Robin kini bukan lagi nama yang memenuhi forum-forum. Ia bukan lagi Ketua Majelis. Bukan juru bicara gerakan. Bukan wajah depan di pamflet-pamflet seminar. Ia telah memilih jalan sunyi, jalan pulang yang sejati.
Ia tinggal di rumah kecil pinggiran kota, bersama Halimah
dan dua anak mereka. Rumah itu tidak mewah, tapi teduh. Dindingnya penuh buku.
Setiap pagi, Robin mengantar anak sulungnya ke sekolah. Lalu berangkat mengajar
sebagai guru agama di sebuah SMP negeri.
Ia duduk di ruang guru bersama rekan-rekan yang lebih suka
membicarakan kurikulum dan absensi murid daripada konstelasi kekuasaan. Ia
mengajarkan wudhu dan adab makan, tafsir ringan, dan kisah para nabi. Kadang ia
menceritakan sedikit tentang perjuangan masa mudanya. Murid-murid tak selalu
percaya: “Pak Robin, yang itu beneran Bapak?”
Tapi Robin tak perlu diyakini lagi. Ia hanya ingin menjadi
pohon rindang: tidak berjalan ke mana-mana, tapi menaungi siapa saja.
Henci, di sisi lain, tetap melaju di jalannya sendiri. Ia
tak kembali ke dunia gerakan. Tapi ia menjadi marketing realestat yang
cemerlang. Kantornya kecil, tapi portofolionya luas. Ia tahu bagaimana membaca
karakter orang. Ia tahu kapan bicara dan kapan diam. Ia tahu tanah yang punya
nilai masa depan.
Tapi yang lebih penting: ia tak pernah kehilangan sisi
dirinya yang dulu menangis di pertigaan jalan, melihat Gus Dur turun dari
istana.
Sesekali ia bertemu Robin di warung kopi. Mereka duduk
seperti dulu, tapi tak lagi membicarakan strategi konsolidasi atau ketegangan
wacana.
Mereka bicara tentang anak-anak mereka. Tentang harga cabai.
Tentang siapa yang sedang sakit. Tentang apakah cinta itu masih relevan dalam
usia kepala empat.
Suatu malam Jumat, tanpa direncanakan, Robin datang ke satu
mushola kecil. Di sana, beberapa anak muda sedang berkumpul. Salah satu dari
mereka menyapanya:
“Pak Robin ya? Kami ini anak-anak baru, dengar cerita
tentang Majelis. Kami coba bangun lagi, kecil-kecilan…”
Robin tersenyum. Ia tidak berkata banyak. Ia hanya duduk bersama, membaca doa-doa lama yang pernah diajarkan Abdul dahulu, dengan irama yang nyaris terlupakan. Malam itu, tidak ada pidato, tidak ada pemimpin. Hanya wajah-wajah muda yang menghidupkan kembali semangat lama dalam bentuk baru.
Kehidupan adalah rotasi yang pelan tapi pasti. Yang lama
menjadi guru bagi yang muda. Yang muda perlahan menjadi tua. Gerakan bukan lagi
soal struktur, tapi soal makna.
Robin tak ingin dikenang sebagai pemimpin besar. Ia ingin
dikenang sebagai seorang ayah yang sabar. Seorang guru agama yang jujur.
Seorang lelaki yang tahu kapan harus maju, dan kapan harus mundur.
Dan di ujung hidupnya kelak, saat dunia mulai melupakannya, ia tahu: jejak tak selalu harus terlihat, tapi bisa tetap terasa—dalam cara orang lain bersikap, berbicara, dan mencintai.
Beberapa tahun setelah Robin memilih hidup tenang,
tersebarlah nama baru di tengah dunia spiritual kaum muda urban. Ia dikenal
sebagai Syeikh Tambun Al-Kamil. Rambutnya putih terurai. Jubahnya bersih.
Ceramahnya lembut. Tapi isi ajarannya... terasa janggal.
Ia mengajarkan "jalan ruhani yang efisien"—tanpa
tirakat, tanpa belajar, tanpa guru, tanpa komunitas. Ia menawarkan zikir kilat,
riyadhah instan, ijazah via webinar. Ia menyebut dirinya "turunan wali
akhir zaman" dan menjual air doa dengan harga jutaan rupiah. Ribuan
pengikutnya menyebutnya Syeikh Tanpa Masa Lalu.
