Hantu Tambun di Gedung Sam Rat (7): Kosong di Dalam dan Kebisingan Tanpa Ruh


Kosong Di Dalam Dan Kebisingan Tanpa Ruh

Robin tidak menolak Zakwan. Ia bahkan mengundangnya berkali-kali. Tapi perlahan, sesuatu terasa janggal. Forum Majelis yang semula menjadi ruang berbagi pengalaman dan pertumbuhan batin, berubah menjadi tempat saling pamer kutipan dan ide cemerlang. Beberapa peserta lama perlahan menghilang.

Pada suatu malam Jumat, Majelis hanya dihadiri lima orang. Robin tahu, ini bukan karena Tambun, bukan karena represi, tapi karena energi baru ini—energi yang bersinar terang tapi tak menghangatkan.

Dalam rapat kecil di rumah kayunya, Robin berkata:

“Zakwan bukan musuh. Tapi ia mengingatkan kita bahwa kejeniusan tidak selalu menyelamatkan. Kadang ia hanya membuat kita merasa lebih tinggi dari yang sedang bertumbuh.”

Keesokan harinya, Robin bertemu Zakwan secara pribadi. Mereka berbicara panjang. Zakwan mengaku gelisah. Ia merasa tak benar-benar diterima.

“Aku hanya ingin menyumbang gagasan, Rob.”

“Kami tak butuh banyak gagasan,” jawab Robin pelan. “Kami butuh langkah. Butuh luka. Butuh peluh.”

Zakwan akhirnya memutuskan undur diri dari forum Majelis. Tapi sebelum pergi, ia menitipkan catatan:

“Kalian memang bukan lembaga. Tapi kalian sedang menjadi mitos baru. Jaga agar tidak jadi sekte dari narasi sendiri.”

Zakwan tak pernah kembali. Tapi dari perjalanannya, lahirlah satu pelajaran penting di tubuh Majelis:

“Cahaya tak selalu dari nyala. Kadang, ia justru lahir dari api yang hampir padam, dari kesunyian yang tak berteori.”

Tak ada pengumuman resmi. Tak ada rapat evaluasi. Hanya perubahan kecil yang nyaris tak disadari siapa pun, kecuali mereka yang sudah lama mengenal Robin.

Ia mulai lebih banyak duduk di barisan belakang. Mulai lebih sering mendengarkan ketimbang membuka diskusi. Dalam forum-forum malam Jumat, Robin hadir tanpa bicara panjang. Kadang hanya membaca puisi pendek. Kadang diam.

Sebagian anggota baru bahkan tak mengenalnya sebagai “pendiri.” Mereka tahu namanya dari cerita, bukan dari perintah. Dan itu membuat Robin tenang.

“Kalau Majelis hanya kuat karena satu nama, berarti kita belum tumbuh,” katanya sekali waktu pada Abdul, yang kini tinggal di kampung dan sesekali naik becak ke forum hanya untuk menonton dari kejauhan.

Kepemimpinan Majelis mulai berubah bentuk. Tidak ada satu pemimpin tetap. Setiap malam Jumat, moderator bergilir. Kadang dipilih spontan. Kadang ditentukan diam-diam oleh kesepakatan kecil.

Rifa’i yang dulu hanya duduk paling belakang kini kadang membuka forum. Muna yang dulu pemalu kini menyusun agenda refleksi. Bahkan Zahra—yang dulu datang sebagai penonton diskusi Zakwan—kini menggagas kelas tafsir sunyi untuk para ibu muda.

Majelis tidak memperbesar struktur. Tapi memperbanyak ruang. Dari rumah-rumah kecil, beranda, musala kosong, hingga perpustakaan kampus yang sudah tutup jam operasional. Mereka tetap tidak membuat organisasi formal. Tapi pola kerjanya mulai sistematis.

Dan ketika ada yang bertanya:

“Siapa sekarang pemimpin Majelis?”

Jawaban yang sering terdengar adalah:

“Kami tidak dipimpin. Kami saling menjaga.”

Pada malam Jumat ke-300, Robin tak muncul. Tak ada kabar. Tak ada pesan. Tapi tidak ada yang panik. Seorang anggota membuka forum, seperti biasa. Diskusi mengalir, puisi dibacakan, dan tadarus kecil ditutup dengan minum kopi.

