Kisah kelam itu masih terpatri jelas dalam ingatan Prof. Dr. Ir. H. Hasan Abas Nusi. Meski kini tubuhnya telah renta dan tidak lagi bugar, memorinya tetap tajam, menyimpan sejarah yang tak akan mudah pudar. Sejak tiga tahun terakhir, Hasan harus bergantung pada kursi roda. Ia tak bisa berdiri lama dan harus dipapah untuk berpindah tempat. Suaranya pun kini serak dan pelan, membuat siapa pun yang berbicara dengannya harus mendekat agar bisa menangkap makna dari setiap katanya.
“Jika berbicara tentang Gus Dur, saya pasti teringat pada ‘kebiadaban’ yang pernah menimpanya,” ucap Hasan pelan, matanya menerawang jauh, saat ditemui di kediamannya di Jalan HB Jasin, Kota Gorontalo, pada 27 Agustus 2016 silam.
Hasan mengisahkan sebuah momen menyakitkan yang menimpa sahabat dekatnya, Abdurrahman Wahid, yang akrab dikenal sebagai Gus Dur—Presiden keempat Republik Indonesia, tokoh pluralisme, dan pejuang kemanusiaan. Peristiwa itu terjadi pada penghujung 2001, saat Gus Dur melakukan lawatan ke Gorontalo. Ketika hendak naik ke mobil kepresidenan usai pertemuan di rumah dinas Gubernur, sepasang sepatu nyaris menghantam tubuhnya. Itu adalah simbol kemarahan massa yang terlibat dalam gelombang demonstrasi anti-Gus Dur di berbagai daerah, buntut dari upaya pelengserannya kala itu.
Namun, betapa besar hati seorang Gus Dur. Meskipun telah disakiti secara simbolik dan emosional, ia tidak pernah menarik dukungannya terhadap Gorontalo. Justru, ia dengan tulus mencairkan dana sebesar 40 miliar rupiah untuk mendukung proses pemekaran wilayah Gorontalo yang saat itu sedang mempersiapkan diri menjadi provinsi baru.
Lobi Ke Ciganjur dan Percikan Sejarah
Ketika Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Gorontalo disahkan oleh DPR RI, masih ada kekhawatiran besar dari para pengusung pemekaran. Mereka takut, proses itu akan terhambat di tengah jalan. Maka, sekelompok tokoh pemekaran yang diketuai Nelson Pomalingo, meminta bantuan kepada Hasan untuk menjembatani komunikasi langsung dengan Presiden Gus Dur. Sebagai sahabat karib dan mantan Ketua NU Sulawesi Utara, Hasan adalah sosok yang sangat dipercaya Gus Dur.
Bersama Jhon Wumu—tokoh Gorontalo yang berdomisili di Manado dan juga sahabat Gus Dur—Hasan berangkat ke kediaman pribadi sang Presiden di Jalan Ciganjur, Jakarta Selatan. Dalam pertemuan itu, setelah mendengarkan penjelasan mereka berdua, Gus Dur langsung menelepon Menteri Dalam Negeri Surjadi Sudirdja dan memerintahkan agar UU pembentukan Provinsi Gorontalo segera ditandatangani.
“Bersyukur, saat itu juga Presiden langsung menelpon Mendagri,” tulis jurnalis Ali Mobiliu dalam artikelnya berjudul Obituari: Prof. Dr. Ir. H. Hasan Abas Nusi – Sekilas Kenangan dan Jasa untuk Gorontalo.
Sahabat Seperjuangan Sehidup Semati
Persahabatan Gus Dur dan Hasan Nusi telah terjalin jauh sebelum Gus Dur menjabat presiden. Saat Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU, Hasan adalah Ketua NU Sulawesi Utara. Keduanya sering berdiskusi, berbagi ide dan mimpi besar untuk negeri. Bahkan ketika PKB didirikan, Hasan dipercaya untuk menahkodai partai tersebut di wilayah Sulut.
Dalam banyak kunjungan ke Gorontalo, Gus Dur sering kali menginap di rumah Hasan, baik yang di Kota Gorontalo maupun di Kleak, Manado. Hasan mengenal betul karakter Gus Dur—tegas, jujur, sekaligus penuh kasih.
“Saya melihat Gus Dur bukanlah manusia biasa,” ujar Hasan, “Ia tahan terhadap ancaman, teror, bahkan upaya pembunuhan sekalipun saat menjabat Ketua PBNU. Tapi tak pernah surut dalam menebar kebaikan. Itu hanya bisa dilakukan oleh seseorang dengan iman yang kokoh.”
Ziarah dan Kebiasaan yang Sarat Makna
Satu hal yang selalu dikenang Hasan adalah kebiasaan unik Gus Dur: berziarah. Dalam salah satu kunjungan mereka ke Gorontalo, usai salat magrib, Gus Dur meminta Hasan menemaninya ke Kelurahan Leato, Kecamatan Kota Selatan (kini Dumbo Raya). Di sana, Gus Dur meminta berhenti tepat di bawah makam tokoh leluhur, Male Ta Ilayabe. Ia lalu diam, memandang penuh khusyuk.
Bagi Gus Dur, setiap makam adalah titik spiritual yang sarat nilai. Ia percaya, makam para ulama, leluhur, dan orang-orang yang memberi manfaat besar kepada masyarakat adalah tempat yang layak untuk diziarahi, dihormati. Bukan hanya kuburan-kuburan besar yang ia datangi, namun juga makam-makam yang hampir dilupakan masyarakat.
“Ziarah itu bukan sekadar tradisi,” ujar Hasan. “Bagi Gus Dur, itu bentuk penghormatan terhadap sejarah dan spiritualitas.”
Gus Dur: Guru Bangsa yang Dicintai Banyak Kalangan
Gus Dur adalah sosok yang selalu menghadirkan paradoks. Ia dikagumi, sekaligus dicemooh. Dihormati, sekaligus dikritik. Namun semua itu justru mempertegas kebesarannya. Sebagaimana dalam sejarah umat manusia, orang-orang besar selalu berada dalam simpang jalan cinta dan kontroversi.
“Ia bukan hanya dicintai oleh umat Islam, tapi juga oleh kalangan non-Muslim. Banyak yang terinspirasi oleh sikap, gagasan, dan keberpihakannya terhadap kemanusiaan,” kenang Hasan dengan lirih.
Kini, Gus Dur telah tiada. Begitu pula Hasan Abas Nusi yang telah menyusulnya pada 6 Januari 2021. Namun kisah persahabatan mereka, pengabdian mereka untuk bangsa, dan nilai-nilai luhur yang mereka bawa akan selalu hidup dalam sejarah Indonesia—terutama di hati masyarakat Gorontalo.
Djemi Radji
0 Komentar