Hantu Tambun Kembali:
Tak Lagi Berbentuk Seram
Hari H. Gedung Sam Ratulangi penuh. Para tokoh memakai jas
panjang, sarung mahal, dan gamis berlapis parfum. Para santri yang dibawa dari
pesantren masing-masing duduk rapi, diarahkan untuk tepuk tangan saat tokoh
tertentu berbicara.
Robin duduk di kursi barisan belakang. Matanya mengamati.
Sorot lampu ruangan itu tampak redup, meski semua lampu menyala. Seolah ada
kabut tipis melingkupi.
Seorang ulama tua berbicara:
“Gedung ini dulunya tempat kita mendidik santri nasional.
Jangan sampai dikotori oleh gerakan tanpa sanad yang jelas. Kaderisasi harus
dari kita, para pewaris!”
Kata-kata itu menyentak. Tapi Robin tetap diam. Ia tahu: itu
ditujukan padanya dan jaringan Majelis.
Lalu satu per satu pembicara naik mimbar, semuanya bicara
soal “kontrol”, “struktur”, “konsolidasi kader”. Tapi suara mereka pelan-pelan
terdengar seperti dengungan lebah, lalu seperti gema di dalam sumur.
Kemudian terjadi sesuatu.
Mikrofon berbunyi nyaring. Layar presentasi berkedip-kedip.
Sebuah cahaya redup turun dari langit-langit, lalu menyebar perlahan seperti
kabut.
Beberapa santri yang peka mulai merinding. Di sisi kiri
panggung, muncul bayangan gelap seperti sosok tambun—tapi bukan hantu
mengerikan seperti sebelumnya.
Sosok itu mengenakan jas formal. Berkacamata. Senyumnya
lebar. Tapi tatapannya kosong. Ia berdiri di samping para pembicara. Tak ada
yang melihatnya secara langsung, tapi mereka mulai terbata-bata.
“Kita harus… eh… kaderisasi berbasis… eeh…”
Suara mereka gemetar. Mulut mereka kering.
Robin memejamkan mata. Ia tahu: Tambun telah kembali. Tapi
kali ini bukan sebagai hantu. Ia muncul sebagai simbol kekuasaan yang kosong,
sebagai roh dari sistem yang telah membusuk.
Tambun tak perlu menakuti dengan suara melolong. Ia kini berbicara lewat presentasi PowerPoint, lewat proposal kaderisasi nasional, lewat aroma parfum mahal, dan tekanan untuk mengikuti tanpa bertanya.
Saat moderator mempersilakan Robin memberi tanggapan, semua
mata tertuju padanya. Ia berjalan pelan ke podium.
“Terima kasih. Saya ingin bicara bukan sebagai pimpinan
forum mana pun. Saya hanya ingin berbagi pengalaman.”
Robin tak menyerang. Ia justru bercerita tentang bagaimana
ia dulu diajak Abdul membaca tafsir Quraish Shihab, bagaimana mereka berdiskusi
sambil menjemur sarung, dan bagaimana Majelis Malam Jumat berdiri bukan untuk
melawan siapa pun, tapi untuk memberi ruang bagi yang tak punya suara.
“Bila gedung ini ingin dipakai kembali oleh banyak pihak,
silakan. Tapi jangan jadikan tempat ini sekadar panggung presentasi. Biarkan
ruangan ini tetap punya ruang sunyi. Untuk mereka yang ingin belajar bukan demi
tampil, tapi demi memahami.”
Beberapa hadirin menunduk. Tak ada tepuk tangan. Tapi suasana hening. Hening yang menembus.
Malamnya, ketika semua orang pulang, Robin kembali duduk di
kursi paling belakang. Ia menyalakan lampu kecil di pojok, membuka mushaf kecil
yang sudah lusuh.
Ia mendengar pintu berderit. Sosok Tambun berdiri di ambang
pintu. Tapi kini ia tak menyeramkan. Ia hanya sosok gelap tanpa arah.
Robin menatapnya, lalu berkata pelan:
“Kau bisa tinggal di sini. Tapi jangan kau ganggu yang
sedang mencari cahaya.”
Tambun tak menjawab. Ia perlahan menyatu dengan dinding. Menjadi bayangan di balik panggung.
