Hantu Tambun di Gedung Sam Rat (3): Misteri yang Belum Usai

Ilustrasi Hantu (pixabay)


Misteri yang Belum Usai

Gedung Sam Rat tetap berdiri angkuh dalam gelap. Konon, penunggu yang disebut Hantu Tambun itu memang bukan sembarang makhluk. Ia dulunya adalah penjaga tempat itu ketika masih digunakan sebagai asrama. Sosok yang suka dipuja, gemar ritual, dan marah besar jika tak dihormati. Banyak mahasiswa yang mengaku diganggu saat memakai gedung tanpa izin.

Namun satu hal yang pasti: sejak kentut Abdul menggema di sore itu, tidak ada lagi penampakan selama beberapa minggu ke depan. Mungkin hantu itu trauma. Atau mungkin sedang menyiapkan balasan yang lebih dahsyat.

Tapi bagi Abdul, Henci, dan Robin, kejadian itu telah mengukir satu pelajaran penting: kadang, doa-doa dan keberanian pun tak cukup. Sebuah kentut, jika tepat waktu, bisa menjadi senjata paling ampuh untuk mengusir kegelapan.

Robin pun tetap berdiri di depan pintu gerbang pondok dengan wajah gusar. Ia melirik jam tangannya. Sudah hampir satu jam. Sinar matahari mulai condong, membentuk bayang-bayang panjang pada tanah kerikil yang panas. Langit sore tampak jingga, dan suasana pondok makin senyap, seolah semua aktivitas telah berpindah ke dalam.

Ia mengintip ke dalam pagar besi setinggi dada itu, berharap ada seorang santri lewat atau sekadar menyahut panggilannya. Namun tak satu pun tampak. Pesan WhatsApp-nya centang satu. Panggilan suara tak pernah nyambung. Robin tahu betul, HP Abdul memang sering ‘berkhianat’ di waktu-waktu genting.

“Jangan-jangan dia lupa?” gumam Robin. Tapi ia segera menepis pikiran itu. Ia tahu, Abdul bukan tipe orang yang mudah lupa pada janji.

Di dalam gedung sebelah barat pondok, Abdul masih duduk di depan meja kerja. Buku-buku ajar sudah ia tumpuk rapi, bolpoin ia masukkan ke laci, dan absensi sudah ia susun alfabetis. Tapi wajahnya tampak cemas. Ia baru sadar: tak ada tanda-tanda Robin datang.

“Lho, kok belum muncul-muncul?” batin Abdul, sambil membuka HP-nya. Tapi yang muncul di layar hanya gambar batere dengan tanda seru merah. Mati total.

Abdul berdiri. Ia berjalan menuju jendela, mengintip pelan ke arah gerbang pondok.

Sekilas, ia melihat bayangan orang berdiri di seberang jalan. Ia mendekat dan menyipitkan mata.

“Robin!”

Ia langsung melangkah cepat ke luar gedung, melewati taman kecil pondok yang dipenuhi aroma melati sore hari. Langkahnya agak tergesa, dan suara sandal jepitnya menggemeretak di lantai semen tua.

Di luar, Robin sudah bersiap untuk memutar balik motornya. Tapi ketika ia hendak menyalakan mesin, terdengar suara dari arah dalam pagar.

“Robin!”

Robin menoleh cepat. Tampak Abdul melambaikan tangan, tergesa mendekat.

“Kak Abdul! Astaga, saya sudah hampir pulang,” kata Robin, separuh lega, separuh kesal.

“Sori, sori banget. HP-ku mati. Tadi kupikir kau sudah masuk lewat pintu samping.”

“Mana mungkin, Kak. Itu kan gerbang utama. Saya udah menunggu dari tadi.”

Abdul tersenyum kecut. Ia tahu, Robin pasti jengkel. Tapi rasa bersalahnya lebih besar dari gengsi pada seniornya.

“Ayo, kita pulang. Tapi mampir dulu ke warung depan kampus, sebelum jika sholat magrib. Saya haus banget.”

