Kosong Di Dalam Dan Kebisingan
Tanpa Ruh
Robin tidak menolak Zakwan. Ia bahkan mengundangnya
berkali-kali. Tapi perlahan, sesuatu terasa janggal. Forum Majelis yang semula
menjadi ruang berbagi pengalaman dan pertumbuhan batin, berubah menjadi tempat
saling pamer kutipan dan ide cemerlang. Beberapa peserta lama perlahan
menghilang.
Pada suatu malam Jumat, Majelis hanya dihadiri lima orang.
Robin tahu, ini bukan karena Tambun, bukan karena represi, tapi karena energi
baru ini—energi yang bersinar terang tapi tak menghangatkan.
Dalam rapat kecil di rumah kayunya, Robin berkata:
“Zakwan bukan musuh. Tapi ia mengingatkan kita bahwa
kejeniusan tidak selalu menyelamatkan. Kadang ia hanya membuat kita merasa
lebih tinggi dari yang sedang bertumbuh.”
Keesokan harinya, Robin bertemu Zakwan secara pribadi.
Mereka berbicara panjang. Zakwan mengaku gelisah. Ia merasa tak benar-benar
diterima.
“Aku hanya ingin menyumbang gagasan, Rob.”
“Kami tak butuh banyak gagasan,” jawab Robin pelan. “Kami
butuh langkah. Butuh luka. Butuh peluh.”
Zakwan akhirnya memutuskan undur diri dari forum Majelis.
Tapi sebelum pergi, ia menitipkan catatan:
“Kalian memang bukan lembaga. Tapi kalian sedang menjadi
mitos baru. Jaga agar tidak jadi sekte dari narasi sendiri.”
Zakwan tak pernah kembali. Tapi dari perjalanannya, lahirlah
satu pelajaran penting di tubuh Majelis:
“Cahaya tak selalu dari nyala. Kadang, ia justru lahir dari api yang hampir padam, dari kesunyian yang tak berteori.”
Tak ada pengumuman resmi. Tak ada rapat evaluasi. Hanya
perubahan kecil yang nyaris tak disadari siapa pun, kecuali mereka yang sudah
lama mengenal Robin.
Ia mulai lebih banyak duduk di barisan belakang. Mulai lebih
sering mendengarkan ketimbang membuka diskusi. Dalam forum-forum malam Jumat,
Robin hadir tanpa bicara panjang. Kadang hanya membaca puisi pendek. Kadang
diam.
Sebagian anggota baru bahkan tak mengenalnya sebagai
“pendiri.” Mereka tahu namanya dari cerita, bukan dari perintah. Dan itu
membuat Robin tenang.
“Kalau Majelis hanya kuat karena satu nama, berarti kita belum tumbuh,” katanya sekali waktu pada Abdul, yang kini tinggal di kampung dan sesekali naik becak ke forum hanya untuk menonton dari kejauhan.
Kepemimpinan Majelis mulai berubah bentuk. Tidak ada satu
pemimpin tetap. Setiap malam Jumat, moderator bergilir. Kadang dipilih spontan.
Kadang ditentukan diam-diam oleh kesepakatan kecil.
Rifa’i yang dulu hanya duduk paling belakang kini kadang
membuka forum. Muna yang dulu pemalu kini menyusun agenda refleksi. Bahkan
Zahra—yang dulu datang sebagai penonton diskusi Zakwan—kini menggagas kelas
tafsir sunyi untuk para ibu muda.
Majelis tidak memperbesar struktur. Tapi memperbanyak ruang.
Dari rumah-rumah kecil, beranda, musala kosong, hingga perpustakaan kampus yang
sudah tutup jam operasional. Mereka tetap tidak membuat organisasi formal. Tapi
pola kerjanya mulai sistematis.
Dan ketika ada yang bertanya:
“Siapa sekarang pemimpin Majelis?”
Jawaban yang sering terdengar adalah:
“Kami tidak dipimpin. Kami saling menjaga.”
Pada malam Jumat ke-300, Robin tak muncul. Tak ada kabar.
Tak ada pesan. Tapi tidak ada yang panik. Seorang anggota membuka forum,
seperti biasa. Diskusi mengalir, puisi dibacakan, dan tadarus kecil ditutup
dengan minum kopi.
