Kenangan Yang Kembali
Hidup
Selepas isya, setelah Istrinya tidur dan rumah sunyi, Abdul
masuk ke kamar, membuka koper tua berisi berkas dan buku-buku lama. Di dalamnya
ada foto hitam putih, sobek di sudut. Foto itu menampilkan dirinya bersama
seorang sahabat karib: Taufik, almarhum. Sama-sama aktivis, sama-sama pernah
menginap di masjid kampus demi mengikuti pelatihan kaderisasi nasional.
Taufik adalah sahabat seperjuangan yang dulu mengajarkannya
pentingnya menyemai ilmu tanpa pamrih. Namun jalan hidup berkata lain, Taufik
wafat muda karena kecelakaan dalam perjalanan menuju forum nasional kaderisasi.
Abdul mengusap foto itu dengan jari gemetar. Air matanya
jatuh perlahan.
“Jika engkau masih hidup, Fik, mungkin kita bisa mengubah
banyak hal di pondok ini,” gumamnya lirih.
Dari Taufik-lah, Abdul belajar bahwa kaderisasi bukan
tentang menjaring yang paling pintar, tapi yang paling gigih belajar. Bukan
yang paling banyak dikenal, tapi yang paling tekun mendengar.
Beberapa hari terakhir, suhu di dalam pesantren mulai
memanas. Terutama di antara para tenaga pengajar dan pengurus pesantren muda.
Mereka diam-diam membentuk kelompok yang punya pendekatan berbeda terhadap
kaderisasi.
Jika Abdul percaya pada pendekatan asuhan, maka kelompok
baru ini lebih percaya pada pendekatan seleksi alam. Mereka menganggap kader
yang baik akan muncul sendiri, tak perlu terlalu dirawat.
“Biarkan mereka bersaing bebas,” kata Ustaz M. Ridwan dalam
satu rapat, “Kalau kita terus rangkul semua, kita justru melahirkan kader yang
manja.”
Abdul hanya diam kala itu. Tapi di dalam hatinya bergolak. Ia
tahu, jika metode itu diterapkan, maka kader dari latar belakang lemah ekonomi,
atau yang pemalu, atau yang tidak memiliki “koneksi elite” di pesantren, akan
tenggelam dan tertinggal.
Konflik mulai terasa saat daftar calon ketua organisasi
santri diumumkan. Nama-nama yang masuk hanya dari satu “barisan”—yang dekat
dengan kelompok baru itu. Kader-kader Abdul seperti Robin, Hamzah, dan Rudi,
tersingkir meski memiliki kualitas dan loyalitas.
Beberapa santri datang padanya diam-diam, mengeluh, “Kenapa
kita tidak dipilih, Kak Abdul? Apa karena kita bukan dari keluarga kyai?”
Abdul menenangkan mereka, tapi hatinya gusar. Ia merasa benih ketidakadilan mulai tumbuh di tanah yang selama ini ia rawat dengan penuh cinta.
Suatu malam, setelah kelas tafsir usai, Abdul menyendiri di
perpustakaan. Ia membuka kitab Adab al-Muridin karya Syekh Abu Najib
as-Suhrawardi. Di sana tertulis satu kalimat yang menohok: "Barang siapa
menyemai tanpa niat ikhlas, ia akan panen dengan kecemasan."
Abdul merasa ditampar.
“Apakah aku sendiri masih ikhlas?” tanyanya dalam hati.
Ia tahu, konflik ini bukan tentang kalah atau menang, tapi
tentang masa depan sebuah sistem pendidikan. Ia sadar, jika ia diam, sistem
kaderisasi di pesantren itu bisa berubah menjadi arisan kuasa.
Namun jika ia bicara, ia akan berhadapan dengan tokoh-tokoh
muda yang tengah naik daun. Beberapa di antara mereka bahkan dekat dengan
pimpinan pondok. Posisi Abdul rapuh.
Rencana Abdul
Esoknya, Abdul membuat keputusan. Ia memanggil Robin dan
beberapa kader muda lainnya ke rumah.
Di ruang tamu sempit itu, mereka duduk bersila mengelilingi
meja kecil yang di atasnya hanya ada kue pisang goreng dan kopi hitam.
“Kita tidak akan membalas dengan cara mereka,” ujar Abdul
tegas, “Tapi kita akan tetap bergerak. Perlahan, tapi pasti. Buat forum belajar
sendiri, buat ruang diskusi sendiri. Jika pintu resmi ditutup, kita buka
jendela kecil.”