Robin mengangguk. Mereka segera berboncengan menyusuri jalanan sempit menuju arah kota. Sore itu angin bertiup pelan, membawa harum tanah kering dan suara azan magrib yang mulai berkumandang dari masjid-masjid.

Di tengah jalan, Abdul membuka suara, “Rob, soal kejadian kemarin... saya belum sempat cerita.”

Robin menoleh sedikit, lalu kembali fokus pada jalan, “Tentang hantu Tambun?”

“Iya... waktu itu... sebenarnya saya nggak baca doa dengan lengkap. Beberapa ayat putus... karena HP mati. Doa-doanya semua tersimpan di HP.”

Robin tertawa pendek, “Pantesan hantu-nya kayak nggak takut.”

“Sssttt... jangan keras-keras!” bisik Abdul sambil menepuk bahu Robin. “Kalau dia dengar, bisa-bisa motor ini mogok lagi.”

Robin tertawa lebih keras kali ini, membuat pengendara motor lain menoleh ke arah mereka.

“Tapi Kak Abdul ini luar biasa,” kata Robin setelah tawa mereka mereda. “Sudah takut, ban bocor, HP mati, masih tetap kelihatan tegas.”

“Kaderisasi, Bro. Bahkan kalau hantu muncul pun, kaderisasi harus tetap jalan,” jawab Abdul, kali ini dengan nada penuh bangga—meski diselingi canda.

Motor terus melaju ke arah warung depan kampus. Dari kejauhan, lampu-lampu kota mulai menyala. Senja menjelma malam, dan kisah tentang hantu Tambun mungkin akan terus mereka bicarakan—dengan tawa, dengan cemas, atau dengan doa yang kali ini tidak tersimpan di HP.

Hujan tinggal gerimis. Jalanan basah memantulkan cahaya lampu kendaraan yang mulai memadati ruas jalan sore itu. Motor yang dikendarai Robin melaju pelan, melewati genangan-genangan kecil yang sesekali membuat air terciprat ke celana mereka.

Di atas motor itulah, Abdul kembali menjadi dirinya yang paling jujur—seorang pendidik yang tak pernah lelah mengingatkan.

"Rob, jangan terlalu bangga kalau kau cepat dikenal. Itu jebakan. Apalagi kalau dikenal bukan karena ilmu, tapi karena posisi," ujar Abdul pelan, hampir kalah oleh deru angin dan motor.

Robin hanya mengangguk, pelan. Ia tahu, setiap kata Abdul adalah hasil renungan panjang, bukan sekadar basa-basi senior yang ingin didengar.

Abdul melanjutkan, "Kadang saya heran. Banyak yang lebih ingin jadi ‘pengaruh’ di media sosial, daripada berpengaruh dalam kehidupan orang sekitarnya. Mereka sibuk dengan citra, tapi tak punya isi."

Robin terdiam. Hujan benar-benar reda kini, namun langit tetap suram. Lampu-lampu jalan menyala, menyorot wajah-wajah pejalan kaki yang berjalan cepat menghindari sisa gerimis. Robin terus menyetir, sesekali memotong kendaraan yang lambat, namun tetap menjaga kecepatan motor agar tak membuat Abdul terlempar ke belakang.

"Zamanmu nanti," ujar Abdul lagi, "bukan tentang siapa yang paling banyak followers-nya. Tapi siapa yang paling siap menanggung beban ketika dipercaya."

Robin menarik napas dalam-dalam. Ia mulai paham, mengapa Abdul sangat berbeda dengan para senior lainnya. Abdul tidak pernah memaksa, apalagi menindas. Ia hanya memberi, dan jika tak diambil, ia tak akan memaksa.

Beberapa menit kemudian, mereka sampai di tikungan masuk gang kecil tempat rumah Abdul berada. Robin menghentikan motor, mematikan mesin, dan menoleh ke belakang.

“Kita sampai, Kak.”

Abdul tersenyum lelah, namun hangat. “Terima kasih, Rob.”

Ia turun dari motor, menepuk bahu Robin pelan.

“Oh iya,” katanya sebelum membuka pagar rumah, “kalau nanti jadi pengurus, jangan lupa angkat kader yang mungkin tak punya jaringan tapi punya gagasan. Jangan bangun menara dari nama besar, tapi dari fondasi nilai yang kuat.”