Beberapa minggu kemudian, seorang pemuda menerima kartu pos
dari luar negeri. Gambar senja dan tulisan tangan:
“Majelis adalah sunyi yang hidup. Jaga sunyimu baik-baik.
—R”
Sejak itu, Robin tidak hadir sebagai tubuh, tapi sebagai
ingatan, sebagai prinsip, sebagai jejak yang ditanam dalam pola kerja kolektif
yang tak butuh sorotan.
Majelis tak lagi punya satu wajah. Tapi punya banyak tangan. Banyak telinga. Dan banyak hati.
Tak ada yang menduga bahwa Henci, yang selama ini dikenal
sebagai penjaga ruang-ruang batin di Majelis, akan pindah ke kota, menyewa
apartemen kecil di lantai lima belas, dan menjadi marketing properti dari salah
satu developer paling agresif di kawasan timur.
“Ini bukan pengkhianatan,” kata Henci saat terakhir kali
hadir di forum Majelis.
“Ini bagian dari ikhtiar. Bekerja juga bagian dari ibadah.
Tapi yang lebih penting: aku ingin melihat apakah nilai-nilai Majelis bisa
hidup di tempat paling gersang sekali pun.”
Ia mulai memakai blazer. Membawa tablet. Presentasi di hadapan investor, pengembang, dan calon pembeli rumah. Tapi setiap pagi, sebelum memulai aktivitas, ia tetap membaca wirid kecil dari kitab yang dulu dia bawa di tas kain ke forum-forum malam Jumat.
Beberapa bulan setelah Henci menetap di kota, kabar mulai
menyebar: ia membuka soft gathering kecil di sebuah ruko kosong milik developer
tempat ia bekerja. Di sana, para pekerja marketing, tukang bangunan, dan sopir
logistik mulai ikut tadarus setelah jam kerja.
Kadang diskusi. Kadang diam. Kadang hanya berbagi roti dan
teh manis. Tapi terasa: napas Majelis kembali hidup.
Beberapa mantan anggota Majelis yang hijrah ke kota mulai bergabung. Bahkan ada yang mengusulkan membentuk “Majelis Tower”—bukan organisasi baru, melainkan jaringan kecil spiritualitas di tengah beton dan ambisi pasar properti.
Tentu tak semua mudah. Dunia properti adalah dunia perang.
Persaingan, angka, janji-janji, dan margin keuntungan yang harus dikorbankan
demi komisi. Kadang Henci merasa tercerabut.
Pernah ia hampir menandatangani kontrak penjualan lahan
wakaf yang dulu milik pesantren. Tapi ia batalkan, dengan diam. Hari itu ia
menangis, sendiri, di rooftop lantai 17 sambil memutar rekaman zikir dari forum
malam Jumat bertahun-tahun lalu.
“Ternyata tak mudah menjaga api ketika angin begitu
kencang,” tulisnya di jurnal harian, yang nanti ditemukan Robin dalam satu
kunjungan ke kota.
Bab ini bisa ditutup dengan semacam surat elektronik atau
pesan suara dari Henci kepada Majelis:
“Jangan takut masuk ke dunia baru. Selama jiwamu tertambat pada nilai, kamu akan menemukan cara untuk hidup benar meski bentuknya berbeda. Aku bukan lagi penjaga forum. Tapi aku penjaga suara hati di tengah iklan dan spanduk besar.”
Robin tiba di kota tanpa banyak rencana. Ia sedang dalam
fase diam—fase di mana Majelis sudah mulai berjalan sendiri, dipimpin oleh
forum kolektif yang lebih muda dan lebih cair. Dalam sunyi itu, Robin merasa
terdorong untuk bertemu Henci—bukan untuk mengajaknya kembali, tetapi untuk
memahami: apa yang tersisa dari jalan yang dulu mereka bangun bersama?
Henci menjemput Robin di stasiun bus malam. Ia mengenakan
kemeja putih dan celana kain gelap, tampil profesional namun tetap dengan
ransel kain lusuh yang selalu dibawanya sejak zaman pondok.
"Ayo, kita minum kopi," katanya pelan, seolah-olah tidak mau membangunkan masa lalu.
Kopi disajikan dalam cangkir keramik kecil. Tempat itu
berada di lantai dasar gedung kantor pemasaran yang dikelola Henci. Musik jazz
instrumental mengalun, dan meja mereka terletak persis di dekat jendela besar
yang menghadap jalan protokol.