Tak ada yang tahu dari mana dia datang. Tapi setiap kota
besar tiba-tiba mengenalnya. Nama "Tambun" bahkan tidak lagi
ditakuti, karena telah disulap menjadi brand kesucian.
Robin pertama kali mendengar namanya dari salah satu murid
di sekolah:
“Pak, saya ikut majelis daringnya Syeikh Tambun. Katanya,
cukup baca Al-Haqiyyah tiga kali lalu bisa dapat petunjuk hidup. Gak usah
repot-repot ngaji kitab.”
Robin terdiam. Bulu kuduknya berdiri. Nama itu seakan
memanggil luka lama. Ia tahu: Tambun belum mati. Ia hanya berubah bentuk.
Malam itu, Robin mendatangi salah satu acara “majelis ruhani
akbar” yang digelar Syeikh Tambun. Aula penuh, lampu berwarna lembut, layar LED
besar menampilkan wajah syeikh yang sedang memejamkan mata. Ia sedang “menerima
wahyu kosmik”.
Tapi Robin melihat lebih dalam. Di balik kemasan itu, ada aura gelap yang dikenalnya. Bukan aura kesucian, tapi manipulasi. Bukan tuntunan, tapi kendali. Ia melihat dengan matanya yang sudah letih, bahwa ini adalah Tambun—yang dahulu mengancam pesantren dari dalam, kini bangkit sebagai pembimbing palsu.
Robin tidak kembali memimpin Majelis. Ia tidak menantang
Tambun secara terbuka. Ia tahu: pertarungan spiritual tidak bisa diselesaikan
dengan debat publik. Ia memilih jalan sunyi yang dulu dia pelajari dari Abdul.
Ia mendatangi sahabat lamanya: Henci.
“Hen, Tambun muncul lagi. Tapi dia bukan lagi makhluk gelap.
Sekarang dia pakai cahaya palsu.”
“Aku sudah dengar. Beberapa klienku ikut pengajiannya.
Mereka bilang dapat energi positif dan rezeki lancar setelah ikut doa massal.”
“Kita harus mulai lagi. Tapi tidak dengan cara lama. Kita
butuh gerakan yang membangun ketajaman batin, bukan fanatisme baru.”
Bersama beberapa sahabat lama, dan murid-murid baru yang
tercerahkan, Robin mulai membentuk jaringan kecil. Mereka menyebutnya Majelis
Rawa-Rawa: tempat belajar tanpa hirarki, tanpa nama besar, tanpa publikasi. Di
sana, yang hadir bukan untuk mencari keselamatan cepat, tapi untuk menempuh
jalan panjang: membaca, merenung, memperbaiki diri.
Mereka tahu, Tambun tak bisa dibunuh. Ia adalah bagian dari sejarah umat yang selalu muncul: kehausan akan kekuasaan dalam wujud kesalehan. Tapi mereka yakin, selama masih ada ruang sunyi yang jujur, kebohongan akan gagal menjadi abadi.
Sebuah surat datang ke rumah Robin. Tanpa pengirim. Hanya
secarik kertas bertuliskan:
“Datanglah ke Aula Sam Ratulangi, Kamis malam. Bawalah
keyakinanmu.”
Robin tahu: ini adalah undangan perang yang tak berpeluru.
Ia mempersiapkan diri dengan berwudhu, mengenakan baju putih lusuh yang biasa
ia kenakan ketika masih menjadi santri, dan membawa satu kitab kecil: Risalah
Qusyairiyah, kitab tentang keikhlasan para sufi.
Henci mengantar dengan mobil pinjaman kantor. Ia tak berkata
banyak. Hanya sesekali menatap Robin dari spion tengah.
“Kalau terjadi apa-apa, aku bawa kau keluar,” kata Henci.
Robin hanya tersenyum. “Tidak akan terjadi apa-apa, karena
aku tak sedang melawan siapa pun.”
Aula Sam Ratulangi sudah berubah. Tak lagi angker, tapi
terang benderang. Panggung megah. Layar LED menampilkan kaligrafi digital dan
visual ilusi cahaya. Para murid duduk dengan rapi, mengenakan seragam putih
dengan emblem “Majelis Haqqaniyah Tambuniyah”.
