Ilustrasi Hantu (pixabay) |
Misteri yang Belum
Usai
Gedung Sam Rat tetap berdiri angkuh dalam gelap. Konon,
penunggu yang disebut Hantu Tambun itu memang bukan sembarang makhluk. Ia
dulunya adalah penjaga tempat itu ketika masih digunakan sebagai asrama. Sosok
yang suka dipuja, gemar ritual, dan marah besar jika tak dihormati. Banyak
mahasiswa yang mengaku diganggu saat memakai gedung tanpa izin.
Namun satu hal yang pasti: sejak kentut Abdul menggema di
sore itu, tidak ada lagi penampakan selama beberapa minggu ke depan. Mungkin
hantu itu trauma. Atau mungkin sedang menyiapkan balasan yang lebih dahsyat.
Tapi bagi Abdul, Henci, dan Robin, kejadian itu telah
mengukir satu pelajaran penting: kadang, doa-doa dan keberanian pun tak cukup.
Sebuah kentut, jika tepat waktu, bisa menjadi senjata paling ampuh untuk
mengusir kegelapan.
Robin pun tetap berdiri di depan pintu gerbang pondok dengan
wajah gusar. Ia melirik jam tangannya. Sudah hampir satu jam. Sinar matahari
mulai condong, membentuk bayang-bayang panjang pada tanah kerikil yang panas.
Langit sore tampak jingga, dan suasana pondok makin senyap, seolah semua
aktivitas telah berpindah ke dalam.
Ia mengintip ke dalam pagar besi setinggi dada itu, berharap
ada seorang santri lewat atau sekadar menyahut panggilannya. Namun tak satu pun
tampak. Pesan WhatsApp-nya centang satu. Panggilan suara tak pernah nyambung.
Robin tahu betul, HP Abdul memang sering ‘berkhianat’ di waktu-waktu genting.
“Jangan-jangan dia lupa?” gumam Robin. Tapi ia segera
menepis pikiran itu. Ia tahu, Abdul bukan tipe orang yang mudah lupa pada
janji.
Di dalam gedung sebelah barat pondok, Abdul masih duduk di
depan meja kerja. Buku-buku ajar sudah ia tumpuk rapi, bolpoin ia masukkan ke
laci, dan absensi sudah ia susun alfabetis. Tapi wajahnya tampak cemas. Ia baru
sadar: tak ada tanda-tanda Robin datang.
“Lho, kok belum muncul-muncul?” batin Abdul, sambil membuka
HP-nya. Tapi yang muncul di layar hanya gambar batere dengan tanda seru merah.
Mati total.
Abdul berdiri. Ia berjalan menuju jendela, mengintip pelan
ke arah gerbang pondok.
Sekilas, ia melihat bayangan orang berdiri di seberang
jalan. Ia mendekat dan menyipitkan mata.
“Robin!”
Ia langsung melangkah cepat ke luar gedung, melewati taman
kecil pondok yang dipenuhi aroma melati sore hari. Langkahnya agak tergesa, dan
suara sandal jepitnya menggemeretak di lantai semen tua.
Di luar, Robin sudah bersiap untuk memutar balik motornya.
Tapi ketika ia hendak menyalakan mesin, terdengar suara dari arah dalam pagar.
“Robin!”
Robin menoleh cepat. Tampak Abdul melambaikan tangan,
tergesa mendekat.
“Kak Abdul! Astaga, saya sudah hampir pulang,” kata Robin,
separuh lega, separuh kesal.
“Sori, sori banget. HP-ku mati. Tadi kupikir kau sudah masuk
lewat pintu samping.”
“Mana mungkin, Kak. Itu kan gerbang utama. Saya udah
menunggu dari tadi.”
Abdul tersenyum kecut. Ia tahu, Robin pasti jengkel. Tapi
rasa bersalahnya lebih besar dari gengsi pada seniornya.
“Ayo, kita pulang. Tapi mampir dulu ke warung depan kampus,
sebelum jika sholat magrib. Saya haus banget.”
Robin mengangguk. Mereka segera berboncengan menyusuri
jalanan sempit menuju arah kota. Sore itu angin bertiup pelan, membawa harum
tanah kering dan suara azan magrib yang mulai berkumandang dari masjid-masjid.
