Hantu Tambun di Gedung Sam Rat (6) : Tak Lagi Berbentuk Seram



Hantu Tambun Kembali: Tak Lagi Berbentuk Seram

Hari H. Gedung Sam Ratulangi penuh. Para tokoh memakai jas panjang, sarung mahal, dan gamis berlapis parfum. Para santri yang dibawa dari pesantren masing-masing duduk rapi, diarahkan untuk tepuk tangan saat tokoh tertentu berbicara.

Robin duduk di kursi barisan belakang. Matanya mengamati. Sorot lampu ruangan itu tampak redup, meski semua lampu menyala. Seolah ada kabut tipis melingkupi.

Seorang ulama tua berbicara:

“Gedung ini dulunya tempat kita mendidik santri nasional. Jangan sampai dikotori oleh gerakan tanpa sanad yang jelas. Kaderisasi harus dari kita, para pewaris!”

Kata-kata itu menyentak. Tapi Robin tetap diam. Ia tahu: itu ditujukan padanya dan jaringan Majelis.

Lalu satu per satu pembicara naik mimbar, semuanya bicara soal “kontrol”, “struktur”, “konsolidasi kader”. Tapi suara mereka pelan-pelan terdengar seperti dengungan lebah, lalu seperti gema di dalam sumur.

Kemudian terjadi sesuatu.

Mikrofon berbunyi nyaring. Layar presentasi berkedip-kedip. Sebuah cahaya redup turun dari langit-langit, lalu menyebar perlahan seperti kabut.

Beberapa santri yang peka mulai merinding. Di sisi kiri panggung, muncul bayangan gelap seperti sosok tambun—tapi bukan hantu mengerikan seperti sebelumnya.

Sosok itu mengenakan jas formal. Berkacamata. Senyumnya lebar. Tapi tatapannya kosong. Ia berdiri di samping para pembicara. Tak ada yang melihatnya secara langsung, tapi mereka mulai terbata-bata.

“Kita harus… eh… kaderisasi berbasis… eeh…”

Suara mereka gemetar. Mulut mereka kering.

Robin memejamkan mata. Ia tahu: Tambun telah kembali. Tapi kali ini bukan sebagai hantu. Ia muncul sebagai simbol kekuasaan yang kosong, sebagai roh dari sistem yang telah membusuk.

Tambun tak perlu menakuti dengan suara melolong. Ia kini berbicara lewat presentasi PowerPoint, lewat proposal kaderisasi nasional, lewat aroma parfum mahal, dan tekanan untuk mengikuti tanpa bertanya.

Saat moderator mempersilakan Robin memberi tanggapan, semua mata tertuju padanya. Ia berjalan pelan ke podium.

“Terima kasih. Saya ingin bicara bukan sebagai pimpinan forum mana pun. Saya hanya ingin berbagi pengalaman.”

Robin tak menyerang. Ia justru bercerita tentang bagaimana ia dulu diajak Abdul membaca tafsir Quraish Shihab, bagaimana mereka berdiskusi sambil menjemur sarung, dan bagaimana Majelis Malam Jumat berdiri bukan untuk melawan siapa pun, tapi untuk memberi ruang bagi yang tak punya suara.

“Bila gedung ini ingin dipakai kembali oleh banyak pihak, silakan. Tapi jangan jadikan tempat ini sekadar panggung presentasi. Biarkan ruangan ini tetap punya ruang sunyi. Untuk mereka yang ingin belajar bukan demi tampil, tapi demi memahami.”

Beberapa hadirin menunduk. Tak ada tepuk tangan. Tapi suasana hening. Hening yang menembus.

Malamnya, ketika semua orang pulang, Robin kembali duduk di kursi paling belakang. Ia menyalakan lampu kecil di pojok, membuka mushaf kecil yang sudah lusuh.

Ia mendengar pintu berderit. Sosok Tambun berdiri di ambang pintu. Tapi kini ia tak menyeramkan. Ia hanya sosok gelap tanpa arah.

Robin menatapnya, lalu berkata pelan:

“Kau bisa tinggal di sini. Tapi jangan kau ganggu yang sedang mencari cahaya.”

Tambun tak menjawab. Ia perlahan menyatu dengan dinding. Menjadi bayangan di balik panggung.