Minggu-minggu setelah pertemuan besar di gedung Sam
Ratulangi, Robin menyadari satu hal: Tambun tidak lagi menghantui lorong-lorong
tua atau memecahkan piring-piring di dapur. Ia tak muncul sebagai jeritan di
malam hari atau bayangan di pojok gelap. Tidak.
Tambun telah masuk ke dalam sistem.
Di beberapa pesantren, pengurus yang dulu progresif mulai
membentuk “dewan kaderisasi nasional” yang struktur dan sistem kerjanya meniru
ormas-ormas besar. Mereka bicara kaderisasi, tapi yang mereka lakukan adalah
menciptakan kelas-kelas loyalis. Mereka bicara sanad keilmuan, tapi yang
ditekan adalah independensi berpikir. Mereka bicara akhlak, tapi yang mereka
minta adalah kepatuhan membabi buta.
“Ini bukan pesantren lagi. Ini seperti kantor birokrasi yang
dibungkus sorban,” ujar Henci sinis saat pulang dari sebuah undangan di
pesantren besar.
Kepala pesantren-pesantren mulai saling menekan. Siapa yang
tidak ikut forum nasional dianggap melawan. Santri yang aktif di Majelis Malam
Jumat dilabeli “tidak berkomitmen terhadap sistem.”
Di salah satu pesantren di perbukitan, Robin melihat plang
bertuliskan:
“Zona Bebas Tambun – Kawasan Anti Kaderisasi Palsu”
Plang itu dicabut esok harinya oleh pengurus pusat pesantren.
Mereka bilang: “Jangan main-main dengan istilah Tambun, ini bisa dianggap
mengganggu stabilitas.”
Robin sadar: Tambun kini telah menjadi metafora sistemik —sebuah kekuasaan yang berwajah religius tapi mematikan kebebasan dan inisiatif dari bawah.
Robin tidak ingin Majelis Malam Jumat bernasib sama. Ia
mengumpulkan para inisiator, alumni, santri, dan simpatisan di rumah Abdul.
Diskusi panjang terjadi.
Abdul duduk tenang, sesekali tersenyum. Di usia senjanya, ia
hanya berpesan:
“Jika kalian buat struktur, biar seperti sungai. Ia harus
punya arah, tapi jangan dipaksa dalam beton. Biarkan ia mengalir, dan menembus
celah-celah batu.”
Robin mengusulkan:
1. Struktur Jaringan, Bukan Hirarki
Majelis dibentuk ulang sebagai jaringan terbuka antar
komunitas. Tidak ada ketua umum. Hanya “pengemban amanah mingguan” yang
bergilir. Tiap komunitas bebas mengatur diskusinya sendiri, tapi terhubung
melalui forum rotasi sebulan sekali.
2. Kurikulum yang Tumbuh dari Bawah
Alih-alih silabus tetap, setiap Majelis membuat kajian lokal
berdasarkan kebutuhan dan keresahan anggotanya. Tema seperti “Santri dalam
Sistem Politik,” “Islam dan Keadilan Ekologi,” hingga “Kritik Terhadap Tradisi
Kosong” menjadi bagian dari diskursus mereka.
3. Ritual Sunyi
Setiap Majelis diakhiri dengan ritual sunyi: duduk hening
tanpa kata selama lima menit. Untuk mengingatkan bahwa ilmu dan kekuasaan tak boleh
mencabut keheningan batin.
SERANGAN BALIK DARI STRUKTUR TAMBUN
Minggu-minggu berikutnya, mulai muncul isu dan tekanan:
Laporan resmi dari ormas besar menyatakan bahwa kegiatan
Majelis Malam Jumat “tidak sejalan dengan garis besar perjuangan umat.”
Beberapa santri diintimidasi, ditarik dari forum karena
dianggap “mengganggu loyalitas.”
Beberapa alumni Majelis ditolak jadi dosen di perguruan
tinggi agama karena dituding “terlalu kiri” atau “tak bermazhab.”
Tapi, Majelis sudah menyebar. Di Makassar, di Yogyakarta, di
Malang, hingga Aceh. Mereka memakai nama berbeda—Majelis Lorong, Malam Daurah,
Komunitas Tafsir Sunyi—tapi semangatnya sama.
Tambun semakin gelisah. Ia mencari wajah-wajah baru untuk
dimasuki. Tapi jaringan yang cair membuatnya sulit menguasai.