Di tengah jalan, Abdul membuka suara, “Rob, soal kejadian
kemarin... saya belum sempat cerita.”
Robin menoleh sedikit, lalu kembali fokus pada jalan,
“Tentang hantu Tambun?”
“Iya... waktu itu... sebenarnya saya nggak baca doa dengan
lengkap. Beberapa ayat putus... karena HP mati. Doa-doanya semua tersimpan di
HP.”
Robin tertawa pendek, “Pantesan hantu-nya kayak nggak
takut.”
“Sssttt... jangan keras-keras!” bisik Abdul sambil menepuk
bahu Robin. “Kalau dia dengar, bisa-bisa motor ini mogok lagi.”
Robin tertawa lebih keras kali ini, membuat pengendara motor
lain menoleh ke arah mereka.
“Tapi Kak Abdul ini luar biasa,” kata Robin setelah tawa mereka
mereda. “Sudah takut, ban bocor, HP mati, masih tetap kelihatan tegas.”
“Kaderisasi, Bro. Bahkan kalau hantu muncul pun, kaderisasi
harus tetap jalan,” jawab Abdul, kali ini dengan nada penuh bangga—meski
diselingi canda.
Motor terus melaju ke arah warung depan kampus. Dari
kejauhan, lampu-lampu kota mulai menyala. Senja menjelma malam, dan kisah
tentang hantu Tambun mungkin akan terus mereka bicarakan—dengan tawa, dengan
cemas, atau dengan doa yang kali ini tidak tersimpan di HP.
Hujan tinggal gerimis. Jalanan basah memantulkan cahaya
lampu kendaraan yang mulai memadati ruas jalan sore itu. Motor yang dikendarai
Robin melaju pelan, melewati genangan-genangan kecil yang sesekali membuat air
terciprat ke celana mereka.
Di atas motor itulah, Abdul kembali menjadi dirinya yang
paling jujur—seorang pendidik yang tak pernah lelah mengingatkan.
"Rob, jangan terlalu bangga kalau kau cepat dikenal.
Itu jebakan. Apalagi kalau dikenal bukan karena ilmu, tapi karena posisi,"
ujar Abdul pelan, hampir kalah oleh deru angin dan motor.
Robin hanya mengangguk, pelan. Ia tahu, setiap kata Abdul
adalah hasil renungan panjang, bukan sekadar basa-basi senior yang ingin didengar.
Abdul melanjutkan, "Kadang saya heran. Banyak yang
lebih ingin jadi ‘pengaruh’ di media sosial, daripada berpengaruh dalam
kehidupan orang sekitarnya. Mereka sibuk dengan citra, tapi tak punya
isi."
Robin terdiam. Hujan benar-benar reda kini, namun langit
tetap suram. Lampu-lampu jalan menyala, menyorot wajah-wajah pejalan kaki yang
berjalan cepat menghindari sisa gerimis. Robin terus menyetir, sesekali
memotong kendaraan yang lambat, namun tetap menjaga kecepatan motor agar tak
membuat Abdul terlempar ke belakang.
"Zamanmu nanti," ujar Abdul lagi, "bukan
tentang siapa yang paling banyak followers-nya. Tapi siapa yang paling siap
menanggung beban ketika dipercaya."
Robin menarik napas dalam-dalam. Ia mulai paham, mengapa
Abdul sangat berbeda dengan para senior lainnya. Abdul tidak pernah memaksa,
apalagi menindas. Ia hanya memberi, dan jika tak diambil, ia tak akan memaksa.
Beberapa menit kemudian, mereka sampai di tikungan masuk
gang kecil tempat rumah Abdul berada. Robin menghentikan motor, mematikan
mesin, dan menoleh ke belakang.
“Kita sampai, Kak.”
Abdul tersenyum lelah, namun hangat. “Terima kasih, Rob.”
Ia turun dari motor, menepuk bahu Robin pelan.
“Oh iya,” katanya sebelum membuka pagar rumah, “kalau nanti
jadi pengurus, jangan lupa angkat kader yang mungkin tak punya jaringan tapi
punya gagasan. Jangan bangun menara dari nama besar, tapi dari fondasi nilai
yang kuat.”
