![]() |
ilustrasi |
Pagi itu, mentari belum tinggi. Udara masih sejuk, dan kabut tipis menyelimuti kebun kecil di halaman depan. Seorang lelaki tua berpeci hitam duduk santai di teras rumahnya. Wajahnya teduh, penuh keriput kehidupan, namun sorot matanya tetap tajam.
Ia duduk sendiri, seperti biasanya. Di meja kecil di depannya, ada secangkir kopi hitam yang mengepul tipis dan sepotong roti tawar dengan olesan mentega. Meja itu ditutupi selembar kain tipis berwarna hijau, mungkin hadiah dari seseorang atau peninggalan orang tuanya.
Kicauan burung gereja terdengar ramai di sekitar rumah. Burung-burung kecil itu seolah berlomba mengisi kekosongan pagi. Lelaki itu hanya menepuk-nepuk pelan tangkai kursinya dengan tangan kanan. Gerakan yang konsisten, ritmis, seperti denting waktu yang ia ciptakan sendiri.
Itu memang kebiasaannya. Jika ia tengah merenung atau berdzikir, jari-jarinya selalu bergerak seperti itu. Sebuah kebiasaan kecil yang entah sejak kapan menjadi bagian dari dirinya.
Namun pagi ini, ada yang berbeda.
Tak ada lembaran koran dibuka. Tak ada suara rekaman pidato lama dari tape recorder tua yang biasanya menemaninya. Ia hanya diam, sesekali menghela napas panjang.
Saya mengamatinya dari balik gerbang rumahnya. Jaraknya tak jauh, namun cukup bagi saya untuk merasa tak terlihat. Entah kenapa, pagi ini saya tidak langsung masuk seperti biasanya.
Mungkin karena ada sesuatu yang membuat saya segan. Atau mungkin karena aura dari lelaki itu yang terasa… berbeda.
Tiba-tiba, tanpa menoleh, ia berkata pelan namun cukup jelas terdengar:
"Hei... Kenapa kau di situ saja? Mari ke sini."
Saya terperanjat. Ia tahu saya mengamatinya. Padahal saya tidak membuat suara apa pun.
Saya melangkah perlahan ke arah teras. Lelaki itu menoleh, senyum tipis muncul di wajahnya. Tapi sorot matanya seperti menembus ke dalam pikiran saya.
“Pagi ini, kau datang lebih awal,” katanya. “Ada yang ingin kau tanyakan?”
Saya ragu. Tapi lalu duduk di bangku sebelahnya, pelan-pelan.
“Saya hanya… merasa ada sesuatu yang berbeda dari pagi ini, Gus.”
Lelaki itu tertawa kecil, lalu menyeruput kopinya. “Memang berbeda. Tapi bukan karena paginya... karena kamu yang berubah.”
Saya menatapnya, tak mengerti.
Ia menoleh, menatap saya dalam-dalam. “Sudah waktunya, Nak. Kau sudah cukup lama melihat dunia dari balik gerbang. Kini saatnya masuk dan merasakannya sendiri.”
Saya masih terdiam.
“Dulu, aku juga hanya pengamat,” lanjutnya. “Duduk diam, menunggu kehidupan mendekat. Tapi hidup tak menunggu. Ia berjalan terus. Dan kau… harus berjalan bersamanya.”
Roti di meja itu sudah setengah dimakan. Ia menyodorkannya pada saya. “Makanlah. Pagi yang baik tak akan kembali dua kali. Seperti kesempatan.”
Saya mengambilnya. Gigitannya hangat. Mentega dan kenangan bercampur di lidah.
Dan pagi itu, saya tahu. Lelaki berpeci hitam itu bukan sekadar sosok tua bijak. Ia adalah penjaga waktu. Penanda bahwa masa pengamatan sudah selesai. Saatnya melangkah. Saatnya hidup, bukan hanya menatapnya dari kejauhan.
0 Komentar