Majelis bukan melawan secara frontal. Mereka membiarkan sistem lama tetap berjalan. Tapi mereka menciptakan sistem tandingan yang lebih lentur, lebih sunyi, dan lebih dalam.
Abdul wafat dua bulan setelah restrukturisasi Majelis. Ia
dimakamkan tanpa protokol besar. Tak ada karangan bunga dari pejabat. Tapi
ratusan anak muda dari berbagai pesantren datang diam-diam. Mereka meletakkan
satu benda di atas pusara:
Mushaf kecil
Buku kecil tafsir Al-Azhar
Sarung tua
Korek api
Dan secarik kertas bertuliskan:
“Untuk Abdul, yang mengajari kami bahwa kaderisasi sejati dimulai dari keheningan, bukan mikrofon.”
Beberapa bulan setelah wafatnya Abdul, Robin menerima
undangan dari sebuah jaringan pesantren alternatif di Maroko, Turki, dan
Bosnia. Mereka mendengar tentang Majelis Malam Jumat dan ingin mengetahui lebih
jauh bagaimana sebuah gerakan santri bisa tumbuh tanpa struktur formal, tapi
tetap membentuk basis pemikiran dan spiritualitas yang dalam.
Di Sarajevo, Robin berdiri di reruntuhan masjid tua
peninggalan Utsmani yang pernah dibom saat perang Balkan. Di sinilah ia bicara
soal keheningan sebagai ruang pembebasan, bukan sebagai tanda ketakutan. Di
Fez, ia berdiskusi dengan murid-murid Tarekat Tijaniyah tentang bagaimana
santri bisa mendialogkan tasawuf dengan realitas politik tanpa kehilangan
ruhnya. Di Istanbul, ia ditanyai: “Apakah Majelis Malam Jumat adalah tarekat?”
Robin menjawab:
“Bukan. Tapi seperti tarekat, ia berangkat dari cinta dan
disiplin batin. Bedanya, Majelis kami tidak membaiat, tidak memberi gelar,
tidak menjual karisma.”
Majelis mulai ditiru dengan nama-nama lokal:
Majlis Kamar Sunyi di Bosnia
Halaqah Juma’ah Nuraniyah di Maroko
Forum Jumat Rohani di Pakistan
Majelis bukan lagi milik Robin. Ia menjadi milik siapa saja yang haus ilmu, tapi tak ingin terjebak dalam ritual kosong dan pengkultusan.
Namun dari balik keberhasilan itu, Tambun belum mati. Ia
tidak muncul lagi sebagai jeritan atau ilusi. Kali ini ia menyusup sebagai
bentuk kooptasi paling berbahaya: spiritualisasi palsu.
Beberapa eks-pemimpin pesantren yang dulu menolak Majelis
kini justru mengklaim sebagai "pembina spiritual" jaringan tersebut.
Mereka menciptakan istilah-istilah baru: “Santri Nurani,” “Maqam Sinergi Ulul
Albab,” “Pembimbing Ruhani Nasional.” Mereka memakai istilah sufistik tapi
mengisi forum dengan retorika penguasaan wacana, pengendalian simbol, dan upaya
menyeragamkan pengalaman keagamaan.
Tambun menjelma sebagai spiritual manager. Ia datang dengan
jubah wangi, menawarkan “standarisasi rohani” dan mengklaim sebagai penerus ruh
Majelis. Bahkan, dalam forum resmi pesantren nasional, seorang tokoh berkata:
“Majelis yang benar harus terdaftar. Harus ada sanad
keilmuan dan sertifikasi spiritual. Kita tidak bisa biarkan forum liar tumbuh
begitu saja!”
Robin sadar, ini lebih berbahaya dari teriakan hantu. Ini
kolonialisasi ruh. Ini "pendisiplinan" hening.
Dalam diskusi internal Majelis, Robin berkata pelan:
“Kalau kita tidak hati-hati, Majelis akan menjadi korporasi batin. Dikelola oleh orang-orang yang tidak pernah merasakan sunyi.”
Suatu malam di sebuah penginapan kecil di Padang Panjang,
Robin menerima tamu tak terduga: KH. Asnawi Al-Buthory, tokoh lama yang dulu
ikut menandatangani maklumat pembubaran Majelis Malam Jumat tahun-tahun
sebelumnya. Dulu, ia mencap Majelis sebagai “forum liar tanpa sanad,” tapi
malam itu ia datang sendiri, tanpa pengawal, tanpa keangkuhan.