Robin mengangguk pelan.
Saat Abdul mulai berjalan ke dalam rumah, Robin berseru,
“Kak Abdul!”
Abdul menoleh.
“Terima kasih juga... bukan cuma karena sudah saya angkut
hari ini, tapi karena saya merasa belajar sesuatu setiap kali kita jalan
bareng.”
Abdul tersenyum kecil. Tak berkata apa-apa. Ia hanya
mengangkat tangan, isyarat salam, lalu masuk ke rumah dengan langkah pelan.
Robin kembali menyalakan motor. Malam mulai turun, dan angin
mulai membawa aroma tanah basah yang khas. Namun di dadanya, ada sesuatu yang
tak basah oleh hujan—nasihat-nasihat Abdul yang kini menempel erat di
sanubarinya.
Di Rumah Abdul
Malam telah larut. Langit masih menyimpan mendung sisa hujan
tadi. Di rumah sederhana berdinding kayu dan atap seng itu, Abdul duduk bersila
di lantai ruang tamu. Di hadapannya, secangkir teh hangat mengepul, temaram
lampu pijar menggantung di atas kepala.
Anak sulungnya, Aminah, tengah memijat kaki Abdul yang mulai
sering keram di malam hari. Istrinya, Halimah, sibuk di dapur merapikan
piring-piring usai makan malam.
“Abi kenapa diam saja sejak pulang?” tanya Aminah pelan.
Abdul mengelus kepala putrinya, “Abi hanya lelah, Nak. Tapi
lelah yang menyenangkan.”
Di rumah, Abdul adalah ayah yang lembut. Tak banyak bicara,
namun selalu hadir. Ia tahu bahwa perjuangan di luar tak boleh membuat
anak-anaknya merasa kehilangan kehangatan ayah di dalam rumah.
Namun, ada yang mengganjal di benaknya malam itu. Ia
teringat kembali pada Hantu Tambun, pada HP yang mati, dan terutama pada forum
di pondok pagi tadi yang mulai menunjukkan tanda-tanda perselisihan.
Gedung Sam Rat tetap berdiri angkuh dalam gelap. Konon,
penunggu yang disebut Hantu Tambun itu memang bukan sembarang makhluk. Ia
dulunya adalah penjaga tempat itu ketika masih digunakan sebagai asrama. Sosok
yang suka dipuja, gemar ritual, dan marah besar jika tak dihormati. Banyak
mahasiswa yang mengaku diganggu saat memakai gedung tanpa izin.
Namun satu hal yang pasti: sejak kentut Abdul menggema di
sore itu, tidak ada lagi penampakan selama beberapa minggu ke depan. Mungkin
hantu itu trauma. Atau mungkin sedang menyiapkan balasan yang lebih dahsyat.
Tapi bagi Abdul, Henci, dan Robin, kejadian itu telah
mengukir satu pelajaran penting: kadang, doa-doa dan keberanian pun tak cukup.
Sebuah kentut, jika tepat waktu, bisa menjadi senjata paling ampuh untuk
mengusir kegelapan.
Robin pun tetap berdiri di depan pintu gerbang pondok dengan
wajah gusar. Ia melirik jam tangannya. Sudah hampir satu jam. Sinar matahari
mulai condong, membentuk bayang-bayang panjang pada tanah kerikil yang panas.
Langit sore tampak jingga, dan suasana pondok makin senyap, seolah semua
aktivitas telah berpindah ke dalam.
Ia mengintip ke dalam pagar besi setinggi dada itu, berharap
ada seorang santri lewat atau sekadar menyahut panggilannya. Namun tak satu pun
tampak. Pesan WhatsApp-nya centang satu. Panggilan suara tak pernah nyambung.
Robin tahu betul, HP Abdul memang sering ‘berkhianat’ di waktu-waktu genting.
“Jangan-jangan dia lupa?” gumam Robin. Tapi ia segera
menepis pikiran itu. Ia tahu, Abdul bukan tipe orang yang mudah lupa pada
janji.