Robin mengangguk pelan.

Saat Abdul mulai berjalan ke dalam rumah, Robin berseru, “Kak Abdul!”

Abdul menoleh.

“Terima kasih juga... bukan cuma karena sudah saya angkut hari ini, tapi karena saya merasa belajar sesuatu setiap kali kita jalan bareng.”

Abdul tersenyum kecil. Tak berkata apa-apa. Ia hanya mengangkat tangan, isyarat salam, lalu masuk ke rumah dengan langkah pelan.

Robin kembali menyalakan motor. Malam mulai turun, dan angin mulai membawa aroma tanah basah yang khas. Namun di dadanya, ada sesuatu yang tak basah oleh hujan—nasihat-nasihat Abdul yang kini menempel erat di sanubarinya.

Di Rumah Abdul

Malam telah larut. Langit masih menyimpan mendung sisa hujan tadi. Di rumah sederhana berdinding kayu dan atap seng itu, Abdul duduk bersila di lantai ruang tamu. Di hadapannya, secangkir teh hangat mengepul, temaram lampu pijar menggantung di atas kepala.

Anak sulungnya, Aminah, tengah memijat kaki Abdul yang mulai sering keram di malam hari. Istrinya, Halimah, sibuk di dapur merapikan piring-piring usai makan malam.

“Abi kenapa diam saja sejak pulang?” tanya Aminah pelan.

Abdul mengelus kepala putrinya, “Abi hanya lelah, Nak. Tapi lelah yang menyenangkan.”

Di rumah, Abdul adalah ayah yang lembut. Tak banyak bicara, namun selalu hadir. Ia tahu bahwa perjuangan di luar tak boleh membuat anak-anaknya merasa kehilangan kehangatan ayah di dalam rumah.

Namun, ada yang mengganjal di benaknya malam itu. Ia teringat kembali pada Hantu Tambun, pada HP yang mati, dan terutama pada forum di pondok pagi tadi yang mulai menunjukkan tanda-tanda perselisihan.Misteri yang Belum Usai

Gedung Sam Rat tetap berdiri angkuh dalam gelap. Konon, penunggu yang disebut Hantu Tambun itu memang bukan sembarang makhluk. Ia dulunya adalah penjaga tempat itu ketika masih digunakan sebagai asrama. Sosok yang suka dipuja, gemar ritual, dan marah besar jika tak dihormati. Banyak mahasiswa yang mengaku diganggu saat memakai gedung tanpa izin.

Namun satu hal yang pasti: sejak kentut Abdul menggema di sore itu, tidak ada lagi penampakan selama beberapa minggu ke depan. Mungkin hantu itu trauma. Atau mungkin sedang menyiapkan balasan yang lebih dahsyat.

Tapi bagi Abdul, Henci, dan Robin, kejadian itu telah mengukir satu pelajaran penting: kadang, doa-doa dan keberanian pun tak cukup. Sebuah kentut, jika tepat waktu, bisa menjadi senjata paling ampuh untuk mengusir kegelapan.

Robin pun tetap berdiri di depan pintu gerbang pondok dengan wajah gusar. Ia melirik jam tangannya. Sudah hampir satu jam. Sinar matahari mulai condong, membentuk bayang-bayang panjang pada tanah kerikil yang panas. Langit sore tampak jingga, dan suasana pondok makin senyap, seolah semua aktivitas telah berpindah ke dalam.

Ia mengintip ke dalam pagar besi setinggi dada itu, berharap ada seorang santri lewat atau sekadar menyahut panggilannya. Namun tak satu pun tampak. Pesan WhatsApp-nya centang satu. Panggilan suara tak pernah nyambung. Robin tahu betul, HP Abdul memang sering ‘berkhianat’ di waktu-waktu genting.

“Jangan-jangan dia lupa?” gumam Robin. Tapi ia segera menepis pikiran itu. Ia tahu, Abdul bukan tipe orang yang mudah lupa pada janji.