Beberapa minggu kemudian, seorang pemuda menerima kartu pos dari luar negeri. Gambar senja dan tulisan tangan:

“Majelis adalah sunyi yang hidup. Jaga sunyimu baik-baik. —R”

Sejak itu, Robin tidak hadir sebagai tubuh, tapi sebagai ingatan, sebagai prinsip, sebagai jejak yang ditanam dalam pola kerja kolektif yang tak butuh sorotan.

Majelis tak lagi punya satu wajah. Tapi punya banyak tangan. Banyak telinga. Dan banyak hati.

Tak ada yang menduga bahwa Henci, yang selama ini dikenal sebagai penjaga ruang-ruang batin di Majelis, akan pindah ke kota, menyewa apartemen kecil di lantai lima belas, dan menjadi marketing properti dari salah satu developer paling agresif di kawasan timur.

“Ini bukan pengkhianatan,” kata Henci saat terakhir kali hadir di forum Majelis.

“Ini bagian dari ikhtiar. Bekerja juga bagian dari ibadah. Tapi yang lebih penting: aku ingin melihat apakah nilai-nilai Majelis bisa hidup di tempat paling gersang sekali pun.”

Ia mulai memakai blazer. Membawa tablet. Presentasi di hadapan investor, pengembang, dan calon pembeli rumah. Tapi setiap pagi, sebelum memulai aktivitas, ia tetap membaca wirid kecil dari kitab yang dulu dia bawa di tas kain ke forum-forum malam Jumat.

Beberapa bulan setelah Henci menetap di kota, kabar mulai menyebar: ia membuka soft gathering kecil di sebuah ruko kosong milik developer tempat ia bekerja. Di sana, para pekerja marketing, tukang bangunan, dan sopir logistik mulai ikut tadarus setelah jam kerja.

Kadang diskusi. Kadang diam. Kadang hanya berbagi roti dan teh manis. Tapi terasa: napas Majelis kembali hidup.

Beberapa mantan anggota Majelis yang hijrah ke kota mulai bergabung. Bahkan ada yang mengusulkan membentuk “Majelis Tower”—bukan organisasi baru, melainkan jaringan kecil spiritualitas di tengah beton dan ambisi pasar properti.

Tentu tak semua mudah. Dunia properti adalah dunia perang. Persaingan, angka, janji-janji, dan margin keuntungan yang harus dikorbankan demi komisi. Kadang Henci merasa tercerabut.

Pernah ia hampir menandatangani kontrak penjualan lahan wakaf yang dulu milik pesantren. Tapi ia batalkan, dengan diam. Hari itu ia menangis, sendiri, di rooftop lantai 17 sambil memutar rekaman zikir dari forum malam Jumat bertahun-tahun lalu.

“Ternyata tak mudah menjaga api ketika angin begitu kencang,” tulisnya di jurnal harian, yang nanti ditemukan Robin dalam satu kunjungan ke kota.

Bab ini bisa ditutup dengan semacam surat elektronik atau pesan suara dari Henci kepada Majelis:

“Jangan takut masuk ke dunia baru. Selama jiwamu tertambat pada nilai, kamu akan menemukan cara untuk hidup benar meski bentuknya berbeda. Aku bukan lagi penjaga forum. Tapi aku penjaga suara hati di tengah iklan dan spanduk besar.”

Robin tiba di kota tanpa banyak rencana. Ia sedang dalam fase diam—fase di mana Majelis sudah mulai berjalan sendiri, dipimpin oleh forum kolektif yang lebih muda dan lebih cair. Dalam sunyi itu, Robin merasa terdorong untuk bertemu Henci—bukan untuk mengajaknya kembali, tetapi untuk memahami: apa yang tersisa dari jalan yang dulu mereka bangun bersama?

Henci menjemput Robin di stasiun bus malam. Ia mengenakan kemeja putih dan celana kain gelap, tampil profesional namun tetap dengan ransel kain lusuh yang selalu dibawanya sejak zaman pondok.

"Ayo, kita minum kopi," katanya pelan, seolah-olah tidak mau membangunkan masa lalu.

Kopi disajikan dalam cangkir keramik kecil. Tempat itu berada di lantai dasar gedung kantor pemasaran yang dikelola Henci. Musik jazz instrumental mengalun, dan meja mereka terletak persis di dekat jendela besar yang menghadap jalan protokol.

