![]() |
ilustrasi |
Luka Yang Harus Dibiarkan Bicara
Malam itu, Robin menulis satu catatan di buku harian
kecilnya:
“Beberapa luka tak bisa disulap jadi panggung.
Ia hanya ingin didengar, lalu dibiarkan menjadi bagian dari kita yang manusia.
Tapi sebagian orang menganggap luka sebagai alat untuk naik
ke atas—padahal, dari atas menara, kita hanya melihat orang sebagai audiens.
Bukan sebagai sesama pejalan.”
Hari itu Pioniko berjalan sendirian, tanpa mobil, tanpa
asistennya, tanpa laptop yang biasa ia buka di hadapan siapa pun. Ia berjalan
ke arah pelabuhan tua, tempat kapal-kapal kecil tertambat dan suara air
bersentuhan dengan kayu tua terdengar seperti bisikan dari zaman lain.
Langbuana 2.0 sudah pecah dari dalam. Beberapa “anak
didiknya” saling berselisih, memperebutkan arah gerakan dan tafsir baru. Bahkan
beberapa menyebarkan pernyataan keras bahwa Pioniko bukan lagi pemimpin yang
pantas diikuti.
Ia, yang dulu membanggakan kesembuhan,
Kini harus menghadapi kenyataan bahwa ia belum benar-benar sembuh.
Di dermaga, Pioniko duduk. Ia menatap air, lalu menarik
napas panjang. Tak ada siapa pun yang menyapanya. Tak ada yang menunduk hormat.
Tak ada yang minta foto atau bertanya soal teori besar. Dan itu pertama kali
dalam bertahun-tahun ia merasa benar-benar manusia biasa.
“Beginikah sunyi yang tak perlu disulap jadi panggung?” pikirnya.
Ia mengambil ponselnya, lalu mematikan seluruh notifikasi.
Grup-grup diskusi internal Langbuana ia tinggalkan satu-satu. Ia lalu membuka
kembali arsip lama: potongan teks Majelis Rawa-Rawa, catatan Robin, dan suara
Henci yang tertawa dalam obrolan informal dulu.
Air matanya mengalir. Bukan karena kalah, tapi karena sadar
ia tak pernah benar-benar berada di sana bersama mereka. Ia sibuk merasa lebih.
Pioniko kembali. Tapi tak ke forum. Ia datang ke sebuah
warung kecil tempat anggota Majelis biasa berkumpul selepas maghrib. Robin tak
ada di situ, begitu pun Henci. Hanya ada beberapa wajah muda dan tua,
bersahaja.
Ia duduk di pojok, diam. Menyimak, tersenyum, tanpa
memperkenalkan diri. Bahkan saat seorang menyapa, “Pernah lihat Bapak di mana
ya?”, ia hanya menjawab:
“Saya dulu banyak bicara, sekarang sedang belajar
mendengar.”
Sejak itu, ia datang setiap minggu. Membantu menyeduh teh,
menyapu lantai, mengantar kertas diskusi. Tak pernah lagi memberi pidato. Ia
tak menulis ulang sejarah. Ia memilih menjadi catatan kaki yang diam tapi
hadir.
Suatu malam, Robin datang ke warung itu. Ia menatap Pioniko
sebentar. Mereka saling mengangguk, tanpa bicara. Henci datang menyusul,
membawakan tahu goreng dan kopi.
Tak ada pembicaraan tentang masa lalu. Tak ada permintaan
maaf resmi. Karena di dalam Majelis, pengakuan hadir dalam tindakan, bukan
kata-kata.
Dan Pioniko mulai paham:
Bahwa kesembuhan bukan kemenangan.
Tapi penerimaan.
Dan bahwa kebenaran tidak butuh panggung, hanya butuh ruang untuk tinggal.
Kini, jika kau datang ke forum-forum kecil di pinggiran
kota, kau mungkin akan bertemu dengan lelaki tua yang pelan menyeduh teh,
membacakan kutipan, atau hanya menata sandal. Itu Pioniko.
Tak lagi Langbuana.
Tak lagi 2.0.
Hanya Pioniko yang belajar duduk dalam sunyi, bersama luka-lukanya yang tak
perlu lagi disulap jadi narasi besar.
Satu musim hujan telah berlalu sejak kabar terakhir
terdengar tentang Gedung Sam Ratulangi. Bangunannya masih berdiri — dinding
kusam, tiang-tiang tua, dan lantai yang menyimpan jejak kaki para pejuang
spiritual dan penyesat berwajah suci.
Tapi ada yang berbeda.
Tak ada lagi hawa berat saat melangkah masuk. Tak ada suara
aneh dari toilet di lorong belakang. Tak ada mata merah di balik tirai. Bahkan
pendatang baru pun tak merasa ada sesuatu yang ganjil.
Gedung itu… kini netral. Bebas dari kuasa gelap yang dulu
menyaru jadi ruhani. Tambun telah pergi.
Tidak ada yang tahu persis kapan Hantu Tambun benar-benar
lenyap.
Sebagian bilang itu karena Majelis Rawa-Rawa sudah
membersihkan struktur batin mereka sendiri — membuang puing-puing hasrat kuasa,
menata ulang tafsir kepemimpinan, dan membentuk kolektif tanpa pusat yang
stabil tapi tidak keras.
Yang lain berkata, Tambun lenyap karena tak ada lagi cermin
untuk ia pantulkan dirinya.
Selama ada yang ingin tampil unggul, ingin menguasai, ingin
dikagumi secara ruhani — Tambun akan ada. Tapi saat semua mulai saling
menunduk, bukan untuk merendah, tapi untuk memeluk… Tambun pun tak punya ruang
tinggal.
Ia pergi.
Bukan diusir, tapi tak lagi relevan.
0 Komentar