Di dalam gedung sebelah barat pondok, Abdul masih duduk di depan meja kerja. Buku-buku ajar sudah ia tumpuk rapi, bolpoin ia masukkan ke laci, dan absensi sudah ia susun alfabetis. Tapi wajahnya tampak cemas. Ia baru sadar: tak ada tanda-tanda Robin datang.

“Lho, kok belum muncul-muncul?” batin Abdul, sambil membuka HP-nya. Tapi yang muncul di layar hanya gambar batere dengan tanda seru merah. Mati total.

Abdul berdiri. Ia berjalan menuju jendela, mengintip pelan ke arah gerbang pondok.

Sekilas, ia melihat bayangan orang berdiri di seberang jalan. Ia mendekat dan menyipitkan mata.

“Robin!”

Ia langsung melangkah cepat ke luar gedung, melewati taman kecil pondok yang dipenuhi aroma melati sore hari. Langkahnya agak tergesa, dan suara sandal jepitnya menggemeretak di lantai semen tua.

Di luar, Robin sudah bersiap untuk memutar balik motornya. Tapi ketika ia hendak menyalakan mesin, terdengar suara dari arah dalam pagar.

“Robin!”

Robin menoleh cepat. Tampak Abdul melambaikan tangan, tergesa mendekat.

“Kak Abdul! Astaga, saya sudah hampir pulang,” kata Robin, separuh lega, separuh kesal.

“Sori, sori banget. HP-ku mati. Tadi kupikir kau sudah masuk lewat pintu samping.”

“Mana mungkin, Kak. Itu kan gerbang utama. Saya udah menunggu dari tadi.”

Abdul tersenyum kecut. Ia tahu, Robin pasti jengkel. Tapi rasa bersalahnya lebih besar dari gengsi pada seniornya.

“Ayo, kita pulang. Tapi mampir dulu ke warung depan kampus, sebelum jika sholat magrib. Saya haus banget.”

Robin mengangguk. Mereka segera berboncengan menyusuri jalanan sempit menuju arah kota. Sore itu angin bertiup pelan, membawa harum tanah kering dan suara azan magrib yang mulai berkumandang dari masjid-masjid.

Di tengah jalan, Abdul membuka suara, “Rob, soal kejadian kemarin... saya belum sempat cerita.”

Robin menoleh sedikit, lalu kembali fokus pada jalan, “Tentang hantu Tambun?”

“Iya... waktu itu... sebenarnya saya nggak baca doa dengan lengkap. Beberapa ayat putus... karena HP mati. Doa-doanya semua tersimpan di HP.”

Robin tertawa pendek, “Pantesan hantu-nya kayak nggak takut.”

“Sssttt... jangan keras-keras!” bisik Abdul sambil menepuk bahu Robin. “Kalau dia dengar, bisa-bisa motor ini mogok lagi.”

Robin tertawa lebih keras kali ini, membuat pengendara motor lain menoleh ke arah mereka.

“Tapi Kak Abdul ini luar biasa,” kata Robin setelah tawa mereka mereda. “Sudah takut, ban bocor, HP mati, masih tetap kelihatan tegas.”

“Kaderisasi, Bro. Bahkan kalau hantu muncul pun, kaderisasi harus tetap jalan,” jawab Abdul, kali ini dengan nada penuh bangga—meski diselingi canda.

Motor terus melaju ke arah warung depan kampus. Dari kejauhan, lampu-lampu kota mulai menyala. Senja menjelma malam, dan kisah tentang hantu Tambun mungkin akan terus mereka bicarakan—dengan tawa, dengan cemas, atau dengan doa yang kali ini tidak tersimpan di HP.

Hujan tinggal gerimis. Jalanan basah memantulkan cahaya lampu kendaraan yang mulai memadati ruas jalan sore itu. Motor yang dikendarai Robin melaju pelan, melewati genangan-genangan kecil yang sesekali membuat air terciprat ke celana mereka.

Di atas motor itulah, Abdul kembali menjadi dirinya yang paling jujur—seorang pendidik yang tak pernah lelah mengingatkan.