Robin menatap Abdul dengan mata berbinar. “Kita siap, Kak.”
Abdul tahu, ini bukan perang. Ini adalah jihad
sunyi—perjuangan menjaga agar ilmu tak jadi alat kuasa. Ia tidak mencari
kemenangan besar. Ia hanya ingin memastikan bahwa setitik cahaya tetap menyala
di lorong-lorong sunyi pondok itu.
Forum bawah tanah: "majelis malam jumat"
Diadakan tiap malam Jumat ba’da Isya, di rumah Abdul yang
terletak di lorong belakang pasar lama. Hanya ada karpet tipis, dua termos air
panas, gelas-gelas bening, dan beberapa kitab klasik warisan Taufik. Tidak ada
mikrofon, tidak ada baliho besar bertuliskan “kaderisasi progresif” atau
semacamnya. Semua berlangsung dalam diam, tanpa selebaran, tanpa pengeras
suara.
Forum itu kemudian mereka namakan Majelis Malam Jumat. Bagi
orang luar, itu terdengar seperti majelis wirid biasa. Tapi sesungguhnya, di
sanalah berlangsung diskusi-diskusi tajam tentang ilmu, sejarah pergerakan,
adab santri, dan filosofi kaderisasi.
Robin, Hamzah, dan Rudi jadi motor penggeraknya. Mereka
merekrut pelan-pelan kader-kader muda yang selama ini terpinggirkan dari
struktur resmi. Yang pemalu, yang pendiam, yang tak punya "garis keturunan
elite"—semuanya disambut.
Abdul membimbing mereka tanpa banyak suara. Ia lebih suka
melempar pertanyaan daripada memberi jawaban. Ia ingin mereka berpikir, bukan
sekadar patuh.
“Jangan jadikan senior sebagai tongkat. Jadikan ilmu sebagai
cahaya.”
Kalimat itu jadi semacam prinsip dalam forum itu.
Awalnya, forum itu dianggap seperti pengajian pinggiran.
Tapi perlahan-lahan, hasilnya mulai terlihat.
Santri-santri yang ikut Majelis Malam Jumat menunjukkan
kecemerlangan dalam forum-forum publik. Mereka tidak tampil mencolok, tapi
ketika bicara, isinya dalam. Mereka mulai mengungguli kader-kader dari forum
resmi dalam lomba debat internal, penulisan makalah, bahkan ujian hafalan.
Suatu ketika, dalam Lailatul Ilmi, sebuah malam ilmiah rutin
di pondok, Robin membacakan makalah tentang “Etika Kaderisasi dalam Tradisi
Sufistik”. Semua terdiam. Bahkan pimpinan pondok, Kiai Sahal, yang jarang
memuji, mengangguk dan berkata:
“Ini tulisan dari hati. Tidak dibuat untuk menang, tapi
untuk memperbaiki.”
Sejak itu, suara-suara mulai beredar. “Siapa yang bimbing
Robin?” “Kenapa santri-santri Abdul justru lebih bersinar padahal tidak ikut
forum resmi?”
Itulah awal kegelisahan para pengurus kaderisasi resmi. Mereka merasa tersaingi. Terancam.
Beberapa minggu setelah peristiwa Lailatul Ilmi, datanglah
surat edaran dari Dewan Pengasuh Pondok:
“Segala bentuk forum pembinaan santri di luar struktur resmi
harus dilaporkan dan mendapat izin.”
Jelas maksudnya mengarah ke Majelis Malam Jumat.
Namun Abdul tidak melawan secara frontal. Ia mengubah forum
menjadi halaqah keluarga. Para peserta datang tidak dengan baju koko dan
sarung, tapi dengan pakaian santai, bahkan kadang sambil membawa makanan dari rumah.
Diskusi tetap berlangsung, tapi dibalut suasana kekeluargaan.
Mereka juga mulai menulis. Satu per satu peserta forum
menulis opini di buletin pondok, atau membuat risalah-risalah kecil yang
disebar di kalangan santri. Temanya macam-macam: Ilmu dan Adab, Kaderisasi atau
Klientelisme?, Santri untuk Semua, hingga Memutus Rantai Kultus Senioritas.
Mereka tidak menyerang siapa pun. Tapi isi tulisan-tulisan
itu menggerogoti akar sistem kaderisasi elitis di pondok.
0 Komentar