"Aku sering merenung di sini," kata Henci. "Memandang lampu-lampu jalan. Lalu bertanya, apakah semua ini arah yang benar?"

Robin tak langsung menjawab. Ia mengamati Henci. Tak banyak berubah, kecuali sorot matanya kini lebih dalam. Seperti seseorang yang sudah melihat banyak tetapi masih tetap bisa tenang.

"Kamu tahu, Majelis tetap berjalan," ucap Robin. "Tapi mungkin lebih teknokratis sekarang. Kadang aku merasa, semakin terstruktur, semakin kita kehilangan napasnya."

Henci tersenyum tipis.

"Itulah sebabnya aku pergi. Bukan karena kecewa. Tapi aku ingin tahu: bisa tidak napas itu tetap hidup di ruang yang bahkan tidak punya ventilasi sama sekali?"

Malam itu, Henci mengajak Robin ke rooftop gedung kantor. Di sana, ternyata sudah ada lima orang lain. Mereka membentuk lingkaran kecil. Tiga dari mereka adalah pekerja konstruksi, satu sopir logistik, dan satu satpam gedung.

Mereka membaca surat Al-Fatihah bersama, lalu diam cukup lama. Setelah itu, salah satu dari mereka mulai bercerita tentang tekanan kerja, tagihan sekolah anaknya, dan rasa rindu pada rumah yang jauh di desa.

Robin terpana.

“Ini... seperti malam Jumat kita dulu,” katanya lirih.

Henci hanya mengangguk.

“Aku tidak pernah berhenti. Aku hanya pindah medan.”

Malam itu, Robin dan Henci berbicara panjang. Tentang kemungkinan membuat jaringan Majelis Kota—forum-forum kecil di tengah dunia kerja. Tanpa nama besar. Tanpa klaim otoritas. Hanya napas, ruang, dan pertemuan batin.

Robin menawarkan bantuan, tapi Henci menolak dengan halus.

“Aku tak ingin ini jadi program,” katanya. “Biarkan ia tumbuh seperti embun. Tak terlihat, tapi menyegarkan.”

Angin malam kota menelusup di sela rooftop. Lampu-lampu gedung tak lagi menyilaukan seperti tadi sore. Henci dan Robin duduk di bangku beton, diam cukup lama setelah sesi lingkaran sunyi bersama para pekerja.

“Kau tahu, aku pikir hidupku hanya untuk Majelis,” kata Robin tiba-tiba.

Henci menoleh. Tapi ia tak menyela.

“Aku pikir perjuangan ini... harus dibayar dengan pengorbanan pribadi. Bahwa mencintai seseorang itu terlalu remeh, terlalu manusiawi, kalau dibandingkan dengan menyelamatkan sistem atau menumbangkan Tambun.” Robin tertawa lirih. “Ternyata, itu kebohongan yang paling licik yang pernah kubisikkan ke diriku sendiri.”

“Lalu?” tanya Henci pelan.

Robin menarik napas panjang.

“Aku akan menikah, Henc.”

Wajah Henci tidak menunjukkan keterkejutan. Hanya ketenangan yang dalam, seperti danau yang tahu bahwa airnya akan diberi kehidupan baru.

“Dengan siapa?” tanyanya, setengah berbisik.

“Namanya Halimah,” jawab Robin. “Dia bukan siapa-siapa. Bukan aktivis, bukan kader, bukan penulis. Tapi dia ada—saat aku jatuh di kampung, saat aku kembali dari luar negeri dengan pikiran berantakan, saat aku dihujat karena dianggap menjual Majelis.”

Henci tersenyum. “Aku kira aku tahu siapa dia.”

Robin menatapnya, agak kaget.

“Perempuan berjilbab coklat tua, yang sering kau ajak ke pertemuan internal dulu? Yang duduk paling belakang, tapi selalu bertahan sampai akhir?”

Robin mengangguk, pelan. Matanya mulai berkaca-kaca.

“Aku terlalu lama membuat dia menunggu. Sekarang, aku hanya ingin hidup pelan-pelan. Tanpa orasi, tanpa panggung. Hanya... kehidupan.”