Lalu muncullah Syeikh Tambun. Ia tak menyerupai Tambun
dahulu. Kini ia berwajah teduh, berbicara dengan kelembutan, dan menyapa semua
dengan “anak-anak cahaya”.
“Malam ini, kita kedatangan seseorang yang mengaku membawa
jalan lain. Saudara Robin,” katanya sambil tersenyum. “Silakan, beri kami
cahaya yang kau punya.”
Robin melangkah ke panggung. Ia berdiri tanpa mimbar, tanpa
sorotan lampu. Ia buka kitab kecilnya dan membacakan pelan, nyaris seperti
bisikan:
“Orang-orang pilihan tidak sibuk menciptakan pengaruh, tapi
menjaga kesucian niat…”
Semua hening. Suara Robin tak sekuat Syeikh Tambun. Tapi
beberapa wajah mulai tampak berubah. Ada keraguan muncul dari beberapa murid.
Seperti sesuatu dalam diri mereka yang selama ini tidur, kini mulai bangkit:
kerinduan pada kebenaran yang tidak dijual.
Robin melanjutkan:
“Sahabat-sahabatku. Jalan ruhani bukanlah jalan cepat. Ia
sunyi. Kadang menyakitkan. Tapi justru karena itu ia jujur. Ia tak menawarkan
hasil, tapi mengajarkan perjalanan.”
Syeikh Tambun mulai gelisah. Aura panggungnya perlahan
pudar. Ia bangkit dari duduknya dan mendekati Robin.
“Kau datang untuk menghancurkan rumah yang kubangun!”
serunya, kini tak lagi lembut.
Robin menjawab, lirih:
“Tidak. Aku datang untuk mengingatkan… bahwa rumah yang tak dibangun dari batin yang bersih, akan hancur dengan sendirinya.”
Tiba-tiba layar LED bergetar, visual lampu kacau. Ada
murid-murid yang mulai berdiri, bingung. Beberapa berlari ke luar aula. Henci
yang sejak tadi menunggu di belakang ikut maju, memeluk seorang gadis muda yang
menangis—murid yang dulu ikut Tambun karena tak punya keluarga.
Suara gaib yang biasa mengiringi acara Tambun tak lagi
muncul. Aura digital itu runtuh. Yang tersisa hanya suara Robin yang makin
pelan namun makin menusuk.
“Kalau jalan ruhani bisa dibeli, maka semua nabi pasti jadi
pedagang…”
Dan pada detik itu, Syeikh Tambun lenyap. Seolah tubuhnya hanyalah proyeksi dari keinginan banyak orang: keinginan untuk jalan pintas, untuk diselamatkan tanpa melewati luka. Ia lenyap… karena keinginan itu pelan-pelan pudar dari dalam hati para pengikutnya sendiri.
Malam itu adalah akhir dari simulakra. Tapi bukan akhir dari
perjuangan. Robin tahu, bentuk Tambun bisa datang lagi—dalam rupa ideologi,
politik agama, atau bahkan rasa lapar manusia atas kemudahan spiritual.
Ia kembali ke keluarganya. Mengajar seperti biasa. Sesekali
menulis. Majelis Rawa-Rawa tetap hidup, kecil tapi jujur.
Dan di sebuah kelas kecil, ia pernah berkata kepada
muridnya:
“Kalau kelak kalian temui Tambun dalam bentuk lain… jangan lawan dengan amarah. Lawanlah dengan ketekunan.”
Henci tak pernah menyangka bahwa pekerjaan barunya sebagai
marketing realestat akan membawanya menjadi sosok jembatan spiritual lintas
kota. Awalnya ia hanya menawarkan kavling, apartemen kecil, dan lahan-lahan
murah di pinggiran kota. Tapi satu hal yang selalu ia bawa dalam setiap
interaksi: keramahan, rasa humor yang jujur, dan kisah-kisah masa lalunya
bersama Robin dan Majelis Rawa-Rawa.
Setiap kali ia mengobrol dengan klien, tak jarang mereka
curhat panjang soal hidup. Soal anak muda yang kehilangan arah, soal keresahan
akan agama yang makin terkomersialisasi, dan soal kerinduan akan ajaran yang
tak menjual mimpi surga.
