Hantu Tambun di Gedung Sam Rat (4): Kenangan Yang Kembali Hidup




Kenangan Yang Kembali Hidup

Selepas isya, setelah Istrinya tidur dan rumah sunyi, Abdul masuk ke kamar, membuka koper tua berisi berkas dan buku-buku lama. Di dalamnya ada foto hitam putih, sobek di sudut. Foto itu menampilkan dirinya bersama seorang sahabat karib: Taufik, almarhum. Sama-sama aktivis, sama-sama pernah menginap di masjid kampus demi mengikuti pelatihan kaderisasi nasional.

Taufik adalah sahabat seperjuangan yang dulu mengajarkannya pentingnya menyemai ilmu tanpa pamrih. Namun jalan hidup berkata lain, Taufik wafat muda karena kecelakaan dalam perjalanan menuju forum nasional kaderisasi.

Abdul mengusap foto itu dengan jari gemetar. Air matanya jatuh perlahan.

“Jika engkau masih hidup, Fik, mungkin kita bisa mengubah banyak hal di pondok ini,” gumamnya lirih.

Dari Taufik-lah, Abdul belajar bahwa kaderisasi bukan tentang menjaring yang paling pintar, tapi yang paling gigih belajar. Bukan yang paling banyak dikenal, tapi yang paling tekun mendengar.

Beberapa hari terakhir, suhu di dalam pesantren mulai memanas. Terutama di antara para tenaga pengajar dan pengurus pesantren muda. Mereka diam-diam membentuk kelompok yang punya pendekatan berbeda terhadap kaderisasi.

Jika Abdul percaya pada pendekatan asuhan, maka kelompok baru ini lebih percaya pada pendekatan seleksi alam. Mereka menganggap kader yang baik akan muncul sendiri, tak perlu terlalu dirawat.

“Biarkan mereka bersaing bebas,” kata Ustaz M. Ridwan dalam satu rapat, “Kalau kita terus rangkul semua, kita justru melahirkan kader yang manja.”

Abdul hanya diam kala itu. Tapi di dalam hatinya bergolak. Ia tahu, jika metode itu diterapkan, maka kader dari latar belakang lemah ekonomi, atau yang pemalu, atau yang tidak memiliki “koneksi elite” di pesantren, akan tenggelam dan tertinggal.

Konflik mulai terasa saat daftar calon ketua organisasi santri diumumkan. Nama-nama yang masuk hanya dari satu “barisan”—yang dekat dengan kelompok baru itu. Kader-kader Abdul seperti Robin, Hamzah, dan Rudi, tersingkir meski memiliki kualitas dan loyalitas.

Beberapa santri datang padanya diam-diam, mengeluh, “Kenapa kita tidak dipilih, Kak Abdul? Apa karena kita bukan dari keluarga kyai?”

Abdul menenangkan mereka, tapi hatinya gusar. Ia merasa benih ketidakadilan mulai tumbuh di tanah yang selama ini ia rawat dengan penuh cinta.

Suatu malam, setelah kelas tafsir usai, Abdul menyendiri di perpustakaan. Ia membuka kitab Adab al-Muridin karya Syekh Abu Najib as-Suhrawardi. Di sana tertulis satu kalimat yang menohok: "Barang siapa menyemai tanpa niat ikhlas, ia akan panen dengan kecemasan."

Abdul merasa ditampar.

“Apakah aku sendiri masih ikhlas?” tanyanya dalam hati.

Ia tahu, konflik ini bukan tentang kalah atau menang, tapi tentang masa depan sebuah sistem pendidikan. Ia sadar, jika ia diam, sistem kaderisasi di pesantren itu bisa berubah menjadi arisan kuasa.

Namun jika ia bicara, ia akan berhadapan dengan tokoh-tokoh muda yang tengah naik daun. Beberapa di antara mereka bahkan dekat dengan pimpinan pondok. Posisi Abdul rapuh.

Rencana Abdul

Esoknya, Abdul membuat keputusan. Ia memanggil Robin dan beberapa kader muda lainnya ke rumah.

Di ruang tamu sempit itu, mereka duduk bersila mengelilingi meja kecil yang di atasnya hanya ada kue pisang goreng dan kopi hitam.

“Kita tidak akan membalas dengan cara mereka,” ujar Abdul tegas, “Tapi kita akan tetap bergerak. Perlahan, tapi pasti. Buat forum belajar sendiri, buat ruang diskusi sendiri. Jika pintu resmi ditutup, kita buka jendela kecil.”