"Aku sering merenung di sini," kata Henci.
"Memandang lampu-lampu jalan. Lalu bertanya, apakah semua ini arah yang
benar?"
Robin tak langsung menjawab. Ia mengamati Henci. Tak banyak
berubah, kecuali sorot matanya kini lebih dalam. Seperti seseorang yang sudah
melihat banyak tetapi masih tetap bisa tenang.
"Kamu tahu, Majelis tetap berjalan," ucap Robin.
"Tapi mungkin lebih teknokratis sekarang. Kadang aku merasa, semakin
terstruktur, semakin kita kehilangan napasnya."
Henci tersenyum tipis.
"Itulah sebabnya aku pergi. Bukan karena kecewa. Tapi aku ingin tahu: bisa tidak napas itu tetap hidup di ruang yang bahkan tidak punya ventilasi sama sekali?"
Malam itu, Henci mengajak Robin ke rooftop gedung kantor. Di
sana, ternyata sudah ada lima orang lain. Mereka membentuk lingkaran kecil.
Tiga dari mereka adalah pekerja konstruksi, satu sopir logistik, dan satu
satpam gedung.
Mereka membaca surat Al-Fatihah bersama, lalu diam cukup
lama. Setelah itu, salah satu dari mereka mulai bercerita tentang tekanan
kerja, tagihan sekolah anaknya, dan rasa rindu pada rumah yang jauh di desa.
Robin terpana.
“Ini... seperti malam Jumat kita dulu,” katanya lirih.
Henci hanya mengangguk.
“Aku tidak pernah berhenti. Aku hanya pindah medan.”
Malam itu, Robin dan Henci berbicara panjang. Tentang
kemungkinan membuat jaringan Majelis Kota—forum-forum kecil di tengah dunia kerja.
Tanpa nama besar. Tanpa klaim otoritas. Hanya napas, ruang, dan pertemuan
batin.
Robin menawarkan bantuan, tapi Henci menolak dengan halus.
“Aku tak ingin ini jadi program,” katanya. “Biarkan ia tumbuh seperti embun. Tak terlihat, tapi menyegarkan.”
Angin malam kota menelusup di sela rooftop. Lampu-lampu
gedung tak lagi menyilaukan seperti tadi sore. Henci dan Robin duduk di bangku
beton, diam cukup lama setelah sesi lingkaran sunyi bersama para pekerja.
“Kau tahu, aku pikir hidupku hanya untuk Majelis,” kata
Robin tiba-tiba.
Henci menoleh. Tapi ia tak menyela.
“Aku pikir perjuangan ini... harus dibayar dengan
pengorbanan pribadi. Bahwa mencintai seseorang itu terlalu remeh, terlalu
manusiawi, kalau dibandingkan dengan menyelamatkan sistem atau menumbangkan
Tambun.” Robin tertawa lirih. “Ternyata, itu kebohongan yang paling licik yang
pernah kubisikkan ke diriku sendiri.”
“Lalu?” tanya Henci pelan.
Robin menarik napas panjang.
“Aku akan menikah, Henc.”
Wajah Henci tidak menunjukkan keterkejutan. Hanya ketenangan
yang dalam, seperti danau yang tahu bahwa airnya akan diberi kehidupan baru.
“Dengan siapa?” tanyanya, setengah berbisik.
“Namanya Halimah,” jawab Robin. “Dia bukan siapa-siapa.
Bukan aktivis, bukan kader, bukan penulis. Tapi dia ada—saat aku jatuh di
kampung, saat aku kembali dari luar negeri dengan pikiran berantakan, saat aku
dihujat karena dianggap menjual Majelis.”
Henci tersenyum. “Aku kira aku tahu siapa dia.”
Robin menatapnya, agak kaget.
“Perempuan berjilbab coklat tua, yang sering kau ajak ke
pertemuan internal dulu? Yang duduk paling belakang, tapi selalu bertahan
sampai akhir?”
Robin mengangguk, pelan. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Aku terlalu lama membuat dia menunggu. Sekarang, aku hanya
ingin hidup pelan-pelan. Tanpa orasi, tanpa panggung. Hanya... kehidupan.”
PELUKAN YANG TERTUNDA, KEBERANGKATAN YANG BARU
Saat malam makin larut, Robin dan Henci berdiri. Kota telah
tenang, dan jalanan mulai lengang. Sebelum berpisah, mereka saling berpelukan.
