Hari Natal di Masjid, dan Perpisahan Kang Dikki

Hari Natal di Masjid 

Hari Natal di Masjid, dan Perpisahan Kang Dikki

Jumat, 25 Desember 2020. Kita semua menyaksikan kegembiraan saudara-saudara kita umat Kristiani yang tengah merayakan Natal. Baik melalui media sosial maupun secara langsung, perayaan Natal berlangsung khidmat, penuh kasih, dan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Ucapan selamat merayakan Natal membanjiri ruang publik, datang dari berbagai kalangan—termasuk dari organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama.

Memang, masih ada sebagian umat Islam yang memilih untuk tidak mengucapkan selamat Natal. Tapi ini bukan berarti mereka intoleran. Sikap itu adalah bagian dari keyakinan dan pemahaman dalil yang mereka yakini. Di sisi lain, mereka yang mengucapkan selamat Natal menganggapnya sebagai bentuk toleransi yang berlandaskan dalil yang tak kalah kuatnya.

Bagi saya, perdebatan soal boleh tidaknya mengucapkan Selamat Natal tak perlu disikapi secara berlebihan—apalagi sampai menuduh kafir atau menyimpang akidah. Ulama kontemporer pun berbeda pandangan dalam hal ini. Dan itu sah-sah saja.

Lalu bagaimana dengan kami yang justru berada di masjid pada hari Natal?

Sebagai pengikut dan pengagum pemikiran Gus Dur, menyampaikan “Selamat Natal” kepada saudara Kristiani justru menjadi bentuk penghormatan yang wajib. Mengutip Gus Dur dalam tulisannya Harlah, Natal & Maulid (2003):

“Natal, dalam kitab suci Al-Qur’an disebut sebagai yauma wulida (hari kelahiran), yang oleh para ahli tafsir dijelaskan sebagai hari kelahiran Nabi Isa. Seperti dalam kutipan: ‘Salam sejahtera atas dirinya pada hari ia dilahirkan’ (salamun yauma wulid)... Juga dalam QS Maryam: ‘Salam sejahtera atas diriku pada hari kelahiranku’ (al-salamu ‘alaiyya yauma wulidtu), jelas merujuk pada ucapan Nabi Isa.”

Dari sini jelas, menyampaikan selamat Natal tidak bertentangan dengan ajaran Islam, selama tidak ikut dalam ibadahnya. Bagi kami, mengucapkan selamat atas kelahiran Nabi Isa a.s.—yang dalam Islam juga dikenal sebagai salah satu Nabi Ulul Azmi—adalah bentuk penghormatan, bukan pengingkaran.

Tentu saja, bagi yang meyakini sebaliknya, kita tetap hormati. Tak perlu dipersoalkan, apalagi dengan cara memaksakan keyakinan masing-masing. Bukankah justru indah ketika kita bisa menerima perbedaan sebagai sesuatu yang asik, bukan ancaman?

Tahun lalu, kami datang langsung ke rumah teman-teman Kristiani. Tapi Natal kali ini, kami justru berada di sebuah masjid di Kecamatan Dungingi, Kota Gorontalo. Bukan tanpa alasan. Kami sedang mengantar perpisahan sahabat kami, Kang Dikki Shadiq, yang akan kembali ke kampung halamannya di Bandung, Jawa Barat. Dan kebetulan, hari itu juga adalah hari ulang tahunnya—tepat 25 Desember.

Saya baru tahu, ternyata Kang Dikki adalah kakak dari Edi Brokoli, dan ia lahir di hari yang sama dengan kelahiran Nabi Isa a.s. Kami sedang duduk santai, merayakan ulang tahunnya secara sederhana, tapi juga diselimuti kesedihan karena harus berpisah.

Pertemuan saya dengan Kang Dikki terjadi tiga tahun lalu, saat kami (GUSDURian Gorontalo) mengadakan Haul Gus Dur ke-7 di Gereja GPIG Setya Lencana, Liluwo, Kota Tengah. Seusai acara, ia menghampiri saya:

“Perkenalkan, saya Dikki. Saya datang bersama mubalig kami, Pak Ridwan,” ucapnya sebelum ikut berfoto bersama.

Sejak saat itu, kami makin akrab. Ia aktif di berbagai kegiatan GUSDURian dan NU, dua institusi yang sangat membekas dalam hatinya. Ia pengagum Gus Dur dan dekat dengan para intelektual NU seperti Zuhairi Misrawi, Anick HT, Hatim Gazali, dan lain-lain. Bahkan saya bisa berkenalan langsung dengan Mas Anick dan Mas Hatim berkat Kang Dikki dalam sebuah proyek kerja sama.

Ia juga pernah bercerita tentang keterlibatannya dalam Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) yang dibubarkan FPI di Monas pada 2008. Bahkan Bu Nyai Shinta Nuriyah sempat datang ke rumahnya untuk memberi dukungan, agar hak-hak mereka tidak dirampas oleh kelompok yang mengatasnamakan agama, tapi menafikan rasa kemanusiaan.

Bersama Kang Dikki, kami telah banyak menginisiasi program: dari donor darah, diskusi lintas iman, penggalangan dana, hingga penyaluran bantuan bagi warga terdampak pandemi dan banjir di Gorontalo. Ia bukan hanya sahabat bagi saya, tapi saudara dalam perjuangan.

Hari Natal tahun ini terasa berbeda. Tak hanya merayakan kelahiran Isa Al-Masih, tapi juga mengiringi langkah sahabat kami yang akan kembali ke tanah kelahirannya. Terima kasih, Kang. Semoga tetap sehat, penuh keberkahan, dan semoga kita bisa bersua lagi. Insyallah.

Hari Natal di Masjid dan kepergian Kang Dikki memang hanya dihadiri oleh “pasukan terbatas”:
Pria BO 😂, Djufry Hard, Abdul Kadir Lawero, Niki Ilanunu, Heriyanto Ibrahim, Sarjan Lahay, Anton Hamid, Rodney Neu, dan Farid Banser NU.

Tapi kehadiran mereka cukup untuk membuktikan satu hal: cinta kasih dan solidaritas tak mengenal batas tempat dan waktu.

Posting Komentar

0 Komentar