuangannya, dan pada gilirannya nanti menjadi penjelas dari bekerjanya
politik kultural yang dilakukan dalam posisinya sebagai tokoh kunci baik
sebagai agency maupun bagian dari sturktur negara.
Gus Dur merupakan salah seorang yang pluralis, egaliter
(menghoramati persamaan) dan humanis. Hal ini didasarkan pada gagasan makro
(arus utama) yang menjadi titik tolak dari pemikiran dan tindakan politiknya
sejak 1980 - sampai menjadi presiden yang selalu berpijak pada visi
politik Indonesia yang plural, egaliter dan humanis. Dapat dikatakan bahwa
semua tindakan Gus Dur yang selama ini dilakukan menunjukan komitmennya terhadap
apa yang tengah diperjuangkan.
Pemikiran dan tindakan Gus Dur selama ini, khususnya ketika
menjadi presiden akan bisa menggambarkan konsepsinya mengenai masyarakat
demokratis yang pluralis, egaliter dan humanis. Salah satu pemikiran dan
keyakinan intinya adalah, Indonesia benar-benar menjadi civil society yang
demokratis, aspirasi politik masyarakat tidak boleh disalurkan melalui agama.
Untuk mendukung tujuan-tujuan demokratis dan sosialnya, Gus Dur lebih sering
menggunakan ideologi Pancasila ketimbang Islam untuk melegitimasikan
partisipasinya dalam wacana politik dan dalam mengekspresikan gagasan-gagasan
kunci politiknya.
Kajian terhadap nilai-nilai yang dijungjung tinggi seperti
pluralisme(dalam pendirian Fordem, mengaku sebagai keturunan Cina),
egalitarinisme atau persamaan hak menjadi pemimpin (dalam penentangan terhadap
haramnya pemimpin wanita), maupun egalitarinisme dalam perbedaan dan kebebasan
(dalam pencabutan Tap MPRS/ N0 XXV/1966 tentang komunisme), nilai-nilai
humanisme (dalam perubahan Irian ke Papua, dan penentangan hegemoni negara
terhadap agama atau arogansi mayoritas terhadap minoritas) menunjukkan gagasan
politiknya yang pluralis, egaliter dan humanis.
Gus Dur sebagai refresentasi generasi pemikir Islam
revolusioner di Indonsia, di mana Greg Barton menyebutnya sebagai pemikir
neomodernis. Salah satu ciri yang menandai pemikiran neo-modernisnya itu adalah
komitmennya pada pluralisme, egaliterianisme, humanisme dan nilai nilai inti
demokrasi. Selain itu, nilai-nilai tersebut dirajut ke dalam struktur iman dan
Islam sebagai nilai inti Islam itu sendiri.
Demokrasi menghendaki adanya kebebasan yang berangkat dari
pluralitas, baik sosial, politik, budaya, bahkan juga agama. Namun demikian,
agama tidak diperkenankan menampilkan sosok yang ekslusif dan menakutkan. Isu
pluralitas dan demokrasi dalam Islam merupakan sesuatu yang strategis dan
fundamental untuk menjawab persoalan bangsa, terutama karena dengan pluralitas
dan demokrasi dapat mempersatukan kekuatan-kekuatan bangsa.**
Djemi Radji
*Catatan ini ditulis untuk Forum Peningkatan Kualitas
Demokrasi Tunas GUSDURian 2022
0 Komentar