Wajahnya sudah tua. Napasnya pendek. Ia mengaku banyak hal.
Ia bicara tentang penyesalan, tentang kesunyian yang tak ia pahami saat muda,
dan tentang Tambun yang kini menghantuinya tiap malam—bukan sebagai bayangan,
tapi sebagai rasa kosong, kehilangan makna, dan kehilangan kepercayaan dari
murid-muridnya.
“Robin,” katanya lirih. “Aku ingin mendirikan Majelis
Tambun.”
Robin diam.
“Jangan salah paham. Bukan sebagai bentuk balas dendam. Tapi
sebagai tempat bagi para eks-elit seperti kami yang dulu salah langkah. Kami
juga ingin kembali belajar.”
Robin tak langsung menjawab. Ia hanya menyodorkan secarik
kertas bertuliskan syarat tunggal:
“Setiap anggota Majelis Tambun harus membaca ulang buku
kecil ‘Menjadi Santri Tanpa Takhta’ karya Abdul setiap malam Jumat sebelum
forum dimulai.”
Asnawi tertunduk. Ia mencium tangan Robin.
Beberapa bulan kemudian, Majelis Tambun terbentuk. Bukan
tandingan Majelis Malam Jumat, tapi cabang khusus untuk mereka yang pernah
salah jalan, pernah menjadi Tambun, dan kini ingin bertobat dalam sunyi. Forum
itu diikuti para mantan petinggi, mantan ketua-ketua lembaga, dan tokoh-tokoh
yang dulu percaya bahwa kekuasaan adalah jalan dakwah.
Di situ, tak ada ceramah. Hanya pengakuan, pengampunan, dan doa.
Majelis Malam Jumat kini hidup di banyak tempat:
Di gang-gang kecil Jakarta,
Di pojok masjid desa,
Di ruang baca mahasiswa,
Di ruang sunyi mantan-mantan pejabat yang ingin kembali jadi
manusia biasa.
Tambun belum sepenuhnya lenyap. Tapi ia kehilangan bentuk,
kehilangan kuasa. Karena ia tak mampu hidup dalam ruang yang cair, hening, dan
penuh cinta.
Dan Robin tahu, seperti kata Abdul dahulu:
“Gerakan yang tak punya kuburan, bukanlah gerakan. Tapi gerakan yang tak punya sunyi, hanya mesin tanpa jiwa.”
Namanya Zakwan Adzra, lulusan program doktoral dari
universitas di Prancis, pernah menulis buku berjudul Spiritualitas dalam Zaman
Spektakel. Wawasannya luas, dikutip banyak kalangan muda, dan beberapa kali
tampil di forum internasional sebagai “pengamat Islam progresif.” Ia datang
dengan tas selempang kulit dan wajah percaya diri.
Robin mengenalnya sekilas dulu sebagai junior yang jarang
muncul di forum Majelis, tapi aktif menulis opini yang—walau bernas—selalu
terasa seperti pidato akademik.
“Sudah saatnya Majelis naik kelas,” kata Zakwan saat pertama
kali datang dalam diskusi Majelis inti. “Kita tidak boleh selamanya berputar
pada lokalitas sunyi. Dunia sedang menunggu teori Majelis. Kita butuh
manifestonya!”
Para peserta yang terbiasa dengan gaya tutur sunyi dan
lambat terdiam. Robin mengangguk pelan, “Silakan lanjut.”
Zakwan bicara selama tiga puluh menit: soal teologi
kesunyian dalam relasi kapitalisme global, kritik terhadap spiritualitas
populis, usulan membuat Majelis Index, hingga pendirian lembaga riset bernama
“Tuai Institute”—yang menurutnya akan merebut kembali istilah Tambun dari
mitologi “palsu dan mistik.”
Beberapa senior mengangguk—bukan karena paham, tapi karena
terdengar canggih. Tapi ketika forum dibuka untuk tanggapan, seorang santri
muda bernama Rifa’i hanya bertanya lirih:
“Bang, apakah abang pernah ikut Majelis dari awal, yang
benar-benar dari pinggir jalan, dari ruang kosong?”
Zakwan terdiam.
0 Komentar