Hantu Tambun di Gedung Sam Rat (5) : Gelombang Perubahan




Gelombang Perubahan

Puncaknya terjadi dalam Musyawarah Kader Tahunan. Untuk pertama kalinya, nama-nama dari luar kelompok dominan masuk dalam daftar calon ketua organisasi santri. Salah satunya adalah Robin.

Sempat terjadi ketegangan. Beberapa pengurus resmi mencoba menggugurkan pencalonannya dengan alasan administrasi. Tapi para guru pembina melihat kualitas Robin yang tak terbantahkan.

Ketika pemilihan tiba, suara mayoritas justru jatuh ke Robin. Ia menang tipis, tapi simbolis. Forum kecil Abdul akhirnya melahirkan pemimpin.

Itu jadi momen penting. Sistem yang semula kaku mulai membuka celah. Forum resmi yang dulu eksklusif, kini mulai menyapa lebih banyak kalangan. Kaderisasi mulai kembali pada akarnya: pendidikan, bukan perebutan kuasa.

Usai pemilihan itu, Abdul pelan-pelan menarik diri dari panggung depan. Ia tahu perannya sudah selesai. Ia tak ingin jadi tokoh yang dielu-elukan.

Dalam satu pertemuan terakhir Majelis Malam Jumat, ia berkata lirih:

“Perjuangan ini bukan tentang menang. Tapi tentang memastikan bahwa ilmu tetap bisa tumbuh, meski dalam diam.”

Para kadernya menatap Abdul dengan mata berkaca-kaca.

Robin kini jadi pemimpin organisasi. Hamzah jadi penulis tetap di buletin pondok. Rudi membuka kelas tahsin mandiri untuk santri-santri baru.

Forum kecil itu telah menjelma menjadi arus perubahan. Bukan karena kuasa, tapi karena ketulusan, kesabaran, dan cahaya ilmu yang tak pernah padam.

Menjadi pemimpin bukan hal yang diimpikan Robin.

Ia hanya ingin belajar, membaca, dan menimba makna dari nasihat-nasihat Abdul. Tapi ketika suara terbanyak itu jatuh padanya, ia tahu menolak adalah bentuk lari dari tanggung jawab.

Hari-hari awal kepemimpinannya dipenuhi pujian dan harapan. Tapi itu pula yang menjadi beban.

Robin, anak dari keluarga sederhana di Bone Bolango, bukanlah tipikal orator atau pengatur strategi. Ia introvert, tak pandai menyembunyikan perasaan, dan canggung ketika bicara di forum formal. Ia unggul dalam pemahaman dan kepekaan, tapi minim ambisi. Itulah yang justru membuatnya dipilih.

Namun di balik senyum dan ketenangannya, Robin mulai goyah.

Ia merasa diawasi. Setiap keputusan kecilnya—dari pemilihan koordinator divisi hingga tema pengajian pekanan—ditekan dari dua sisi: kelompok progresif yang menginginkan perubahan radikal, dan kelompok konservatif lama yang ingin semuanya kembali seperti dulu.

Kelompok elit lama tidak tinggal diam. Meski telah kalah secara formal, jaringan mereka masih kuat: mulai dari pengurus dapur umum, penjaga asrama, hingga beberapa guru pengasuh. Mereka bergerak senyap.

Mereka menyebar isu bahwa kepemimpinan Robin adalah hasil infiltrasi kaum “tak bertradisi”.

Bahwa Majelis Malam Jumat adalah aliran sempalan yang ingin merusak sistem pondok. Bahwa Robin dipengaruhi oleh bacaan-bacaan kiri, dan bahwa forum itu tak lebih dari "sarang santri malas mengaji".

Bahkan ada yang menghidupkan kembali istilah lama: “kader Abu-Abu”, merujuk pada mereka yang tak tunduk pada warna resmi organisasi.

Pamflet-pamflet misterius muncul di mading, bertuliskan:

"Pondok ini berdiri di atas adab, bukan ambisi."
"Jangan nodai tradisi dengan idealisme yang mematikan hormat!"

Robin tidak menjawab tuduhan-tuduhan itu. Tapi ia mulai lelah. Beberapa malam, ia diam di kamar. Menulis tapi tak selesai. Mengaji tapi pikirannya tak khusyuk.

Hingga suatu malam, ia kembali ke rumah Abdul. Tak bicara banyak. Hanya duduk lama di beranda, memandangi langit yang tanpa bintang.

“Aku bukan seperti Kak Abdul. Aku tak kuat jadi pusat segala sorotan.”