Di dalam gedung sebelah barat pondok, Abdul masih duduk di
depan meja kerja. Buku-buku ajar sudah ia tumpuk rapi, bolpoin ia masukkan ke
laci, dan absensi sudah ia susun alfabetis. Tapi wajahnya tampak cemas. Ia baru
sadar: tak ada tanda-tanda Robin datang.
“Lho, kok belum muncul-muncul?” batin Abdul, sambil membuka
HP-nya. Tapi yang muncul di layar hanya gambar batere dengan tanda seru merah.
Mati total.
Abdul berdiri. Ia berjalan menuju jendela, mengintip pelan
ke arah gerbang pondok.
Sekilas, ia melihat bayangan orang berdiri di seberang
jalan. Ia mendekat dan menyipitkan mata.
“Robin!”
Ia langsung melangkah cepat ke luar gedung, melewati taman
kecil pondok yang dipenuhi aroma melati sore hari. Langkahnya agak tergesa, dan
suara sandal jepitnya menggemeretak di lantai semen tua.
Di luar, Robin sudah bersiap untuk memutar balik motornya.
Tapi ketika ia hendak menyalakan mesin, terdengar suara dari arah dalam pagar.
“Robin!”
Robin menoleh cepat. Tampak Abdul melambaikan tangan,
tergesa mendekat.
“Kak Abdul! Astaga, saya sudah hampir pulang,” kata Robin,
separuh lega, separuh kesal.
“Sori, sori banget. HP-ku mati. Tadi kupikir kau sudah masuk
lewat pintu samping.”
“Mana mungkin, Kak. Itu kan gerbang utama. Saya udah
menunggu dari tadi.”
Abdul tersenyum kecut. Ia tahu, Robin pasti jengkel. Tapi
rasa bersalahnya lebih besar dari gengsi pada seniornya.
“Ayo, kita pulang. Tapi mampir dulu ke warung depan kampus,
sebelum jika sholat magrib. Saya haus banget.”
Robin mengangguk. Mereka segera berboncengan menyusuri
jalanan sempit menuju arah kota. Sore itu angin bertiup pelan, membawa harum
tanah kering dan suara azan magrib yang mulai berkumandang dari masjid-masjid.
Di tengah jalan, Abdul membuka suara, “Rob, soal kejadian
kemarin... saya belum sempat cerita.”
Robin menoleh sedikit, lalu kembali fokus pada jalan,
“Tentang hantu Tambun?”
“Iya... waktu itu... sebenarnya saya nggak baca doa dengan
lengkap. Beberapa ayat putus... karena HP mati. Doa-doanya semua tersimpan di
HP.”
Robin tertawa pendek, “Pantesan hantu-nya kayak nggak
takut.”
“Sssttt... jangan keras-keras!” bisik Abdul sambil menepuk
bahu Robin. “Kalau dia dengar, bisa-bisa motor ini mogok lagi.”
Robin tertawa lebih keras kali ini, membuat pengendara motor
lain menoleh ke arah mereka.
“Tapi Kak Abdul ini luar biasa,” kata Robin setelah tawa mereka
mereda. “Sudah takut, ban bocor, HP mati, masih tetap kelihatan tegas.”
“Kaderisasi, Bro. Bahkan kalau hantu muncul pun, kaderisasi
harus tetap jalan,” jawab Abdul, kali ini dengan nada penuh bangga—meski
diselingi canda.
Motor terus melaju ke arah warung depan kampus. Dari
kejauhan, lampu-lampu kota mulai menyala. Senja menjelma malam, dan kisah
tentang hantu Tambun mungkin akan terus mereka bicarakan—dengan tawa, dengan
cemas, atau dengan doa yang kali ini tidak tersimpan di HP.
Hujan tinggal gerimis. Jalanan basah memantulkan cahaya
lampu kendaraan yang mulai memadati ruas jalan sore itu. Motor yang dikendarai
Robin melaju pelan, melewati genangan-genangan kecil yang sesekali membuat air
terciprat ke celana mereka.
Di atas motor itulah, Abdul kembali menjadi dirinya yang
paling jujur—seorang pendidik yang tak pernah lelah mengingatkan.
"Rob, jangan terlalu bangga kalau kau cepat dikenal.
