Tambun Penghuni Gedung Sam Rat (10) : Gedung Yang Kini Menjadi Rumah

ilustrasi penampakan Hantu Tambun di gedung Sam Rat


Gedung Yang Kini Menjadi Rumah

Kini, Gedung Sam Ratulangi digunakan lagi. Tapi bukan untuk acara elite, bukan untuk forum-forum yang digelar demi membentuk citra.

Melainkan…

Tempat anak-anak muda berdiskusi malam Jumat dengan kopi dan seadanya.

Ruang bagi warga kota belajar membaca ulang agama dan kehidupan tanpa tekanan otoritas.

Markas sementara bagi pengungsi spiritual yang kehilangan arah tapi ingin belajar kembali menata diri.

Robin tak datang lagi ke sana setiap minggu. Tapi sesekali, ia mampir, duduk di sudut, menatap ke dinding tempat dulu Tambun menampakkan diri. Ia tersenyum. Lalu menulis sesuatu di dinding itu dengan kapur:

“Ketika kita berhenti ingin menang,
Kita akan tahu bagaimana caranya pulang.”

Gedung itu kini jadi ruang kosong yang membebaskan. Tak ada lagi sosok menakutkan, tak ada ambisi personal, tak ada kooptasi ruhani. Hanya ruang… dan orang-orang yang ingin bertumbuh bersama.

Seseorang bertanya kepada Henci saat mengisi pelatihan marketing spiritual di kota sebelah,
“Apakah Tambun bisa kembali?”

Henci tersenyum, lalu menjawab:

“Tambun akan kembali kalau kita membangunnya lagi.
Tapi kalau kita belajar rendah hati dan bekerja dalam terang…
maka gedung apa pun, bahkan yang pernah dihantui,
bisa jadi rumah buat siapa saja.”

Dulu, Gedung Sam Ratulangi adalah tempat sunyi. Kadang ramai tapi penuh bisik-bisik takut. Kadang megah, tapi sesak oleh aura tak kasat mata yang menindih jiwa. Kini, gedung itu berubah — tak hanya sekadar direnovasi secara fisik, tapi disucikan lewat proses yang panjang dan menyakitkan.

Tahun demi tahun berlalu.

Lantai-lantai diganti, langit-langit diperkuat. Tapi yang paling besar perubahannya adalah jiwa penghuni-penghuninya.
Tidak ada lagi hirarki menindas, tidak ada lagi kehausan tampil. Sebaliknya, yang tumbuh di sana adalah komunalitas yang cair tapi saling menjaga.

Dan kini…

Gedung Sam Ratulangi kembali ramai.

Di ruang utama, anak-anak muda berdiskusi tentang hakikat diri, spiritualitas di era digital, dan tafsir kontemporer atas teks-teks suci.
Di lantai dua, ruang kelas digunakan oleh komunitas lintas iman untuk belajar bersama bagaimana menyusun etika baru yang inklusif.
Setiap Jumat malam, aula utama berubah menjadi ruang tafakur dan dzikir, tempat suara batin melantun dalam diam.

Di balkon timur, ada satu ruang kaca kecil bertuliskan:
“Pusat Kajian Rawa-Rawa”— di situ, warisan pemikiran Abdul, Robin, dan para pendahulu lainnya terus ditulis ulang oleh generasi baru.

Namun bukan hanya kegiatan ruhani dan intelektual yang tumbuh.
Di lantai bawah, ada kafe kecil.
"Warung Tambun", nama yang ironis tapi penuh makna. Tempat ini kini jadi simbol rekonsiliasi: bahwa kekuatan yang dulu menindas, kini dijinakkan dan dijadikan bahan lelucon sekaligus pelajaran sejarah.

Seni tumbuh di dinding-dindingnya. Mural-mural baru menggantikan cat-cat kusam. Di ruang terbuka belakang gedung, dibangun kebun komunitas, tempat warga sekitar menanam cabai, tomat, dan sayuran.

Setiap bulan, diadakan Pasar Rawa-Rawa, di mana warga pesantren dan kota berdagang, bertukar ilmu, dan menyampaikan mimpi-mimpi sosial mereka.

Gedung Sam Ratulangi bukan lagi sekadar bangunan. Ia adalah manifestasi fisik dari kesadaran kolektif yang matang.
Ia adalah peradaban yang tumbuh dari luka.
Tempat di mana dendam dilebur jadi energi, dan kegelapan dijadikan fondasi bagi cahaya.

Tak ada lagi “pemilik tunggal” atas ruang itu. Tak ada lagi “pemimpin tunggal” yang bersuara paling keras.

Setiap orang di dalamnya adalah penjaga dan peziarah.
Mereka yang datang bukan untuk menguasai, tapi untuk menemukan kembali dirinya—dan menyumbangkan segenap cahaya kecil mereka bagi kehidupan bersama.

Jika ada yang bertanya kepada Robin, yang kini mengajar agama di SMP pinggiran kota, tentang bagaimana semua ini bisa terjadi, ia akan menjawab dengan lembut:

“Kami hanya membersihkan hati kami satu per satu.
Lalu gedung ini pun ikut bersih.
Setelah itu, hidup menyusun dirinya sendiri.”

Kini, Sam Ratulangi bukan lagi gedung. Ia adalah ruang jiwa.

Dan ruang itu tak akan pernah lagi dihuni oleh makhluk bernama Tambun—selama orang-orang di dalamnya tetap memilih kejujuran, keterbukaan, dan kelembutan sebagai jalan.

 

Posting Komentar

0 Komentar