![]() |
Dialog Lintas Iman (Foto: Pixabay) |
Kesalahpahaman mengenai konsep kawan dan lawan dalam beragama di masyarakat kita yang menyebabkan disharmoni antar umat. Sering kali umat sebagian dianggap sebagai penganut agama lain sebagai lawan, sebaliknya berbahaya bagi umat manusia yang bertentangan dengan agama lain, akan tetapi manusia yang provokatif.
Kalau sejarah melihat al-qur'an dari satu sudut pandang saja kurang afdol. Karena akan berakibat fatal. Kontekstualisasi Al-qur'an sebagai wahyu yang diturunkan Allah dimuka bumi sejatinya mengajarkan nilai-nilai luhur dalam tatanan kehidupan. Jika al-qur'an bisa dijangkau oleh siapa saja, bagi semua bangsa, di semua waktu, maka al-qur'an berisikan ajaran yang menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia. Islam merupakan dunia yang terbuka untuk dipelajari, bahkan dianut dan dilaksankan oleh siapa saja.
Memang, umat Kristiani pun dalam menghadapi arus modernitas menghadapi kembali makna dari transedensi dan imanesi Allah serta relevansinya bagi kehidupan modern. Sebagai umat (Muslim) yang utama, harusnya menghormati dan menghargai pemeluk agama lain. Di mana, jauh sebelumnya, toleransi antar umat beragama bisa kita jumpai pada masa awal islam, yakni abad ke 7 masehi.
Sebagai mana Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah Islam memberikan pengajaran kepada para sahabat untuk menghormati para pemeluk agama lain. Hal ini terlihat ketika nabi tiba di Kota Madinah dan resmi menjadi pemimpin kota. Nabi menjalin persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama islam (Ahmad Nurcholis, Pendidikan Perdamaian, Gus Dur).
Sebagai umat (muslim) yang terbesar di negeri ini, sebaiknya untuk menahan diri, tidak tendensius, apa yang dianggap sebagai kesimpulan tentang sesuatu yang terjadi di sekitar kita. Apalagi hal itu berkaitan langsung dengan tindak kekerasan. Alangkah lebih baik, hal itu didialogkan terlebih dahulu sebelum semuanya terlambat. Sebagai orang yang beragama, Baiknya kita menjadi penyambung lidah Tuhan, bukan sekadar penyambung lidah otoritas, bukan pula sekadar keinginan penguasa atau masyarakat semata.
Agama merupakan pandangan atas rahasia Illahi, sehingga tidak ada satu agama pun berhak menjagokan dirinya sebagai norma bagi agama lain. Dari pihak keserasian antar-agama jangan menikmati secara sederhana dan mengatakan bahwa semua agama itu sama. Perbedaan memang ada. Namun ajaran setiap agama tentang titik temu, kebersamaan dan kemanusiaan sebenarnya sudah cukup membuat manusia damai dan harmonis dalam kehidupan mereka.
Menurut Prof. Dr. Syahrin Harahap, MA, dalam upaya membangun hubungan yang sinergis antar masyarakat yang multikulturalisme diperlukan dua hal, pertama, penyimpanan atas doktrin – doktrin keagamaan ortodoks yang sementara ini dijadikan dalih untuk ekslusif. Penafsiran ulang ini harus dilakukan sedemikan rupa sehingga agama bukan saja bersifat reseptif terhadap kearifan lokal, melainkan juga memandu di garda terdepan untuk mengantarkan demokrasi dalam masyarakat beragama.
Kedua, mendialogkan agama dengan gagasan-gagasan modern. Dimana saat ini, umat beragama memasuki suatu tempat sejarah baru dimana mereka harus mampu beradaptasi dengan peradaban yang tidak didasarkan pada agama. Misalnya lomba tarik tambang lintas iman, dan lain sebagainya.
Selain itu, KH. Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur juga mengemukakan, ciri utama agama adalah sebagai pelayan manusia dalam memenuhi harapan terhadap perlindungan dan kebahagiaan Tuhan. Agama menjadi tempat implementasi amal-amal sosial dan kemanusiaan. Kedekatan dengan tuhan bukan dilakukan dengan ritual tetapi melalui penciptaan harmoni sosial, pembebasan terhadap ketidak adilan dan hanya pengentasan sesama manusia dari kemiskinan dan keterbelakangan.
Mencermati pemikiran Gus Dur sangat menarik dan rumit. Menarik karena gagasannya sangat sederhana serta dinilai banyak kalangan mampu memberikan wawasan tersendiri dalam menganalisis masalah baik di Indonesia maupun di ranah internasional.
Menurut Gus Dur, Sikap toleransi harus diwujudkan oleh semua lapisan masyarakat sehingga terbentuk sebuah tatanan masyarkat yang kompak, bersatu dalam keragaman atau kemajemukan sehingga kaya akan gagasan-gagasan baru. Toleransi inilah yang menjadi dasar utama bagi terwujudnya perdamaian bagi semua masyarkat.
Toleransi yang diterima dan dipraktekkan Gus Dur, tidak menghormati dan menghargai keyakinan atau pendirian orang lain dari agama yang berbeda, tetapi disertai dengan kesediaan menerima ajaran-ajaran yang baik dari agama lain.
0 Komentar