PELUKAN YANG TERTUNDA, KEBERANGKATAN YANG BARU

Saat malam makin larut, Robin dan Henci berdiri. Kota telah tenang, dan jalanan mulai lengang. Sebelum berpisah, mereka saling berpelukan. Pelukan yang tak hanya untuk pertemuan malam itu, tapi untuk semua malam yang mereka lewati dalam ketegangan, tawa, tangis, dan keraguan.

“Terima kasih, Henc. Kau tetap bagian dari Majelis. Meski kau menjual properti,” Robin tertawa.

“Dan kau tetap saudaraku. Meski sekarang kau jadi suami orang,” jawab Henci sambil menepuk punggungnya.

Mereka berpisah di perempatan jalan. Robin berjalan ke arah penginapan kecil tempat ia tinggal. Henci ke motornya yang diparkir di bawah pohon ketapang.

Di dalam dada keduanya, satu hal sama-sama tumbuh: kelegaan. Bukan karena semuanya selesai. Tapi karena mereka tak lagi sendirian dalam menyambung hidup yang tercerai.

Langit kota seperti memberi restu hari itu. Awan bergerak pelan, tidak mendung, tidak juga terik. Hanya tenang—seperti hati Robin pagi itu.

Pernikahan itu digelar di halaman belakang rumah Halimah. Lantainya tanah yang bersih, diratakan oleh para tetangga. Tiang-tiang bambu menyangga tenda sederhana berwarna putih kusam. Tidak ada panggung megah, tidak ada karangan bunga dari para tokoh. Hanya kursi plastik, tikar pandan, dan senyum-senyum tulus dari warga sekitar.

Yang hadir tak sampai lima puluh orang. Mereka bukan para petinggi Majelis, bukan jaringan politik, bukan para mantan aktivis yang kini jadi pejabat. Mereka adalah ibu-ibu pengajian, teman-teman pengantar air galon, penjual lontong langganan Halimah, serta beberapa kader Majelis yang tersisa—mereka yang tak pernah mempersoalkan posisi Robin sebagai “mantan Ketua”.

Robin duduk bersila di depan penghulu, mengenakan baju koko putih gading, celana panjang kain, dan peci hitam. Tak ada jas, tak ada sepatu pantofel. Ia menggenggam tangan wali Halimah dengan khidmat. Suaranya tenang, hanya sedikit bergetar saat mengucapkan ijab kabul.

“Saya terima nikahnya Halimah binti Ibrahim... dengan mahar tersebut, tunai.”

Seketika “sah” diucapkan, angin berembus pelan dari arah timur. Seorang ibu menangis pelan di sudut dapur terbuka. Seorang anak kecil tertawa sambil menabur bunga melati dari wadah kecil.

Halimah datang dari balik tirai, ditemani dua temannya. Ia mengenakan gamis krem dan kerudung lebar. Matanya sembab tapi penuh cahaya. Langkahnya mantap. Tak ada dandanan mencolok, tak ada makeup salon. Tapi senyumnya mampu meruntuhkan benteng yang selama ini Robin bangun.

Saat mereka bersalaman di depan hadirin, Robin berbisik, “Terima kasih sudah tetap tinggal, bahkan ketika aku mencoba pergi.”

Halimah menjawab, lirih, “Terima kasih sudah pulang.”

Setelah makan bersama di tikar panjang—dengan menu sederhana nasi kuning, ayam goreng, dan urap kelapa—beberapa orang mulai pulang. Tidak ada musik, tidak ada MC, hanya obrolan santai dan tawa kecil.

Di sore hari, Robin dan Halimah duduk berdua di teras belakang. Mereka memandang langit yang mulai jingga. Tak ada rencana bulan madu. Tak ada foto pre-wedding. Hanya dua manusia yang ingin hidup bersama—bukan untuk menaklukkan dunia, tapi saling menjaga dari kehancuran batin.

“Kalau kamu masih harus berjuang, aku tak akan melarang,” kata Halimah sambil menyandarkan kepala di bahu Robin.

“Perjuangan yang paling berat itu... ternyata bukan membangun Majelis. Tapi membangun rumah di dalam hati sendiri,” jawab Robin.

Halimah tersenyum, dan untuk pertama kalinya, Robin merasa bahwa seluruh perjuangannya—baik yang berhasil maupun gagal—mengarah ke satu titik: momen ini.

Posting Komentar

0 Komentar