Minggu-minggu setelah pertemuan besar di gedung Sam Ratulangi, Robin menyadari satu hal: Tambun tidak lagi menghantui lorong-lorong tua atau memecahkan piring-piring di dapur. Ia tak muncul sebagai jeritan di malam hari atau bayangan di pojok gelap. Tidak.

Tambun telah masuk ke dalam sistem.

Di beberapa pesantren, pengurus yang dulu progresif mulai membentuk “dewan kaderisasi nasional” yang struktur dan sistem kerjanya meniru ormas-ormas besar. Mereka bicara kaderisasi, tapi yang mereka lakukan adalah menciptakan kelas-kelas loyalis. Mereka bicara sanad keilmuan, tapi yang ditekan adalah independensi berpikir. Mereka bicara akhlak, tapi yang mereka minta adalah kepatuhan membabi buta.

“Ini bukan pesantren lagi. Ini seperti kantor birokrasi yang dibungkus sorban,” ujar Henci sinis saat pulang dari sebuah undangan di pesantren besar.

Kepala pesantren-pesantren mulai saling menekan. Siapa yang tidak ikut forum nasional dianggap melawan. Santri yang aktif di Majelis Malam Jumat dilabeli “tidak berkomitmen terhadap sistem.”

Di salah satu pesantren di perbukitan, Robin melihat plang bertuliskan:

“Zona Bebas Tambun – Kawasan Anti Kaderisasi Palsu”

Plang itu dicabut esok harinya oleh pengurus pusat pesantren. Mereka bilang: “Jangan main-main dengan istilah Tambun, ini bisa dianggap mengganggu stabilitas.”

Robin sadar: Tambun kini telah menjadi metafora sistemik —sebuah kekuasaan yang berwajah religius tapi mematikan kebebasan dan inisiatif dari bawah.

Robin tidak ingin Majelis Malam Jumat bernasib sama. Ia mengumpulkan para inisiator, alumni, santri, dan simpatisan di rumah Abdul. Diskusi panjang terjadi.

Abdul duduk tenang, sesekali tersenyum. Di usia senjanya, ia hanya berpesan:

“Jika kalian buat struktur, biar seperti sungai. Ia harus punya arah, tapi jangan dipaksa dalam beton. Biarkan ia mengalir, dan menembus celah-celah batu.”

Robin mengusulkan:

1. Struktur Jaringan, Bukan Hirarki

Majelis dibentuk ulang sebagai jaringan terbuka antar komunitas. Tidak ada ketua umum. Hanya “pengemban amanah mingguan” yang bergilir. Tiap komunitas bebas mengatur diskusinya sendiri, tapi terhubung melalui forum rotasi sebulan sekali.

2. Kurikulum yang Tumbuh dari Bawah

Alih-alih silabus tetap, setiap Majelis membuat kajian lokal berdasarkan kebutuhan dan keresahan anggotanya. Tema seperti “Santri dalam Sistem Politik,” “Islam dan Keadilan Ekologi,” hingga “Kritik Terhadap Tradisi Kosong” menjadi bagian dari diskursus mereka.

3. Ritual Sunyi

Setiap Majelis diakhiri dengan ritual sunyi: duduk hening tanpa kata selama lima menit. Untuk mengingatkan bahwa ilmu dan kekuasaan tak boleh mencabut keheningan batin.

SERANGAN BALIK DARI STRUKTUR TAMBUN

Minggu-minggu berikutnya, mulai muncul isu dan tekanan:

Laporan resmi dari ormas besar menyatakan bahwa kegiatan Majelis Malam Jumat “tidak sejalan dengan garis besar perjuangan umat.”

Beberapa santri diintimidasi, ditarik dari forum karena dianggap “mengganggu loyalitas.”

Beberapa alumni Majelis ditolak jadi dosen di perguruan tinggi agama karena dituding “terlalu kiri” atau “tak bermazhab.”

Tapi, Majelis sudah menyebar. Di Makassar, di Yogyakarta, di Malang, hingga Aceh. Mereka memakai nama berbeda—Majelis Lorong, Malam Daurah, Komunitas Tafsir Sunyi—tapi semangatnya sama.

Tambun semakin gelisah. Ia mencari wajah-wajah baru untuk dimasuki. Tapi jaringan yang cair membuatnya sulit menguasai.