Saat itulah, Henci perlahan menyisipkan cerita:
“Dulu saya juga nyaris tersesat. Tapi saya bertemu sahabat
yang ngajarin saya tentang jalan yang sunyi—yang nggak menjanjikan apa-apa,
tapi bikin hati tenang.”
Dan tanpa sadar, kisah kecil itu menjadi benih. Beberapa
dari mereka bertanya:
“Mas Henci, ajarin saya ketemu jalan itu…”
Mulanya hanya satu dua pertemuan kecil. Di teras rumah. Di
warung kopi. Di unit kosong perumahan yang belum laku. Henci mulai
memanggilnya: “Lingkaran Senyap”.
Bukan pengajian. Bukan komunitas. Tapi pertemuan tanpa nama,
tanpa seragam. Henci hanya menjadi moderator, membuka pembicaraan dengan humor
khasnya, lalu membaca sepenggal puisi atau catatan Robin yang diketik di
ponselnya.
Kadang ia membacakan kalimat seperti:
“Jangan buru-buru merasa tercerahkan, karena kadang yang kau
anggap cahaya hanyalah senter di kepala ego.”
Beberapa anak muda yang awalnya datang hanya karena ingin beli properti, kini rutin datang bukan untuk membeli, tapi untuk duduk dan diam.
Seiring waktu, Henci diminta ke kota lain untuk membuka
proyek properti baru. Di sanalah ia kembali menyebar benih.
Mulanya Makassar. Lalu Bandung. Lalu Balikpapan. Di tiap
kota, ia selalu menemukan orang-orang yang sama resahnya: para mantan aktivis
kampus yang kini bekerja di korporasi, guru honorer yang merasa hampa, bahkan
pemuda masjid yang merasa pelan-pelan berubah menjadi pelayan institusi.
Dan ketika orang-orang itu bertanya, “Apa nama gerakan
ini?”, Henci menjawab sambil tertawa:
“Nggak ada namanya. Kalau dikasih nama, nanti jadi lembaga. Kalau jadi lembaga, nanti cari dana hibah. Kalau cari dana hibah, nanti ganti ruhnya.”
Suatu hari, ia bertemu lagi dengan Robin di sebuah depot
makan sederhana di Gorontalo.
Robin membawa serta Halimah dan anak pertamanya. Ia
mendengar dari banyak orang bahwa Henci kini bukan hanya marketing, tapi
“pendakwah sunyi” yang sedang menyalakan api kecil di berbagai kota.
Robin hanya tertawa kecil, menepuk pundak Henci.
“Dulu kau takut lihat Tambun. Sekarang kau malah jadi
penjaga pintu majelis di mana-mana.”
Henci menatap ke luar jendela, ke hujan yang pelan-pelan
turun.
“Aku dulu takut, Rob. Tapi aku sadar, aku takut bukan karena
setan itu kuat… tapi karena batinku kosong.”
Robin mengangguk, lalu berkata:
“Dan kini, kau jadi pengisi kekosongan itu di tempat-tempat yang bahkan aku sendiri tak bisa capai.”
Beberapa bulan kemudian, dalam sebuah pertemuan di Surabaya,
Henci mendapati seorang lelaki tua duduk di ujung lingkaran. Wajahnya asing,
tapi matanya tak biasa.
Usai sesi, lelaki itu mendekat dan berkata:
“Kau tahu… Tambun belum mati. Ia hanya bersembunyi di balik
agenda-agenda kebaikan.”
Henci tersenyum tenang.
“Saya tahu. Tapi saya juga tahu, ia tak akan kuat berada
terlalu lama di ruang-ruang yang jujur.”
Lelaki itu tak menjawab. Ia pergi begitu saja. Tapi Henci tahu: itu adalah peringatan. Bahwa sekalipun tak ada struktur, tak ada gelar, dan tak ada organisasi, tetap akan ada mereka yang ingin menunggangi arus yang terlihat bersih.