Itu jebakan. Apalagi kalau dikenal bukan karena ilmu, tapi karena posisi,"
ujar Abdul pelan, hampir kalah oleh deru angin dan motor.
Robin hanya mengangguk, pelan. Ia tahu, setiap kata Abdul
adalah hasil renungan panjang, bukan sekadar basa-basi senior yang ingin didengar.
Abdul melanjutkan, "Kadang saya heran. Banyak yang
lebih ingin jadi ‘pengaruh’ di media sosial, daripada berpengaruh dalam
kehidupan orang sekitarnya. Mereka sibuk dengan citra, tapi tak punya
isi."
Robin terdiam. Hujan benar-benar reda kini, namun langit
tetap suram. Lampu-lampu jalan menyala, menyorot wajah-wajah pejalan kaki yang
berjalan cepat menghindari sisa gerimis. Robin terus menyetir, sesekali
memotong kendaraan yang lambat, namun tetap menjaga kecepatan motor agar tak
membuat Abdul terlempar ke belakang.
"Zamanmu nanti," ujar Abdul lagi, "bukan
tentang siapa yang paling banyak followers-nya. Tapi siapa yang paling siap
menanggung beban ketika dipercaya."
Robin menarik napas dalam-dalam. Ia mulai paham, mengapa
Abdul sangat berbeda dengan para senior lainnya. Abdul tidak pernah memaksa,
apalagi menindas. Ia hanya memberi, dan jika tak diambil, ia tak akan memaksa.
Beberapa menit kemudian, mereka sampai di tikungan masuk
gang kecil tempat rumah Abdul berada. Robin menghentikan motor, mematikan
mesin, dan menoleh ke belakang.
“Kita sampai, Kak.”
Abdul tersenyum lelah, namun hangat. “Terima kasih, Rob.”
Ia turun dari motor, menepuk bahu Robin pelan.
“Oh iya,” katanya sebelum membuka pagar rumah, “kalau nanti
jadi pengurus, jangan lupa angkat kader yang mungkin tak punya jaringan tapi
punya gagasan. Jangan bangun menara dari nama besar, tapi dari fondasi nilai
yang kuat.”
Robin mengangguk pelan.
Saat Abdul mulai berjalan ke dalam rumah, Robin berseru,
“Kak Abdul!”
Abdul menoleh.
“Terima kasih juga... bukan cuma karena sudah saya angkut
hari ini, tapi karena saya merasa belajar sesuatu setiap kali kita jalan
bareng.”
Abdul tersenyum kecil. Tak berkata apa-apa. Ia hanya
mengangkat tangan, isyarat salam, lalu masuk ke rumah dengan langkah pelan.
Robin kembali menyalakan motor. Malam mulai turun, dan angin
mulai membawa aroma tanah basah yang khas. Namun di dadanya, ada sesuatu yang
tak basah oleh hujan—nasihat-nasihat Abdul yang kini menempel erat di
sanubarinya.
Di Rumah Abdul
Malam telah larut. Langit masih menyimpan mendung sisa hujan
tadi. Di rumah sederhana berdinding kayu dan atap seng itu, Abdul duduk bersila
di lantai ruang tamu. Di hadapannya, secangkir teh hangat mengepul, temaram
lampu pijar menggantung di atas kepala.
Anak sulungnya, Aminah, tengah memijat kaki Abdul yang mulai
sering keram di malam hari. Istrinya, Halimah, sibuk di dapur merapikan
piring-piring usai makan malam.
“Abi kenapa diam saja sejak pulang?” tanya Aminah pelan.
Abdul mengelus kepala putrinya, “Abi hanya lelah, Nak. Tapi
lelah yang menyenangkan.”
Di rumah, Abdul adalah ayah yang lembut. Tak banyak bicara,
namun selalu hadir. Ia tahu bahwa perjuangan di luar tak boleh membuat
anak-anaknya merasa kehilangan kehangatan ayah di dalam rumah.
Namun, ada yang mengganjal di benaknya malam itu. Ia
teringat kembali pada Hantu Tambun, pada HP yang mati, dan terutama pada forum
di pondok pagi tadi yang mulai menunjukkan tanda-tanda perselisihan.
0 Komentar