Majelis bukan melawan secara frontal. Mereka membiarkan sistem lama tetap berjalan. Tapi mereka menciptakan sistem tandingan yang lebih lentur, lebih sunyi, dan lebih dalam.

Abdul wafat dua bulan setelah restrukturisasi Majelis. Ia dimakamkan tanpa protokol besar. Tak ada karangan bunga dari pejabat. Tapi ratusan anak muda dari berbagai pesantren datang diam-diam. Mereka meletakkan satu benda di atas pusara:

Mushaf kecil

Buku kecil tafsir Al-Azhar

Sarung tua

Korek api

Dan secarik kertas bertuliskan:

“Untuk Abdul, yang mengajari kami bahwa kaderisasi sejati dimulai dari keheningan, bukan mikrofon.”

Beberapa bulan setelah wafatnya Abdul, Robin menerima undangan dari sebuah jaringan pesantren alternatif di Maroko, Turki, dan Bosnia. Mereka mendengar tentang Majelis Malam Jumat dan ingin mengetahui lebih jauh bagaimana sebuah gerakan santri bisa tumbuh tanpa struktur formal, tapi tetap membentuk basis pemikiran dan spiritualitas yang dalam.

Di Sarajevo, Robin berdiri di reruntuhan masjid tua peninggalan Utsmani yang pernah dibom saat perang Balkan. Di sinilah ia bicara soal keheningan sebagai ruang pembebasan, bukan sebagai tanda ketakutan. Di Fez, ia berdiskusi dengan murid-murid Tarekat Tijaniyah tentang bagaimana santri bisa mendialogkan tasawuf dengan realitas politik tanpa kehilangan ruhnya. Di Istanbul, ia ditanyai: “Apakah Majelis Malam Jumat adalah tarekat?” Robin menjawab:

“Bukan. Tapi seperti tarekat, ia berangkat dari cinta dan disiplin batin. Bedanya, Majelis kami tidak membaiat, tidak memberi gelar, tidak menjual karisma.”

Majelis mulai ditiru dengan nama-nama lokal:

Majlis Kamar Sunyi di Bosnia

Halaqah Juma’ah Nuraniyah di Maroko

Forum Jumat Rohani di Pakistan

Majelis bukan lagi milik Robin. Ia menjadi milik siapa saja yang haus ilmu, tapi tak ingin terjebak dalam ritual kosong dan pengkultusan.

Namun dari balik keberhasilan itu, Tambun belum mati. Ia tidak muncul lagi sebagai jeritan atau ilusi. Kali ini ia menyusup sebagai bentuk kooptasi paling berbahaya: spiritualisasi palsu.

Beberapa eks-pemimpin pesantren yang dulu menolak Majelis kini justru mengklaim sebagai "pembina spiritual" jaringan tersebut. Mereka menciptakan istilah-istilah baru: “Santri Nurani,” “Maqam Sinergi Ulul Albab,” “Pembimbing Ruhani Nasional.” Mereka memakai istilah sufistik tapi mengisi forum dengan retorika penguasaan wacana, pengendalian simbol, dan upaya menyeragamkan pengalaman keagamaan.

Tambun menjelma sebagai spiritual manager. Ia datang dengan jubah wangi, menawarkan “standarisasi rohani” dan mengklaim sebagai penerus ruh Majelis. Bahkan, dalam forum resmi pesantren nasional, seorang tokoh berkata:

“Majelis yang benar harus terdaftar. Harus ada sanad keilmuan dan sertifikasi spiritual. Kita tidak bisa biarkan forum liar tumbuh begitu saja!”

Robin sadar, ini lebih berbahaya dari teriakan hantu. Ini kolonialisasi ruh. Ini "pendisiplinan" hening.

Dalam diskusi internal Majelis, Robin berkata pelan:

“Kalau kita tidak hati-hati, Majelis akan menjadi korporasi batin. Dikelola oleh orang-orang yang tidak pernah merasakan sunyi.”

Suatu malam di sebuah penginapan kecil di Padang Panjang, Robin menerima tamu tak terduga: KH. Asnawi Al-Buthory, tokoh lama yang dulu ikut menandatangani maklumat pembubaran Majelis Malam Jumat tahun-tahun sebelumnya. Dulu, ia mencap Majelis sebagai “forum liar tanpa sanad,” tapi malam itu ia datang sendiri, tanpa pengawal, tanpa keangkuhan.