Kini, Henci menganggap dirinya sebagai "penggambar
peta". Ia tak memimpin. Ia hanya menandai titik-titik sunyi di kota-kota,
lalu menghubungkannya dengan cerita, dengan kehangatan, dan dengan satu
prinsip:
“Kita ini bukan pasukan. Kita ini seperti air. Merembes di
tanah yang retak.”
Ia tidak lagi memakai jas kantor, tapi tetap menjual properti. Karena baginya, satu rumah yang terjual bukan hanya urusan bisnis—tapi mungkin tempat lahirnya satu lagi lingkaran sunyi.
Namanya terdengar seperti dongeng: Pioniko Langbuana. Ia
muncul pertama kali di Majelis Rawa-Rawa cabang Semarang. Seorang pria muda,
penampilannya intelektual tapi rambutnya acak-acakan. Ia datang dalam keadaan
hancur: dikhianati rekan bisnis, gagal dalam pernikahan, dan diburu rasa
bersalah yang tak ia mengerti asalnya.
Henci yang sedang mampir ke lingkaran kecil itu, langsung
merasa iba. Ia membuka tangannya lebar:
“Di sini tak ada yang ditanya ‘kau siapa’… Tapi ‘kau mau
diam bareng kami atau tidak’.”
Dan sejak saat itu, Pioniko menjadi anggota Majelis.
Pioniko tidak banyak bicara. Tapi matanya selalu mengamati.
Ia ikut dalam banyak pertemuan, mencatat banyak hal. Ia bahkan menyalin ulang
catatan-catatan lama Robin dan menyebarkannya dalam versi PDF ke grup-grup
Telegram rahasia yang ia kelola diam-diam.
Saat Henci tahu, ia hanya menegur lembut:
“Tak semua yang kita sebut ‘tulisan’ boleh dilepas tanpa
konteks.”
Pioniko mengangguk, namun diam-diam ia menganggap Majelis terlalu lambat, terlalu kabur, dan terlalu “kurang sistematis”.
Tak lama setelah itu, muncullah pengumuman digital yang
mengejutkan sebagian kalangan Majelis:
"Langbuana Institute for Spiritual Excellence"
Dengan semboyan: "Memurnikan Spiritualitas, Menyusun Strategi
Perubahan."
Logo resminya menyerupai simbol Majelis, tapi lebih rapi.
Ada struktur organisasi. Ada direktur spiritual. Ada tim kreatif. Bahkan ada
pendaftaran resmi via situs web.
Beberapa anggota baru yang tak memahami konteks Majelis,
tergoda. Di sana, diskusinya cepat. Modulnya jelas. Dan yang paling menarik:
ada sertifikat keikutsertaan.
Robin tahu, tapi ia hanya berkata lirih:
“Orang yang terlalu cepat sembuh, biasanya belum selesai dengan lukanya.”
Ketika Henci bertemu kembali dengan Pioniko dalam sebuah
forum terbuka di Yogyakarta, percakapan mereka menjadi sorotan diam-diam para
hadirin.
Henci: “Kau menjadikan luka sebagai panggung, Pio.”
Pioniko: “Kalau luka itu bisa menggerakkan massa, kenapa
tidak? Kau pikir sunyi bisa menyelamatkan dunia?”
Henci: “Tidak. Tapi sunyi bisa menyelamatkan satu orang dari
dirinya sendiri. Dan itu cukup.”
Pioniko tersenyum, menyodorkan brosur Langbuana Institute.
Di sana tertulis:
“Menjadi Kader Transformasi Spiritual untuk Dunia Modern.”
Langbuana Institute berkembang cepat. Mereka masuk ke
kampus, mendirikan cabang, bahkan punya program pelatihan intensif bertajuk:
“Jalan Ruhani untuk Pemimpin Millennial”.
Namun dalam waktu dua tahun, celah-celah mulai terbuka.
Alumni Langbuana mulai saling berebut pengaruh. Beberapa mentor mengklaim versi
spiritualitas yang lebih tinggi. Dan ketika Pioniko mencoba memusatkan kembali
kekuasaan, mereka memberontak.
Satu demi satu, cabang Langbuana bubar. Yang tersisa hanya
dirinya—dan suara bising ambisi yang tak lagi bergema.