Pelukan yang tak hanya untuk pertemuan malam itu, tapi untuk semua malam yang
mereka lewati dalam ketegangan, tawa, tangis, dan keraguan.
“Terima kasih, Henc. Kau tetap bagian dari Majelis. Meski
kau menjual properti,” Robin tertawa.
“Dan kau tetap saudaraku. Meski sekarang kau jadi suami
orang,” jawab Henci sambil menepuk punggungnya.
Mereka berpisah di perempatan jalan. Robin berjalan ke arah
penginapan kecil tempat ia tinggal. Henci ke motornya yang diparkir di bawah
pohon ketapang.
Di dalam dada keduanya, satu hal sama-sama tumbuh: kelegaan. Bukan karena semuanya selesai. Tapi karena mereka tak lagi sendirian dalam menyambung hidup yang tercerai.
Langit kota seperti memberi restu hari itu. Awan bergerak
pelan, tidak mendung, tidak juga terik. Hanya tenang—seperti hati Robin pagi
itu.
Pernikahan itu digelar di halaman belakang rumah Halimah.
Lantainya tanah yang bersih, diratakan oleh para tetangga. Tiang-tiang bambu
menyangga tenda sederhana berwarna putih kusam. Tidak ada panggung megah, tidak
ada karangan bunga dari para tokoh. Hanya kursi plastik, tikar pandan, dan
senyum-senyum tulus dari warga sekitar.
Yang hadir tak sampai lima puluh orang. Mereka bukan para
petinggi Majelis, bukan jaringan politik, bukan para mantan aktivis yang kini
jadi pejabat. Mereka adalah ibu-ibu pengajian, teman-teman pengantar air galon,
penjual lontong langganan Halimah, serta beberapa kader Majelis yang
tersisa—mereka yang tak pernah mempersoalkan posisi Robin sebagai “mantan
Ketua”.
Robin duduk bersila di depan penghulu, mengenakan baju koko
putih gading, celana panjang kain, dan peci hitam. Tak ada jas, tak ada sepatu
pantofel. Ia menggenggam tangan wali Halimah dengan khidmat. Suaranya tenang,
hanya sedikit bergetar saat mengucapkan ijab kabul.
“Saya terima nikahnya Halimah binti Ibrahim... dengan mahar
tersebut, tunai.”
Seketika “sah” diucapkan, angin berembus pelan dari arah
timur. Seorang ibu menangis pelan di sudut dapur terbuka. Seorang anak kecil
tertawa sambil menabur bunga melati dari wadah kecil.
Halimah datang dari balik tirai, ditemani dua temannya. Ia
mengenakan gamis krem dan kerudung lebar. Matanya sembab tapi penuh cahaya.
Langkahnya mantap. Tak ada dandanan mencolok, tak ada makeup salon. Tapi
senyumnya mampu meruntuhkan benteng yang selama ini Robin bangun.
Saat mereka bersalaman di depan hadirin, Robin berbisik,
“Terima kasih sudah tetap tinggal, bahkan ketika aku mencoba pergi.”
Halimah menjawab, lirih, “Terima kasih sudah pulang.”
Setelah makan bersama di tikar panjang—dengan menu sederhana
nasi kuning, ayam goreng, dan urap kelapa—beberapa orang mulai pulang. Tidak
ada musik, tidak ada MC, hanya obrolan santai dan tawa kecil.
Di sore hari, Robin dan Halimah duduk berdua di teras
belakang. Mereka memandang langit yang mulai jingga. Tak ada rencana bulan
madu. Tak ada foto pre-wedding. Hanya dua manusia yang ingin hidup
bersama—bukan untuk menaklukkan dunia, tapi saling menjaga dari kehancuran
batin.
“Kalau kamu masih harus berjuang, aku tak akan melarang,”
kata Halimah sambil menyandarkan kepala di bahu Robin.
“Perjuangan yang paling berat itu... ternyata bukan
membangun Majelis. Tapi membangun rumah di dalam hati sendiri,” jawab Robin.
Halimah tersenyum, dan untuk pertama kalinya, Robin merasa
bahwa seluruh perjuangannya—baik yang berhasil maupun gagal—mengarah ke satu
titik: momen ini.
0 Komentar