Wajahnya sudah tua. Napasnya pendek. Ia mengaku banyak hal. Ia bicara tentang penyesalan, tentang kesunyian yang tak ia pahami saat muda, dan tentang Tambun yang kini menghantuinya tiap malam—bukan sebagai bayangan, tapi sebagai rasa kosong, kehilangan makna, dan kehilangan kepercayaan dari murid-muridnya.

“Robin,” katanya lirih. “Aku ingin mendirikan Majelis Tambun.”

Robin diam.

“Jangan salah paham. Bukan sebagai bentuk balas dendam. Tapi sebagai tempat bagi para eks-elit seperti kami yang dulu salah langkah. Kami juga ingin kembali belajar.”

Robin tak langsung menjawab. Ia hanya menyodorkan secarik kertas bertuliskan syarat tunggal:

“Setiap anggota Majelis Tambun harus membaca ulang buku kecil ‘Menjadi Santri Tanpa Takhta’ karya Abdul setiap malam Jumat sebelum forum dimulai.”

Asnawi tertunduk. Ia mencium tangan Robin.

Beberapa bulan kemudian, Majelis Tambun terbentuk. Bukan tandingan Majelis Malam Jumat, tapi cabang khusus untuk mereka yang pernah salah jalan, pernah menjadi Tambun, dan kini ingin bertobat dalam sunyi. Forum itu diikuti para mantan petinggi, mantan ketua-ketua lembaga, dan tokoh-tokoh yang dulu percaya bahwa kekuasaan adalah jalan dakwah.

Di situ, tak ada ceramah. Hanya pengakuan, pengampunan, dan doa.

Majelis Malam Jumat kini hidup di banyak tempat:

Di gang-gang kecil Jakarta,

Di pojok masjid desa,

Di ruang baca mahasiswa,

Di ruang sunyi mantan-mantan pejabat yang ingin kembali jadi manusia biasa.

Tambun belum sepenuhnya lenyap. Tapi ia kehilangan bentuk, kehilangan kuasa. Karena ia tak mampu hidup dalam ruang yang cair, hening, dan penuh cinta.

Dan Robin tahu, seperti kata Abdul dahulu:

“Gerakan yang tak punya kuburan, bukanlah gerakan. Tapi gerakan yang tak punya sunyi, hanya mesin tanpa jiwa.”

Namanya Zakwan Adzra, lulusan program doktoral dari universitas di Prancis, pernah menulis buku berjudul Spiritualitas dalam Zaman Spektakel. Wawasannya luas, dikutip banyak kalangan muda, dan beberapa kali tampil di forum internasional sebagai “pengamat Islam progresif.” Ia datang dengan tas selempang kulit dan wajah percaya diri.

Robin mengenalnya sekilas dulu sebagai junior yang jarang muncul di forum Majelis, tapi aktif menulis opini yang—walau bernas—selalu terasa seperti pidato akademik.

“Sudah saatnya Majelis naik kelas,” kata Zakwan saat pertama kali datang dalam diskusi Majelis inti. “Kita tidak boleh selamanya berputar pada lokalitas sunyi. Dunia sedang menunggu teori Majelis. Kita butuh manifestonya!”

Para peserta yang terbiasa dengan gaya tutur sunyi dan lambat terdiam. Robin mengangguk pelan, “Silakan lanjut.”

Zakwan bicara selama tiga puluh menit: soal teologi kesunyian dalam relasi kapitalisme global, kritik terhadap spiritualitas populis, usulan membuat Majelis Index, hingga pendirian lembaga riset bernama “Tuai Institute”—yang menurutnya akan merebut kembali istilah Tambun dari mitologi “palsu dan mistik.”

Beberapa senior mengangguk—bukan karena paham, tapi karena terdengar canggih. Tapi ketika forum dibuka untuk tanggapan, seorang santri muda bernama Rifa’i hanya bertanya lirih:

“Bang, apakah abang pernah ikut Majelis dari awal, yang benar-benar dari pinggir jalan, dari ruang kosong?”

Zakwan terdiam.

Posting Komentar

0 Komentar