Robin menatap Abdul dengan mata berbinar. “Kita siap, Kak.”

Abdul tahu, ini bukan perang. Ini adalah jihad sunyi—perjuangan menjaga agar ilmu tak jadi alat kuasa. Ia tidak mencari kemenangan besar. Ia hanya ingin memastikan bahwa setitik cahaya tetap menyala di lorong-lorong sunyi pondok itu.

Forum bawah tanah: "majelis malam jumat"

Diadakan tiap malam Jumat ba’da Isya, di rumah Abdul yang terletak di lorong belakang pasar lama. Hanya ada karpet tipis, dua termos air panas, gelas-gelas bening, dan beberapa kitab klasik warisan Taufik. Tidak ada mikrofon, tidak ada baliho besar bertuliskan “kaderisasi progresif” atau semacamnya. Semua berlangsung dalam diam, tanpa selebaran, tanpa pengeras suara.

Forum itu kemudian mereka namakan Majelis Malam Jumat. Bagi orang luar, itu terdengar seperti majelis wirid biasa. Tapi sesungguhnya, di sanalah berlangsung diskusi-diskusi tajam tentang ilmu, sejarah pergerakan, adab santri, dan filosofi kaderisasi.

Robin, Hamzah, dan Rudi jadi motor penggeraknya. Mereka merekrut pelan-pelan kader-kader muda yang selama ini terpinggirkan dari struktur resmi. Yang pemalu, yang pendiam, yang tak punya "garis keturunan elite"—semuanya disambut.

Abdul membimbing mereka tanpa banyak suara. Ia lebih suka melempar pertanyaan daripada memberi jawaban. Ia ingin mereka berpikir, bukan sekadar patuh.

“Jangan jadikan senior sebagai tongkat. Jadikan ilmu sebagai cahaya.”

Kalimat itu jadi semacam prinsip dalam forum itu.

Awalnya, forum itu dianggap seperti pengajian pinggiran. Tapi perlahan-lahan, hasilnya mulai terlihat.

Santri-santri yang ikut Majelis Malam Jumat menunjukkan kecemerlangan dalam forum-forum publik. Mereka tidak tampil mencolok, tapi ketika bicara, isinya dalam. Mereka mulai mengungguli kader-kader dari forum resmi dalam lomba debat internal, penulisan makalah, bahkan ujian hafalan.

Suatu ketika, dalam Lailatul Ilmi, sebuah malam ilmiah rutin di pondok, Robin membacakan makalah tentang “Etika Kaderisasi dalam Tradisi Sufistik”. Semua terdiam. Bahkan pimpinan pondok, Kiai Sahal, yang jarang memuji, mengangguk dan berkata:

“Ini tulisan dari hati. Tidak dibuat untuk menang, tapi untuk memperbaiki.”

Sejak itu, suara-suara mulai beredar. “Siapa yang bimbing Robin?” “Kenapa santri-santri Abdul justru lebih bersinar padahal tidak ikut forum resmi?”

Itulah awal kegelisahan para pengurus kaderisasi resmi. Mereka merasa tersaingi. Terancam.

Beberapa minggu setelah peristiwa Lailatul Ilmi, datanglah surat edaran dari Dewan Pengasuh Pondok:

“Segala bentuk forum pembinaan santri di luar struktur resmi harus dilaporkan dan mendapat izin.”

Jelas maksudnya mengarah ke Majelis Malam Jumat.

Namun Abdul tidak melawan secara frontal. Ia mengubah forum menjadi halaqah keluarga. Para peserta datang tidak dengan baju koko dan sarung, tapi dengan pakaian santai, bahkan kadang sambil membawa makanan dari rumah. Diskusi tetap berlangsung, tapi dibalut suasana kekeluargaan.

Mereka juga mulai menulis. Satu per satu peserta forum menulis opini di buletin pondok, atau membuat risalah-risalah kecil yang disebar di kalangan santri. Temanya macam-macam: Ilmu dan Adab, Kaderisasi atau Klientelisme?, Santri untuk Semua, hingga Memutus Rantai Kultus Senioritas.

Mereka tidak menyerang siapa pun. Tapi isi tulisan-tulisan itu menggerogoti akar sistem kaderisasi elitis di pondok.

Posting Komentar

0 Komentar