Abdul menatapnya, lalu berkata:

“Justru karena kau merasa tak layak, maka kau layak. Kekuasaan seharusnya menghampiri orang yang tak mencarinya.”

Robin akhirnya memilih jalan sunyi. Ia tidak membalas fitnah dengan selebaran. Tidak pula mengumpulkan dukungan untuk melawan balik. Ia memperkuat basis kaderisasi lewat pendekatan ilmu.

Ia membuka kelas tafsir kecil bagi santri baru. Menghidupkan kembali diskusi lintas kitab, dari Ihya Ulumuddin hingga Qawaid Fiqhiyah. Ia mengajak santri untuk menulis, bukan berteriak. Untuk mendengar sebelum menuduh.

Sementara kelompok elit lama sibuk memanipulasi struktur, Robin dan timnya sibuk memperdalam substansi. Lambat laun, para santri mulai bisa membedakan: mana yang bicara dari panggung, mana yang bicara dari hati.

Robin tak bisa memuaskan semua pihak. Tapi ia berhasil mengubah arah angin. Kepemimpinan bukan lagi soal loyalitas buta, tapi kualitas dan kesantunan berpikir.

LUKA YANG TERTINGGAL

Meski berhasil membawa perubahan, Robin tetap meninggalkan pondok dengan luka.

Hubungannya dengan beberapa guru renggang. Ia pernah dipanggil secara tertutup dan dituduh "mengotori adab" karena mengizinkan diskusi filsafat terbuka.

Beberapa sahabatnya menjauh karena takut “terseret konflik”.

Namun bagi Robin, luka itu adalah harga dari pilihan. Ia paham, jalan sunyi memang tak menjanjikan kenyamanan. Tapi dari situ pula lahir keteguhan.

Di catatannya yang ia tinggalkan untuk adik-adik kelasnya, tertulis:

“Jangan tunggu sistem memberi ruang. Bangunlah ruangmu sendiri, asal jangan menyakiti. Lawan dengan ilmu. Guncang dengan kebaikan. Perubahan tak harus lantang. Ia bisa dimulai dengan keteguhan diam.”

Abdul bukan lahir dari keluarga kaya.

Ia tumbuh di perkampungan pesisir, anak keempat dari enam bersaudara. Ayahnya nelayan, ibunya penjual sayur keliling. Di rumah yang berdinding tripleks, Abdul kecil membaca buku-buku peninggalan kakaknya, yang dulu nyantri lalu berhenti karena tak sanggup bayar syahriyah.

Abdul belajar mengaji dari guru kampung, lalu dikirim ke pesantren dengan modal nekat. Ia dikenal pendiam, kurus, dan sering dipanggil "santri lapar" karena jarang ikut makan bersama. Bukan karena tak mau, tapi malu tak bisa iuran.

Ia bukan yang menonjol dalam forum resmi. Tapi ia hafal di luar kepala pengantar ushul fiqh yang rumit, dan sering diminta jadi perakit naskah untuk para kandidat ketua OSIS maupun lomba-lomba antarpesantren.

Titik baliknya terjadi di kelas tiga tsanawiyah, ketika salah satu senior mempermalukannya di depan umum karena tak punya sandal saat berangkat subuh.

“Kau mau jadi ulama? Tapi sendal saja tak sanggup punya!”

Hari itu Abdul menangis. Tapi bukan karena hinaan. Ia menangis karena sadar: sistem senioritas yang ada tak mendidik, tapi mempermalukan. Ia tak ingin, kelak, ada santri seperti dirinya yang merasa kecil hanya karena tak punya akses ekonomi atau jejaring.

Sejak saat itu, ia pelan-pelan membangun jaringan tandingan. Ia kumpulkan buku-buku dari alumni yang pulang, membuka kelas tafsir privat di kamar kosong bekas gudang. Di malam Jumat, setelah yasinan resmi selesai, ia duduk melingkar dengan 4-5 santri muda. Membahas makna “rahmah” dalam Al-Qur’an, atau riwayat-riwayat hidup ulama yang memilih sunyi ketimbang sorotan.

Dari sinilah Majelis Malam Jumat lahir.
Bukan untuk menyaingi struktur resmi, tapi untuk merawat santri yang terlupakan: santri miskin, santri pemalu, santri yang tak populer, tapi haus ilmu.