PIONIKO DATANG KEMBALI
Suatu malam, Pioniko datang ke lingkaran sunyi di sebuah
rumah tua di Gresik. Henci sedang memandu sesi diam saat ia datang. Tak ada
yang menyambutnya seperti tamu agung. Tak ada yang mengusir.
Ia duduk. Lalu menangis. Air matanya jatuh tanpa suara.
Setelah sesi selesai, Henci mendekat dan berkata:
“Kalau kau datang untuk kembali, maka kami tak akan tanya
apa pun. Tapi kalau kau datang untuk mengatur kami lagi… kau akan kecewa dua
kali.”
Pioniko hanya menjawab lirih:
“Aku hanya ingin… duduk.”
Dan mereka pun duduk bersebelahan. Lama. Dalam sunyi.
“Halimah,
Aku baru saja dengar tentang Pioniko. Henci bilang ia mulai datang rutin lagi.
Tak bawa brosur, tak bawa jargon.
Mungkin di antara kita, memang ada yang harus jatuh begitu rupa, agar ia tahu
bahwa sunyi bukan sekadar metode… tapi cara mencintai Tuhan dan manusia tanpa
panggung.”
Setelah malam itu di Gresik, Pioniko tak pernah benar-benar
larut dalam lingkaran Majelis Rawa-Rawa. Ia datang, tapi tak benar-benar hadir.
Ia mendengar, tapi tak pernah mendengarkan. Ia duduk bersama, tapi pikirannya
berdiri di atas menara tinggi miliknya sendiri.
Ia merasa telah sembuh.
Tapi lupa bahwa sebagian besar luka tak menghilang—mereka hanya bersembunyi di
balik keberhasilan.
Pioniko mulai mengadakan forum kecil-kecilan lagi. Tapi kali ini lebih eksklusif. Ia memilih peserta, membentuk grup elit, dan memberi nama baru: Majelis Langbuana 2.0. Di balik setiap forum, tersirat satu pesan: "Saya sudah selesai dengan luka. Kalian harus belajar dari saya."
Bagi Pioniko, luka adalah legitimasi. Ia menjadikan
penderitaan masa lalunya sebagai semacam modal spiritual, lalu membangun narasi
sukses sebagai "yang pernah tersesat tapi bangkit lebih hebat dari siapa
pun."
Tapi luka yang tidak disembuhkan dengan jujur, hanya akan
menjelma menjadi cermin retak yang memantulkan keangkuhan.
Ia jarang menyapa Robin. Jika bertemu dengan Henci, ia
bersikap baik tapi dingin. Dalam forum-forumnya, Pioniko mulai meremehkan
Majelis Rawa-Rawa:
"Kita butuh struktur. Bukan perasaan!"
"Mereka terlalu lambat, terlalu kabur. Mereka menyembah sunyi, tapi tak
tahu cara membangun dunia."
Dan perlahan, ia menuliskan sejarah versinya sendiri. Dalam buku digital yang ia susun dan sebarkan terbatas, ia hanya menyebut Majelis Rawa-Rawa sekilas—sebagai "masa lalu yang membentuk, tapi tak layak ditiru."
Ketika Henci mendengar semua itu, ia tak marah. Ia hanya bilang
pada sahabatnya, Robin:
“Beberapa orang tak benar-benar ingin sembuh. Mereka hanya
ingin mengatur lukanya agar tampak seperti lencana.”
Robin mengangguk pelan. Sore itu, ia sedang menyiapkan
catatan kecil untuk murid-muridnya di SMP. Ia berkata lirih:
“Orang yang merasa paling sembuh, biasanya belum siap untuk terluka lagi. Dan itu bahaya.”
Sementara itu, Majelis Rawa-Rawa tumbuh pelan. Tanpa banyak
publikasi. Tanpa gembar-gembor prestasi. Ia hidup di tengah-tengah pertemuan
sunyi, jamuan kecil, obrolan warung, forum kampung, bahkan di ruang guru tempat
Robin mengajar agama.
Beberapa mantan anggota Langbuana 2.0 mulai datang diam-diam
ke forum Majelis. Mereka bilang:
“Kami merasa tak diajak bicara, hanya diajari.”
Dan di lingkaran Majelis, tak ada yang meminta alasan. Mereka hanya disambut dengan teh hangat dan kesunyian yang tak menghakimi.
0 Komentar