"Rob, jangan terlalu bangga kalau kau cepat dikenal. Itu jebakan. Apalagi kalau dikenal bukan karena ilmu, tapi karena posisi," ujar Abdul pelan, hampir kalah oleh deru angin dan motor.

Robin hanya mengangguk, pelan. Ia tahu, setiap kata Abdul adalah hasil renungan panjang, bukan sekadar basa-basi senior yang ingin didengar.

Abdul melanjutkan, "Kadang saya heran. Banyak yang lebih ingin jadi ‘pengaruh’ di media sosial, daripada berpengaruh dalam kehidupan orang sekitarnya. Mereka sibuk dengan citra, tapi tak punya isi."

Robin terdiam. Hujan benar-benar reda kini, namun langit tetap suram. Lampu-lampu jalan menyala, menyorot wajah-wajah pejalan kaki yang berjalan cepat menghindari sisa gerimis. Robin terus menyetir, sesekali memotong kendaraan yang lambat, namun tetap menjaga kecepatan motor agar tak membuat Abdul terlempar ke belakang.

"Zamanmu nanti," ujar Abdul lagi, "bukan tentang siapa yang paling banyak followers-nya. Tapi siapa yang paling siap menanggung beban ketika dipercaya."

Robin menarik napas dalam-dalam. Ia mulai paham, mengapa Abdul sangat berbeda dengan para senior lainnya. Abdul tidak pernah memaksa, apalagi menindas. Ia hanya memberi, dan jika tak diambil, ia tak akan memaksa.

Beberapa menit kemudian, mereka sampai di tikungan masuk gang kecil tempat rumah Abdul berada. Robin menghentikan motor, mematikan mesin, dan menoleh ke belakang.

“Kita sampai, Kak.”

Abdul tersenyum lelah, namun hangat. “Terima kasih, Rob.”

Ia turun dari motor, menepuk bahu Robin pelan.

“Oh iya,” katanya sebelum membuka pagar rumah, “kalau nanti jadi pengurus, jangan lupa angkat kader yang mungkin tak punya jaringan tapi punya gagasan. Jangan bangun menara dari nama besar, tapi dari fondasi nilai yang kuat.”

Robin mengangguk pelan.

Saat Abdul mulai berjalan ke dalam rumah, Robin berseru, “Kak Abdul!”

Abdul menoleh.

“Terima kasih juga... bukan cuma karena sudah saya angkut hari ini, tapi karena saya merasa belajar sesuatu setiap kali kita jalan bareng.”

Abdul tersenyum kecil. Tak berkata apa-apa. Ia hanya mengangkat tangan, isyarat salam, lalu masuk ke rumah dengan langkah pelan.

Robin kembali menyalakan motor. Malam mulai turun, dan angin mulai membawa aroma tanah basah yang khas. Namun di dadanya, ada sesuatu yang tak basah oleh hujan—nasihat-nasihat Abdul yang kini menempel erat di sanubarinya.

Di Rumah Abdul

Malam telah larut. Langit masih menyimpan mendung sisa hujan tadi. Di rumah sederhana berdinding kayu dan atap seng itu, Abdul duduk bersila di lantai ruang tamu. Di hadapannya, secangkir teh hangat mengepul, temaram lampu pijar menggantung di atas kepala.

Anak sulungnya, Aminah, tengah memijat kaki Abdul yang mulai sering keram di malam hari. Istrinya, Halimah, sibuk di dapur merapikan piring-piring usai makan malam.

“Abi kenapa diam saja sejak pulang?” tanya Aminah pelan.

Abdul mengelus kepala putrinya, “Abi hanya lelah, Nak. Tapi lelah yang menyenangkan.”

Di rumah, Abdul adalah ayah yang lembut. Tak banyak bicara, namun selalu hadir. Ia tahu bahwa perjuangan di luar tak boleh membuat anak-anaknya merasa kehilangan kehangatan ayah di dalam rumah.

Namun, ada yang mengganjal di benaknya malam itu. Ia teringat kembali pada Hantu Tambun, pada HP yang mati, dan terutama pada forum di pondok pagi tadi yang mulai menunjukkan tanda-tanda perselisihan.

Posting Komentar

0 Komentar