Setelah lebih dari lima tahun berdiri diam-diam di pondok asal, Majelis Malam Jumat mulai menyebar ke pesantren lain. Itu bukan karena propaganda, tapi karena para alumni seperti Robin, Henci, dan rekan-rekan mereka menyebarkannya dengan gaya masing-masing.

Beberapa hal yang membuat Majelis Malam Jumat tumbuh pesat:

Formatnya cair dan bebas elitisme. Tak ada syarat menjadi "kader", cukup duduk, membaca, dan berdiskusi. Semua orang adalah penanya, semua bisa memberi pandangan.

Bahannya bukan hanya kitab klasik, tapi juga tafsir kontemporer, buku filsafat, dan bahkan puisi.
Suatu kali, di salah satu cabang Majelis di Parepare, tema kajian adalah “Tasawuf dan Puisi Sapardi”.

Ia lahir dari keresahan, bukan dari keinginan membentuk geng.
Ini membuatnya lekat dengan nurani, bukan gengsi.

Di pesantren lain, Majelis ini memakai nama berbeda-beda: Ruang Qalam, Forum Abu Nawas, atau Lingkar Hikmah. Tapi semua merujuk pada semangat yang sama: santri sebagai pencari makna, bukan sekadar pelafal.

BENTUK KADERISASI TANPA ATRIBUT

Abdul tak pernah memberi struktur formal pada Majelis ini. Ia menolak ada badge, seragam, atau istilah “angkatan”. Ia tahu, semua itu bisa jadi jebakan ego.

“Yang mau ikut, ikut. Yang tak mau, jangan dipaksa. Kita bukan rekrutmen. Kita ini jalan sunyi.”

Namun karena itulah justru kaderisasinya mengakar kuat. Tak ada rasa takut tertinggal karena tidak "diangkat". Siapa yang hadir dan belajar, ia diterima. Siapa yang pergi, tetap didoakan.

Para alumni Majelis ini menyebar ke berbagai tempat: kampus Islam, organisasi rakyat, hingga lembaga-lembaga kajian. Di beberapa tempat, mereka diam-diam jadi rujukan pemikiran—bukan karena pengaruh struktural, tapi karena keluasan pandangan dan kerendahan hati.

KEMBALI KE ASAL

Pada suatu malam Jumat, beberapa tahun setelah Robin lulus, ia kembali ke pondok.

Bersama beberapa alumni, mereka mendatangi kamar kecil bekas gudang tempat Abdul dulu memulai segalanya. Mereka membersihkan ruangan itu. Menyusun kembali kitab-kitab, dan mengganti lampu yang sudah padam.

Abdul sudah jarang muncul. Kini ia lebih banyak tinggal di kampung halamannya, merawat ibunya yang mulai pikun. Tapi pesan-pesannya tetap hidup dalam catatan, rekaman suara, dan teladan para muridnya.

Sebelum pulang, Robin menempel satu kalimat di dinding kamar kecil itu:

“Jangan takut tak dikenal manusia, takutlah jika ilmu kita tak dikenal langit.”

Sore yang redup. Sebuah undangan berkop resmi beredar ke sejumlah pesantren besar dan tokoh-tokoh ormas Islam di kota itu. Lokasi: Gedung Sam Ratulangi. Isinya: “Musyawarah Ulama dan Pimpinan Pesantren se-Kota untuk Menyusun Platform Kaderisasi Santri Nasional.”

Forum itu diinisiasi oleh tokoh-tokoh senior dari jaringan Islam tradisional, sebagian berafiliasi ke partai politik, sebagian pengelola pesantren tua yang dulu menolak keberadaan Majelis Malam Jumat. Beberapa di antara mereka adalah orang yang dulu mengabaikan atau menghalangi inisiatif kaderisasi dari bawah seperti yang dirintis Abdul.

Robin diundang. Tapi ia tak langsung menjawab. Ia berkonsultasi dengan rekan-rekannya, termasuk Henci dan dua alumni Majelis yang kini menjadi dosen dan penulis aktif. Mereka menaruh curiga.

“Kenapa harus di Gedung Sam Rat lagi? Mereka kan tahu gedung itu sekarang jadi tempat kita berdiskusi malam Jumat,” ucap Henci kesal.

“Mereka ingin mengambil alih ruang itu. Ini bukan hanya soal tempat. Ini tentang simbol. Tentang siapa yang punya otoritas,” tambah Robin.

Beberapa orang menyarankan untuk membiarkan saja. Tapi Robin berkata pelan:

“Kita harus hadir. Tapi bukan untuk menantang. Kita hadir untuk menyaksikan.”

Posting Komentar

0 Komentar